Semalaman Bryan tidak bisa tidur membuat kepalanya jadi berdenyut. Sudah jam pelajaran kedua tapi konsentrasinya hilang entah kemana. Tak tahan, Bryan akhinya menutup buku lebih cepat sebelum Pak Edy, guru Matematika selesai mengajar. Bryan sampai harus memijit pangkal hidungnya pelan dan melepaskan nafas berat. Rasanya jam pelajaran itu lama sekali berakhir. Ia sudah tak tahan lagi. Padahal Matematika adalah salah pelajaran kesukaan Bryan, tapi hari ini rasanya sesak berada di dalam kelas. Setelah menunggu seperti ratusan tahun akhirnya bel jam istirahat berbunyi.
"Oke, sampai disini dulu, besok jangan lupa ada quiz," ujar Pak Edy yang disambut gerutuan siswa sekelas. Bryan tidak ikut bereaksi, pikirannya melayang entah kemana. Dari semalam Bryan terus memikirkan Nisa. Gadis yang sama yang ditemuinya dekat toilet siswa dan sialnya gadis itu ternyata calon adik tirinya. Tak kalah mengejutkan ternyata dia adalah anak perempuan bu guru Rita, wali kelas Bryan. Bryan tau guru Bahasa Inggris itu sudah berkeluarga meski dia tidak pernah bercerita tentang suaminya atau keluarganya namun tetap satu hal yang mengejutkan ternyata anak ibu Rita adalah Deanisa.
'Deanisa, kenapa harus kamu yang datang ke rumah,' pikir Bryan lagi. ia terus melamunkan Deanisa dan seolah terus menggerutui keadaannya. Usai bertemu secara tak sengaja dan Bryan juga tak sengaja menolong, ia sebenarnya berencana mencari anak kelas satu itu ke seluruh sekolah. Bryan tak bisa menolak jika wajah imut dan sangat cantik milik Deanisa membuat hatinya bergetar untuk pertama kalinya. Akhirnya Bryan hanya bisa melepaskan nafas berat. Kenapa malah jadi seperti ini?
Kelas sudah sepi, Bryan pun melangkahkan kaki keluar kelas mencoba mengusir bayangan Nisa di dalam pikirannya. Tiba-tiba, Arya datang dan langsung menarik tangan Bryan bersamanya. Arya terus menarik Bryan ke sepanjang koridor sekolah.
"Ikut gue, cepet sebelum Dira liat lo!" ujar Arya sambil berjalan cepat.
"Ada apaan sih!" tanya Bryan ketus.
"Surprise buat lo, Bro!"
"Gak usah tarik-tarik, aku bisa jalan sendiri. Kita ngapain ke perpustakaan sih!". Tapi Arya tak perduli dan masih terus menarik Bryan bersamanya.
"Be quiet!" hardiknya membungkam Bryan dan seperti biasa ia pun terdiam menuruti Arya. Mereka berdua akhirnya masuk ke perpustakaan lantai dua. Beberapa siswa melihat Bryan dengan senyuman manis dan dengan cueknya Bryan melewati mereka semua. Arya terus menarik Bryan sampai tiba di sebuah lorong rak bagian biologi dan fisika. Bryan masih belum mengerti kenapa ia dibawa kesana. Mungkin dia mau meminta saran meminjam buku – pikir Bryan. Tapi biasanya kalau Arya tidak paham, dia cuma tinggal bertanya tapi kenapa malah terus menyeret Bryan.
Hampir sampai di ujung lorong Arya baru berhenti kemudian berbalik. Sambil tersenyum licik dia setengah berbisik pada Bryan.
"Gue bawain yang lo cari, cewek itu kan yang lo maksud?" ujar Arya sambil melipat lengannya di dada. Bryan mengernyitkan kening tak mengerti yang dia maksud. Tak lama kemudian pandangan Bryan beralih melihat ke arah yang dimaksudkan Arya. Ternyata Nisa ada di depan lorong tempat Bryan berdiri tengah mencari buku. Nafas Bryan langsung tercekat, oh tidak...
"Dia cewek itu kan, go and take her!" tambah Arya sambil berjalan meninggalkan Bryan lalu berdiri di balik rak disebelahnya. Go... mulutnya berbisik lagi. Apa-apaan Arya! Apa dia tidak tau jika gadis itu bisa buat jantung Bryan copot seketika. Awalnya ragu dan terus menoleh pada Arya membuat Bryan akhirnya melangkahkan kakinya kearah Nisa yang sedang mencoba mengambil buku dari rak atas yang lebih tinggi dari tinggi tubuhnya.
Dia berjinjit dengan satu tangannya memegang bagian rak didekat dadanya. Bryan berada tepat di belakangnya dan dari posisinya, ia bisa mencium wangi strawberry vanilla yang lembut. Oh Tuhan gadis ini seperti marshmellow, manis – ujar Bryan dalam hatinya.
Bryan menjulurkan tangan untuk mengambil buku yang dimaksud Nisa. Buku tebal ensiklopedia tentang anatomi tubuh manusia. Nisa terkejut dan berbalik, dan wajah mereka pun bertemu.
Nafas Bryan yang semula berat setelah melihat Nisa di depannya mulai teratur dan tenang. Nisa tidak menyembunyikan rasa terkejutnya ketika tiba tiba ada seseorang yang membantunya mengambil buku yang cukup tinggi. Tadinya dia sudah mencari tangga pijakan untuk mengambil buku tapi dia tidak menemukan dimana pun. Jadilah Nisa mencoba mengambil dengan cara menjinjit.
Bryan menatap tak berkedip gadis cantik yang berjarak hanya 7 cm dari wajahnya. Setelah beberapa saat dia sadar barulah tangannya menjulurkan buku yang ia ambil untuk Nisa. Nisa membalikkan tubuhnya dengan sangat pelan ke hadapan Bryan. Bryan harus sedikit menunduk untuk melihat wajah gadis itu. Tinggi mereka ideal satu sama lain.Tinggi Nisa yang imut berhadapan dengan Bryan yang jangkung.
"Terima kasih Kak Bryan" ujar Nisa yang kemudian langsung menundukkan wajahnya dengan rona pink di pipinya. Bryan bisa melihat gadis itu tersipu. Nisa mendekap buku itu di dadanya. Jantungnya seperti mau copot. Ia merasa dia akan menghadapi masalah besar. Belakangan ini ia mendengar teman temannya berbicara tentang Bryan dan kelompoknya. Bryan bukan seperti yang dipikirkan orang, dia bukan anak baik. Apa yang harus aku lakukan, aku terjebak disini - pikir Nisa.
Bryan masih terus memandang gadis itu sambil tersenyum tipis. Nisa punya kulit seputih susu dengan tangan dan jari yang imut. Bryan ingin menggenggam tangan Nisa membelai jari-jari kecilnya yang lembut. Dia menahan keinginannya dengan mendehem pelan.
"Lain kali kalo tidak bisa ambil sendiri, minta tolong petugas disini!" Bryan berbicara selembut mungkin pada Nisa. Matanya tidak berhenti terus memandangi hidung dan bibir mungil pink Nisa. Tanpa sadar Bryan menjilat dan mengigit bibir bawahnya sendiri dan mendekat ke arah Nisa. Tangan sebelah kanan diletakkan disebelah atas kanan kepala Nisa menekan rak buku di depannya. Tangan sebelah kirinya di masukkan ke dalam kantung celana. Nisa hanya mengangguk pelan setelah Bryan bicara.
"Kenapa kamu menunduk, kamu takut sama Kakak?" tambah Bryan makin mengintimidasi. Nisa semakin tidak nyaman. Nisa tidak berani bergerak atau menjawab. Matanya terus memandang ke bawah.
"Bagus kalo kamu takut, jadi kamu akan berfikir dua kali kalau mau melawan Kakak" ujar Bryan berbisik mengancam ke telinga Nisa. Berada dalam jarak sedekat ini ingin sekali Bryan mencium pipi gadis itu. Terutama pada guratan pink yang membuatnya menjadi sangat menggemaskan. Nisa menahan nafas dan menelan ludahnya mendengar 'ancaman' Bryan. Sewaktu Nisa memberanikan diri mengangkat wajahnya, netra matanya kemudian bertemu dengan mata Bryan yang ternyata berwarna coklat.
Bryan hampir hilang kendali ketika matanya menatap langsung mata Nisa yang hitam, bulat dengan bulu mata panjang dan lentik. Matanya sangat indah, dibingkai dengan alis tebal kecoklatan. Nmaun wajah Nisa menunjukkan kecemasan, takut nasibnya akan sama seperti siswa siswa yang pernah dibully Bryan. Sadar Nisa cemas, Bryan menarik wajahnya.
"Kenapa kamu diam aja!" Nisa cuma menggeleng dan kembali menunduk.
"Ayo bicara!"
"Nggg... O-om Hans b-bilang Nisa harus bersikap b-baik sama Kak Bryan dan Kak Alisha." Nisa akhirnya bicara dengan sangat gugup. Dia benar benar takut pada Bryan.
"Kenapa?"
"K-karena Nisa akan jadi adiknya Kak Bryan." Bryan terdiam dan mengernyitkan keningnya.
"Adik tiri itu bukan adik Nisa, kamu hanya akan jadi orang lain yang datang ke rumahku," jawab Bryan dingin. Sungguh dia tidak ingin Nisa jadi adiknya. Nisa semakin takut. Hatinya seperti serasa diremas mendengar jawaban Bryan. Kali ini dia yakin Bryan tidak akan pernah menerima dirinya dan Ibunya sebagai keluarga. Dia sudah membayangkan akan terus dijahili Kakak tiri dan teman temannya tanpa bisa berbuat apa apa. Bunda nya selalu berpesan agar menghormati calon kakak-kakaknya. Karena Nisa anak tunggal dia tidak pernah merasakan rasanya punya Kakak, ia jadi kelewat bersemangat ketika tau calon Ayah tirinya memiliki dua anak. Ternyata yang dia bayangkan jauh dari kenyataan yang diharapkannya.
" Sekarang pergi dan makan sesuatu, badan kamu terlalu kurus Nisa. Kakak gak suka cewek kurus, mengerti?" Nisa mengangguk cepat dan langsung berjalan meninggalkan Bryan di lorong itu.
Arya yang dari tadi bersembunyi di balik rak langsung menghampiri Bryan setelah Nisa pergi.
"Apa maksudnya dia akan jadi adik lo?" tanya Arya dengan dahi mengernyit. Dia melupakan keinginannya menggoda Bryan.
"Dia anak Bu Rita, calon istri Daddy," jawab Bryan memandang Arya.
"Dan dia calon adik tiriku, Arya," tambah Bryan dengan pandangan sedih. Arya langsung kecewa tidak percaya.
"What the hell! Gimana bisa kayak gini? Lo gak pa-pa Bry?" Arya bertanya cemas. Ia tau benar sahabatnya. Hatinya makin tidak tenang. Bryan tidak menjawab malah tersenyum sinis menertawakan nasibnya. Pertama kali Arya melihat betapa Bryan sangat menyukai seorang anak perempuan. Tapi takdir malah menjadikan Nisa dan Bryan akan menjadi saudara.
Tak ingin terlalu lama berada di sana, Bryan pun melangkahkan kakinya keluar dari perpustakaan, rasanya dia ingin cepat pulang. Di depan pintu kelas, Arya mencegat Bryan dengan menarik lengannya.
"Trus apa yang akan lo lakuin?" tanya Arya pelan dengan wajah cemas.
"Gak ada, gak ada yang bisa aku lakukan."
"Tapi lo suka dia kan." Bryan terdiam sejenak dan memandang Arya dengan lekat.
"Lebih dari sekedar suka Arya, lebih dari itu," jawab Bryan sambil tersenyum. Arya ikut tersenyum.
"Tapi ini hanya akan jadi rahasia kita, tidak ada yang boleh tau soal perasaanku sama Nisa, mengerti."
Arya hanya menarik nafas panjang dan akhirnya mengangguk. Kasihan Bryan, cinta pertamanya kandas sebelum ia memulainya.
"Gak tau lah Bry, tapi gue yakin suatu saat pasti ada cara. Entah gimana, tapi pasti ada cara yang bisa dilakukan, lo harus optimis." Arya terus memberi semangat. Bryan hanya mengangguk pelan.
"Yang jelas dia gak akan pernah jadi adikku sampai kapan pun."