5 Bulan kemudian.
Suasana di Bandara Internasional John F. Kennedy, New York terlihat begitu padat dan ramai. Tidak heran karena setiap harinya bandara itu memang selalu dipadati oleh wisatawan asing maupun domestik. Tidak ketinggalan seorang wanita cantik yang baru saja keluar dari pintu kedatangan sembari mendorong kopernya dengan gaya yang begitu elegan. Tak lupa kacamata hitam yang bertengger manis di wajahnya membuat wanita itu layaknya seorang model yang berjalan di atas catwalk.
"Marsha!" Teriakan keras seorang pria yang berdiri di belakang garis hitam membuat Marsha menghentikan langkahnya sejenak, kemudian kembali berjalan menghampiri pria itu.
"Woah, look at yourself! Aku bahkan hampir tidak mengenalimu. Kau begitu menakjubkan Marsh!" Katanya dengan begitu semangat.
"Kau berlebihan Hans." Jawab Marsha sembari terkekeh geli melihat eskpresi berlebihan yang ditunjukkan managernya itu.
"Aku tidak berbohong. Penampilanmu terlihat lebih baik dari sebelumnya. Bahkan tubuh ini semakin ramping dan tinggi. Kau memang sudah siap untuk mengisi posisi di perusahaan raksasa itu." Katanya dengan senyuman yang sedari tadi tak pernah pudar. Hans terlalu senang melihat perubahan di diri Marsha. Marsha yang dulunya terlihat sedikit pendek darinya, kini sudah menyamai tingginya. Bahkan Marsha terlihat lebih memukau dari pada dulu. Wanita itu berubah maksimal!
Marsha tertawa renyah mendengarnya. "Tentu saja. Akan kubuat mereka terpesona, hingga tidak bisa melepaskanku begitu saja. Kau tahu, aku bukan Marsha yang dulu. Aku akan lebih berhati-hati dengan kehidupan baruku ini." Katanya yang kini sudah mendudukkan dirinya di dalam mobil Hans. Ya, mereka berbicara sembari berjalan ke mobil milik pria itu.
"Harus. Aku juga akan memperingatkanmu lebih kali ini. Kau jangan sampai menyia-nyiakan pelarianmu selama 5 bulan ini Marsh atau kau akan kembali harus lari
lagi." Kata Hans dengan tatapan seriusnya. Tak ingin Marsha menganggapnya hanya membual.
"Aku tidak akan lari lagi. Sekarang semuanya sudah berakhir. Dan karirku di perusahaan raksasa itu akan memperbaiki namaku."
Hans kembali tersenyum melihat Marsha juga tersenyum bahagia. Ia tidak menyangka wanita itu benar-benar kembali ke New York dan memulai kembali karirnya sebagai artis. Bahkan Marsha yang dulunya sudah memukau dan mendapat banyak perhatian, kini menjadi lebih dari kata memukau. Wanita ini luar biasa cantik! Mungkin Hans akan langsung jatuh cinta pada pandangan pertama ketika melihat Marsha keluar dari pintu kedatangan bandara tadi, jika ia tidak mengingat jika Marsha adalah artisnya. Ia juga tahu batasannya.
"Jadi, besok aku sudah mulai bekerja?" Tanyanya pada Hans yang telrihat sibuk dengan jalanan di depannya.
"Belum. Besok kau masih harus memeriksa jadwalmu dan mencocokkannya dengan jadwal mereka." Jawab Hans.
"Apa itu perlu? Kau tahu ini pekerjaan pertamaku, aku belum memiliki pekerjaan lain selain menjadi bintang iklan di perusahaan itu." Kata Marsha mengingatkan.
"Aku tahu, tapi mereka hanya mengatakan itu." Katanya dengan santai.
Marsha pun hanya menganggukkan kepalanya menyetujui. Paling tidak ia bebas menentukan hari-hari kerjanya. Sepertinya Marsha tidak sabar kembali berhadapan di depan kamera, sehingga ia sangat ingin melewatkan besok hari dan mulai melakukan pemotretan. Marsha mengulum senyumnya mengingat itu.
"Oh iya!"
"Ada apa?"
"Kau juga harus melakukan wawancara." Katanya memberitahu mengingat ia melupakan satu hal itu sebelumnya. Marsha mengernyitkan keningnya heran. Untuk apa ia harus melakukan wawancara? Apa mereka ingin mengintrogasinya? Marsha merasakan ada yang tidak beres dengan semua ini.
"Aku rasa aku tidak memerlukannya Hans. Aku hanya melakukan pemotretan dan lagi aku bukan artis kemarin sore." Jawabnya tak suka.
"Lakukan saja walaupun aku yakin tidak ada gunanya karena mereka akan tetap memakaimu."
"Lalu untuk apa aku melakukan wawancara? Bukankah itu terdengar....aneh?" Herannya yang masih tak mengerti.
Hans mengedikkan bahunya acuh. "Mereka mengatakan itu berarti kau harus melaksanakannya."
"Kau tidak menanyakannya?"
"Aku sempat bertanya karena memang terdengar aneh, tapi kata mereka atasan yang mereka sebut sebagai CEO itu menginginkan kau melakukan wawancaramu besok
pagi." Jawab Hans sembari melirik Marsha di sebelahnya dengan sekilas.
Marsha menghelakan napasnya entah untuk apa. Ia merasa seperti ada yang aneh. Semuanya terasa seperti sudah diatur dan entah mengapa ia merasakan perasaan tidak enak mengenai hal ini.
***
Suara ketukan meja terdengar memenuhi setiap sudut ruangan besar itu. Jari telunjuk pria itu mengetuk-ngetuk meja kerjanya sembari menatap arlojinya yang terlihat berjalan melambat, padahal tidak. Hingga sebuah ketukan pintu yang berasal dari luar pintu kerjanya membuatnya langsung menoleh dan mempersilakan orang itu untuk masuk.
"Permisi sir, saya ingin mengantarkan ini." Katanya yang sudah berjalan memghampiri atasannya itu.
"Apa Troy yang memberinya padamu?" Tanya Alland menatap sekretarisnya penuh selidik.
"Benar sir, Mr.Troy yang memberikannya padaku. Tapi beliau tidak bisa berlama-lama karena harus mengerjakan sesuatu." Jawab sekretarisnya itu.
Alland hanya menjawabnya dengan anggukan kepalanya, kemudian mempersilakan Tiffany untuk meninggalkan ruangan kerjanya. Sejak tadi Alland memang menunggu seberkas dokumen yang selalu ia nantikan. Lima bulan lalu dirinya menyuruh Troy untuk menemukan seorang wanita yang melakukan hubungan ONS dengannya. Sebenarnya hal itu tidak jadi masalah baginya kalau saja ia tidak ditinggalkan begitu saja. Sehingga mau tidak mau, Alland harus mencari wanita itu. Dan kemarin Alland baru menemukan fakta itu bahwa Troy telah menemukan wanita itu.
Dari apa yang dikatakan Troy, wanita itu bernama Marsha. Seorang artis yang dikabarkan sedang terlibat sebuah skandal dengan seorang direktur dari agencynya dan membuat Alland beramsumsi bahwa kedatangan wanita itu ke club malam untuk memuaskan hasratnya, terlihat dari cara wanita itu meneriakinya. Wanita yang malang, mendapat skandal di tengah-tengah karirnya yang sedang naik daun. Apalagi mengingat bahwa wanita itu mencintai seorang pria yang mungkin mengkhianatinya. Sudah jatuh ditimpa tangga pula, begitulah ungkapan yang pas untuk wanita itu.
Alland pun tak membuang waktunya lagi. Ia membuka amplop cokelat yang berisi beberapa lembar kertas di dalamnya. Ia pun melihat isi teratas kertas itu, membaca dan menelitinya dengan cermat.
"Jadi namanya Marsha Charlotte? Lebih muda 5 tahun dariku. Menarik." Gumamnya yang kemudian membaca lebih lanjut biodata wanita bernama Marsha itu.
Kening Alland mengernyit melihat biodata kedua orang tua wanita itu. Ini tidak mungkinkan? Atau dirinya yang selalu beramsumsi kalau kebanyakan artis terlahir dari keluarga kaya.
"Martin Charlotte? Pria tua yang sudah pensiun dan pernah bekerja di Cotte Restaurant. Bukankah itu restaurant termahal yang memiliki kemewahan di setiap infrastrukturnya?" Lagi. Alland menggumam membaca biodata itu.
Kemudian ia mengangguk membaca bahwa pria tua itu bekerja sebagai koki disana. Dan itu sudah terjadi beberapa tahun yang lalu karena pria tua itu sudah pensiun. Alland mengangguk mengerti. Wanita itu mungkin menjadi artis karena ia harus menghidupi ayahnya yang tua tanpa sang ibu. Karena yang Alland lihat, ibu wanita itu sudah tiada.
Seulas senyuman pun terukir di bibir merah merekah milik Alland.
"See you tomorrow, Marsha."
***