"ASTAGA JAM BERAPA INI?!" Pekik Marsha tak tertahan melihat jam weker di atas nakas.
Marsha segera bangkit dari tidurnya dan melakukan ritual mandinya yang cukup singkat. Ia sudah meyakinkan dirinya agar tidak terlambat pagi ini dimana ia akan melakukan wawancara di perusahaan raksasa itu. Tapi nyatanya ia melanggar keyakinannya sendiri dan itu semua karena keteledorannya yang kebut menonton drama korea semalaman. Marsha memang menyukai drama yang berasal dari negri ginseng itu.
Marsha pun turun dari apartement barunya menuju ke lobby. Marsha terlihat sibuk dengan ponsel yang ia gunakan untuk menelepon Hans, managernya. Pria itu tidak bisa dihubungi, hingga tiba-tiba ponselnya berdering saat ia kembali ingin menelepon pria itu.
"Halo Hans kau kemana saja?!" Sebuah kalimat langsung meluncur begitu saja dari mulut Marsha tanpa melihat siapa yang meneleponnya.
"Hans? Aku Starla. Dan apa-apaan ini! Kau sudah kembali ke New York, tapi kau tidak menemuiku!" Terdengar suara pekikan dari seberang sana. Marsha pun harus menjauhkan sedikit ponselnya dari telinga agar tidak menyakiti gendang telinganya.
"Aku akan menemuimu siang ini. Seharusnya memang begitu mengingat aku sudah harus bekerja." Jawab Marsha yang sudah sibuk berdiri di pinggir jalan menunggu taksi. Ia tidak bisa terus menunggu Hans, yang ada keterlambatannya semakin lama walaupun ia sudah terlambat.
"Kau bekerja dimana? Mengapa kau tidak meneleponku semalam? Aku bisa menjemputmu Marsha!"
"Oh, c'mon Starla. Aku juga tidak tahu harus pulang semalam. Hans yang langsung memesan tiket, bahkan aku melewatkan berkenalan dengan pria tampan itu!" Gerutu Marsha mengingat ia hampir berkenalan dengan pria tampan di kota pelariannya kalau saja Hans tidak meneleponnya dan langsung menyuruhnya kembali ke New York.
"Kau belum menjawabku. Kau bekerja dimana?"
"Nanti siang temui aku di cafe dekat kantor aku bekerja, aku akan mengirim lokasinya padamu. Jangan lupa mengajak Hana. Aku sangat sibuk jadi aku tutup dulu ya!" Katanya kemudian mengakhiri sambungan telepon itu ketika taksi yang ia tumpangi berhenti di lobby sebuah gedung pencakar langit yang sangat tinggi. Marsha berdecak sebal melihat gedung itu, ia diingatkan akan sesuatu yang sangat tidak ia sukai.
"Ms.Charlotte?" Tanya seorang resepsionis yang berjaga ketika Marsha baru saja akan melewati meja resepsionis itu. Marsha hanya menganggukkan kepalanya, kemudian wanita itu membawa Marsha menuju lantai teratas perusahaan itu melalui lift.
TING!
Suara dentingan itu bersamaan dengan terbukanya pintu lift di hadapannya. Marsha langsung saja keluar dan kembali berjalan, hingga ia berhenti tepat di depan sebuah pintu cokelat yang memiliki dua pintu.
"Mr.Stanford ada di dalam. Beliau sudah menunggu sejak tadi karena kau sangat terlambat." Kata seorang wanita yang Marsha tebak sekretarisnya CEO disana.
Marsha meringis kecil mendengarnya. Sekilas ia melirik arlojinya, memang benar ia sudah sangat terlambat dan ini adalah hari pertamanya. Harusnya ia bisa memberikan kesan yang baik, bukan malah sebaliknya.
"Excusme?" Sapa Marsha ketika ia sudah berada di dalam ruangan besar yang merupakan ruangan CEO. Ia tidak tahu harus memperkenalkan dirinya seperti apa mengingat sang CEO itu malah membelakanginya di sana.
"Ah, apa saya harus memperkenalkan diri lagi?" Tanya Marsha ingin mengetahui apa yang harus ia lakukan. Ia harus bisa memilah kata-katanya agar tidak membuat sang CEO itu marah mengingat ia sudah sangat terlambat.
"Selain suka meninggalkan orang lain. Kau...ternyata suka terlambat juga ya?" Katanya sembari memutar tubuhnya dengan sempurna. Ia menunjukkan sebuah senyuman yang malah terlihat menyeramkan di mata Marsha.
Marsha begitu terkejut melihat pria di hadapannya sekarang. Apakah ia sedang bermimpi? Mengapa pria itu bisa berada disana?! Tidak mungkin dia CEO disinikan? Pikir Marsha panik.
Bahkan sangkin paniknya, Marsha sudah memundurkan langkahnya beberapa ke belakang. Melihat hal itu membuat Alland semakin percaya diri jika wanita itu belum melupakannya. Ia pun berjalan mendekat hingga berada tepat di hadapan Marsha.
"Terpesona, huh?" Godanya dengan sebelah alis yang ia naikkan.
GLEK.
Marsha menelan salivanya kasar. Suara itu mengapa terdengar sangat...sexy?
Pikiran Marsha pun mulai kembali ke kejadian 5 bulan yang lalu. Ia tidak pernah melupakan malam itu barang sekali pun. Tentu saja karena itu yang pertama baginya. Tidak tahu entah yang keberapa bagi pria itu. Tapi ia tidak pernah memikirkan jika ia kembali bertemu dengan pria itu lagi, contohnya seperti sekarang. Di tengah keterkejutan Marsha, pria itu membungkukkan tubuh jangkungnya kemudian mencondongkan wajahnya meneliti ekspresi syok yang marsha tunjukkan.
"Mengingat sesuatu baby?" Godanya lagi. Mendengar itu Marsha kembali diingatkan akan suara lembut nan penuh gairah itu. Dimana pria itu memohon meminta ia memanggil namanya dan pria itu kemudian memanggilnya dan bahkan mendesahkan namanya dengan sebutan baby.
"Ka...kau, apa kau Alland? Alland Stanford?" Tanya Marsha yang akhirnya bisa ia keluarkan walaupun terdengar gugup. Alland pun kembali tersenyum melihatnya, tersenyum sombong mengingat ia bukanlah orang yang harus wanita ini tinggalkan.
"Yes, i'am!"
"Ah, ternyata benar. Kau yang memintaku melakukan wawancara bukan?" Tanyanya lagi membuat Alland mengernyit tidak suka.
APA-APAAN INI?!
"Wawancara?"
Marsha mengangguk ragu. Tentu saja ia masih terkejut akan fakta bahwa CEO itu adalah pria yang sama dengan pria yang bercinta dengannya malam itu. Tapi untungnya Marsha masih mampu mengatasinya walaupun ia masih terkejut.
"Kata mereka aku harus melakukan wawancara sebelum menentukan jadwalku. Kau tahu seharusnya itu tidak perlu mengingat kalian memang akan tetap memakaiku." Katanya dengan penuh sandiwara. Tentu saja ia tidak akan mengaku, pria di hadapannya ini terlihat sangat berbahaya dari pandangan matanya dan Marsha bisa menilai itu.
"Apa maksudmu wawancara sialan itu! Aku tidak menginginkannya. Kau...Kau harusnya mengatakan hal yang seharusnya kau katakan!" Bentaknya tak mampu menahan kekesalannya.
Apa wanita ini melupakannya?
Semudah itu?
"Maaf sir, tapi aku sudah mengatakannya. Aku kemari untuk melakukan wawancara." Jawabnya dengan berakting santai.
"Kau melupakannya? Melupakan malam yang penuh dengan gairah itu?!" Tanya Alland tidak tahu harus berkata apa lagi. Ia berpikir mengapa hanya dirinya yang tidak bisa melupakan kejadian malam itu.
"A...apa maksud anda sir?"
"Shit! Bagaimana bisa kau melupakannya semudah itu?!"
"Melupakan apa? Aku kemari untuk melakukan wawancara, tapi kurasa kau tidak berniat mewawancaraiku." Katanya dengan wajah yang sudah memerah padam menahan malu. Dan sayangnya Alland tidak menyadari perubahan warna di wajah Marsha, pria itu terlalu kalut dengan pikirannya.
"Lupakan wawancara sialan itu!"
"Baiklah. Kalau begitu aku harus mengatur jadwalku. Permisi." Pamitnya yang langsung keluar dari ruangan Alland.
Seketika pintu ruangannya tertutup sempurna, Alland melemparkan buku-buku yang ada di rak bukunya dengan penuh amarah. Ia tidak pernah melupakan kejadian malam itu barang semenit pun, tapi mengapa begitu mudahnya bagi wanita itu melupakan malam itu? Mengapa ia tidak bisa seperti wanita itu. Tapi mengapa? Alland tahu jika malam itu yang pertama bagi wanita bernama Marsha itu karena ia bisa merasakan dan melihatnya. Tidak sulit bagi Alland karena ia pernah melakukannya beberapa kali, dan bercak darah di kasur semakin meyakinkannya kalau itu yang pertama. Apa wanita itu gila? Pikirnya.
Alland mengacak rambutnya frustasi. Ia sudah membayangkan hari ini dimana wanita itu pasti akan sangat terkejut mengetahui dengan siapa ia bercinta malam itu dan memintanya menjadi kekasihnya, tapi apa-apaan ekspresi dan kata-kata itu. Semuanya terasa seperti tidak ada apa-apa di antara mereka. Dan itu semua menggores ego Alland yang selalu ia junjung tinggi-tinggi.
"Lihat saja, kau akan menyesalinya Marsha Charlotte!"
***