Chapter 6 - PART 5

"Enghh..."

Suara berisik yang timbul dari luar kamar membuat seorang wanita yang tengah tertidur merasa terusik. Ia terduduk dari tidurnya sambil mengucek kedua matanya pelan. Rasanya ia masih mengantuk sekali, tetapi suara berisik itu tidak bisa ia abaikan begitu saja. Sangat mengganggu.

"Ada apa ini?" Tanyanya ketika sudah keluar dari kamar.

Hans.

Mata Marsha sedikit membulat melihat pria itu sudah berada di dalam apartement Starla, sahabatnya. Melihat ekspresi yang ditunjukkan Hans, Marsha bisa tahu pria itu sedang dalam mode berbahaya.

"Jangan mengelak lagi. Aku sudah memperingatkanmu semalam Marsh. Kau lihat sekarang, para wartawan sudah berkumpul di bawah sana." Kata Hans tanpa jeda.

Starla yang memang belum berangkat kerja menatap Hans berang. "Kau tidak bisa membawanya. Lari dari masalah bukan solusinya!"

Mendengar itu, Hans membalas tatapan Starla tak kalah sengit. "Lari dari masalah memang solusinya untuk saat ini!" Balasnya cepat.

"Marsha bisa tinggal di rumah Hana atau membeli apartement lain."

"Dan membuang-buang uangnya? Kau tidak lihat bahkan sekedar iklan saja tidak ada yang memanggilnya. Dia bisa kehilangan karirnya kalau ia terus berada disini." Kata Hans membuat Marsha memikirkan hal itu.

Memang benar, ia tidak bisa membohongi dirinya dengan mengatakan jika nantinya ada yang memanggilnya untuk syuting atau pun hanya sekedar iklan. Tapi semua itu hanyalah pemikirannya semata-semata agar tidak membuat hatinya sakit. Karena nyatanya, tidak ada satu panggilan pun yang membutuhkannya.

"Kau jangan mencuci otaknya Hans! Dia tidak akan kemana-mana, aku dan Hana akan membantunya. Jadi kau tenang saja." Kata Starla yang tidak ingin Marsha pergi. Pergi yang dimaksud adalah pergi dari semua kehidupannya di New York.

Hans memejamkan matanya sembari memijit pelipisnya pelan. Kepalanya terasa seperti akan meledak. Menghadapi sahabat Marsha memang membutuhkan tenaga ekstra, tak bisa ia pungkiri karena sebelum-sebelumnya ia pernah berada diposisi ini. Tapi berbeda kasus. Mereka berdua memang tak bisa dipisahkan dari kekerasan kepalanya. Berbeda dengan Hana yang mungkin akan memihaknya, karena wanita itu ingin yang terbaik untuk Marsha.

"Dia tidak akan pergi lama. Setelah berita-berita itu lenyap, Marsha akan kembali. Percayalah padaku." Katanya dengan nada memohon karena terlalu lelah berdebat.

"Kemana aku harus pergi?" Tanya Marsha yang sedari tadi diam. Ia juga tidak ingin meninggalkan kota ini, terlalu banyak kenangan bahagia disini.

"Aku tidak bisa mengatakannya, tapi kau akan segera tahu nanti." Jawabnya penuh harap.

Starla melayangkan tatapan tajamnya. Sangat tidak suka atas jawaban Hans.

"Bahkan kau tidak mengatakan tujuannya! Kau kira kau bisa menipu sahabatku?!"

"Diamlah Starla! Kau memperburuk suasana, Marsha tidak akan merubah pikirannya hanya karenamu. Dia memang harus pergi!" Bentak Hans yang sudah tak bisa mengatasi kontrol emosinya. Ia sangat kesal dengan Starla.

"Jangan pergi Marsh, aku bisa menghidupi kita berdua disini. Hana juga tidak akan keberatan jika kau tinggal di rumahnya." Mohon Starla yang tidak rela Marsha pergi. Mereka sudah bersama sejak awal Marsha menginjakkan kakinya di New York. Jadi, sangat sulit untuk melepasnya pergi.

Marsha menatap Hans dan Starla bergantian. Jauh di dalam lubuk hatinya ia pun tidak ingin pergi, tapi semua yang dikatakan Hans benar dan ia juga tidak ingin merepotkan kedua sahabatnya itu. Mereka juga memiliki kesibukan masing-masing, Marsha tidak ingin mengganggu sahabatnya. Lagipula, hanya sampai berita itu lenyap bukan?

"Baiklah, hanya sampai berita itu lenyap." Kata Marsha yang terdengar pasrah. Hans tersenyum lebar mendengarnya.

"Marsha, kumohon jangan begini."

"Aku percaya padanya Star. Hans sudah bersamaku sejak lama dan aku mengenalnya sama seperti aku mengenal kalian berdua. Jadi, aku akan pergi. Paling tidak sementara agar berita itu lenyap." Jelas Marsha kepada Starla agar wanita itu bisa mengerti.

Starla menghelakan napasnya kasar. Ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Ini adalah kehidupan Marsha, jadi dirinyalah yang berhak melakukan apa saja di hidupnya. Starla pun kemudian menerjang Marsha dengan pelukannya, sangat erat.

"Tetap kabari aku. Kalau tidak jangan harap kau tetap bisa kembali kesini!" Ancamnya membuat Marsha terkekeh geli.

"Kau tenang saja. Kau orang pertama yang akan aku temui nanti setelah kembali." Katanya.

"Jaga dirimu. Jangan sampai kau membuat masalah di tempat asing itu. Aku akan sangat merindukanmu Marsha." Katanya yang sudah mengurai pelukannya.

"Aku juga."

"Kau tidak menemui Hana dulu?"

"Tidak akan sempat. Pesawatmu akan berangkat satu jam lagi." Kata Hans memberitahu sebelum Marsha menjawab pertanyaan Starla.

"Aku akan meneleponnya nanti. Dan sekarang aku harus pergi." Pamitnya kemudian berjalan menjauh bersama Hans keluar dari apartement Starla.

Starla memandangi punggung sahabatnya itu sendu. Ia tidak ingin kehilangan Marsha yang memiliki kesamaan dengannya. Tapi apa boleh buat, ini demi kebaikan Marsha juga.

***

Keheningan menyelimuti kediaman keluarga Stanford yang saat ini sedang mengadakan acara makan malam bersama di mansion mewah milik mereka. Tidak ada yang berbicara di antara mereka, bahkan sekedar suara dentingan sendok beradu pun tidak terdengar. Hingga setelah mereka menyelesaikan makan malam itu, suara berat milik Landon Standford memenuhi ruang makan yang besar itu.

"Kau...aku tahu kau sedang menghindar dari masalah ini." Katanya sembari menatap lekat Alland yang enggan menatapnya.

"Apa salahnya kami menginginkan kau segera menikah Alland? Umurmu sudah cukup matang." Suara seorang wanita paruh baya pun terdengar. Alice, ibunya Alland.

Alland mendesah pelan. "Aku hanya belum ingin. Lagipula, umurku masih 25 tahun mom." Balasnya tak bersemangat.

"Sewaktu seumuranmu aku sudah menggendongmu." Kata Landon, sang ayah.

"Aku bukan kau, dad. Aku masih muda dan masih ingin menikmati masa mudaku." Jawabnya berusaha menghindar. Ia tidak suka topik pembahasan ini.

"Sampai kapan? Bahkan Alisya akan bertunangan minggu depan. Apa kau tidak tertarik untuk menyusulnya? Apa kami perlu memilihkan seorang wanita untukmu?" Kata Alice tanpa perlu repot menjaga perasaan Alland. Dirinya harus mengatakan apa yang ingin ia katakan, kalau tidak bisa saja Alland tidak akan pernah menikah. Mengingat anak laki-lakinya itu selalu mempermainkan wanita tanpa memilih.

"Tidak perlu berlebihan seperti itu mom! Aku bisa memilih wanitaku sendiri." Kata Alland tak suka di akhir kata ibunya.

Memilihkan wanita untuknya? Yang benar saja! Alland paling tidak suka dengan cara seperti itu. Ia bisa memilih wanitanya sendiri tanpa bantuan kedua orang tuanya. Bahkan jika ia tidak mendapat wanita dalam jangka waktu yang sangat lama pun, Alland tetap tak ingin dipilihkan. Karena ia pernah melihat kasus itu menimpa teman SMAnya dulu. Dan temannya itu menjadi berakhir sangat menyedihkan. Ia tidak ingin menjadi seperti itu.

"Kau bahkan tidak bisa memilih. Kau selalu mengencani wanita tanpa tahu apa akibatnya. Jika nanti ada wanita gila yang datang ke mansion ini dengan mengatakan mereka mengandung anakmu, aku tak akan terkejut lagi." Kata Landon tanpa takut jika Alland, putranya akan marah.

Kabar mengerikan itu tidak pernah luput dari indra penglihatan dan pendengaran Landon. Jadi, pria tua itu sudah sangat tahu dan hapal tabiat putranya yang memang suka bermain wanita. Itu bukanlah hal yang mengejutkan baginya.

"Biarkan saja dad. Dia pasti akan mendapat karmanya segera. Kau pasti akan sangat sulit mendapatkan wanita sekali pun kau menginginkannya! Karena aku yakin tidak ada wanita yang ingin memiliki pasangan sepertimu!" Suara Alisya yang sedari tadi tak terdengar akhirnya menyeruakkan kekesalannya. Adik laki-lakinya itu memang sangat sulit untuk dinasihati.

"Semua wanita menginginkanku." Jawabnya dengan nada angkuh dan sombong. Membenarkan hal itu, Tiffany yang duduk di sebelahnya tersenyum penuh melihat tingkat kepercayaan diri Alland yang setinggi langit.

"Dia benar. Tidak ada satu wanita pun yang menolak pesonanya. Aku yakin Tuhan sudah menyiapkan seorang wanita yang akan sangat mencintainya nanti." Kata Tiffany sembari mengulas sebuah senyuman indahnya. Senyuman yang menular pada Alland, menunjukkan bahwa ia menanti hari itu. Dimana ia menemukan wanita yang memang benar mencintainya.

"Bahkan Tuhan pun mengutuknya. Dan kau tidak perlu mengatakan hal itu, yang kulihat kau tidak memiliki kesempatan. Berhentilah mengganggunya dan fokus pada pekerjaanmu saja. Adikku terlalu sempurna untukmu." Kata Alisya tanpa memikirkan perasaan sekretarisnya Alland itu.

Bukan hal yang tabu lagi baginya karena ia sudah tahu sejak awal Tiffany mengincar adiknya itu. Bahkan kedua orang tuanya pun tahu akan hal itu. Mereka tidak menyalahkan Tiffany yang menaruh hati pada putra mereka karena pesona Alland memang sangat sulit untuk diabaikan. Tapi jika sampai wanita itu bertindak lebih jauh, maka mereka pun juga akan bertindak. Karena keluarga Stanford sangat menjunjung tingga harta martabat mereka. Pasangan anak-anak mereka pun harus sama derajatnya. Jadi, jangan harap kalangan bawah sepertinya bisa bermimpi menikahi putra kesayangan mereka kalau tidak ingin berakhir seperti kisah di drama korea dimana sang ibu memberinya uang untuk menjauhi anak mereka.

Tiffany mengatupkan bibirnya. Tidak berani mengeluarkan kata-katanya lagi. Ia pikir keluarga Alland tidak seperti itu. Ia pikir keluarganya adalah keluarga yang hangat tanpa memikirkan status sosial. Tapi nyatanya salah, memang mereka keluarga yang hangat. Tapi tidak dengan orang-orang sepertinya yang menginginkan menjadi bagian dari mereka. Seharusnya Tiffany sadar akan hal itu. Sialnya, ia tidak memikirkan hal itu sebelumnya. Sehingga ia dengan semangat ingin bergabung di acara makan malam ini.

Poor you Tiffany.

"Dan kau Alland. Jangan salahkan aku jika kakak tersayangmu ini tidak akan kembali untuk bertemu denganmu. Karena setelah bertunangan aku akan pergi bersama tunanganku jauh dari sini. Kau juga tidak akan melihatku dalam waktu dekat setelahnya!" Katanya dengan nada penuh ancaman. Alland meringis mendengarnya, ancaman Alisya memang tidak pernah main-main.

"Kau selalu saja mengancamku kak." Rengeknya bagai bocah kecil.

"Perkenalkan aku dengan wanita pilihanmu. Jika kau sudah memilih satu dari wanita jalang itu." Katanya lagi dengan ekspresi penuh keseriusan.

"Jangan begini kak. Aku bahkan tidak tahu harus mencari wanita itu kemana. Sampai kapan aku tidak akan melihatmu? I will miss you so bad." Kata Alland dibarengi helaan napasnya diakhir kalimatnya.

"Beritahu aku kalau kau sudah menemukannya. Disitu kau akan kembali melihatku." Katanya kemudian beranjak pergi. Meninggalkan ketegangan yang berada di ruang makan yang besar itu.

"Mom?"

"Uruslah masalahmu. Kau tahu Alisya dia tidak akan menarik kata-katanya."

Alland menghelakan napasnya berat. Mengapa kakaknya bisa sebegitu kejam terhadapnya? Ia pun tidak bisa memungkiri jika ia tidak bisa melihat kakaknya lagi karena dari dulu Alland memang sangat lengket dengan Alisya.

"Pertemukan aku dengan pasanganku, God." Pintanya dalam hati.

***