Chereads / The Seven Wolves: Trapped Under Devils Possession / Chapter 7 - Pertengkaran Pertama Dengan Daddy

Chapter 7 - Pertengkaran Pertama Dengan Daddy

"Jangan bersikap tidak sopan padanya Bryan, dia calon istri Daddy. Dia akan jadi Ibu kamu," ujar Hans dengan suara mulai marah. Bryan melihat Ayahnya dengan rasa marah dan kesal yang luar biasa. Lalu matanya kemudian beralih ke sebelah kiri Hans. Belakang Hans, Rita ternyata sudah berdiri dibelakang sambil mengenggam tangannya dengan ekspresi cemas dan takut. Bryan lantas memberi tatapan benci pada Rita. Rita sempat menundukkan kepalanya. Lalu Bryan menatap Hans lagi.

"Dia gak akan pernah jadi Mommy, dia gak akan bisa gantiin Mommy! Dan Bryan gak akan menerima mereka jadi bagian dari keluarga ini sampai kapan pun!" Teriak Bryan lalu langsung masuk kamar dan membanting pintu. Bryan mengunci pintunya dari dalam dan melemparkan tas sekolahnya dengan marah ke lantai. Ia kemudian menendang tas itu hingga mendarat entah kemana. Sedangkan Hans masih terus berusaha untuk membujuk Bryan dengan mengetuk pintu agar ia mau keluar dan bicara.

Bryan mengamuk di dalam kamarnya untuk menyalurkan emosi serta rasa marah. Ia membuang dan menghamburkan semua benda yang ada di atas meja belajar. Semua hasil karya Fisika milik Bryan Alexander hancur berantakan.

"Aaarggghh!" teriak Bryan marah dan menendang kursi belajarnya sampai patah. Ia bernapas cepat seperti seorang monster yang dibangunkan dalam tidur nyenyak.

Hans terus mengetuk pintu kamar Bryan. ia mencoba untuk tetap bicara pada Bryan yang bahkan tak mau membuka pintunya sama sekali.

"Bryan, ayo keluar dan kita bicara, Bryan..." panggil Hans mulai putus asa. Rita kemudian menghampiri dan memegang pundak Hans.

"Sudahlah berikan dia waktu, biar Bryan istirahat dan menenangkan dirinya," ujar Rita dengan wajah pucat. Ia tak pernah melihat Bryan semarah itu. Rasa bersalah mula menghinggapi perasaan Rita. Ia mencoba terus tersenyum meskipun sebenarnya ia mulai ragu ingin meneruskan rencananya bersama Hans atau tidak.

Sementara Hans tidak percaya dengan apa yang ia saksikan. Anaknya menentangnya, dan pertama kali dalam hidupnya Bryan menaikkan nada bicara pada Ayahnya, Hans. Akhirnya Rita mengajak Hans untuk pergi menenangkan diri.

Hans tidak tau bahwa menikahi Rita akan menjadi awal perubahan besar bagi Bryan. Perubahan yang juga akan menyeret Nisa pada rasa sedih yang berkepanjangan dalam hidupnya.

Bryan yang tidak tahan terus berada di kamar dalam keadaan marah, kemudian mengganti seragam sekolahnya dan pakaian yang lebih santai. Tak lama setelah tidak ada lagi suara diluar, Bryan keluar dari kamar dan pergi menuju rumah sahabatnya Arya. Cuma Arya yang bisa mengerti. Dia bahkan melupakan rasa lapar dan gerah yang hendak dibuangnya ke kolam renang tadi siang. Keinginannya berolahraga hilang seketika.

Tiba di rumah Arya, Sinta, Ibunya Arya tersenyum ramah pada Bryan ketika melihat anak itu berdiri di depan pintu rumahnya.

"Arya baru aja pulang, ayo masuk," ujar Sinta, Ibu Arya sambil tersenyum dan membelai rambut Bryan. Bryan hanya mengangguk dan masuk ke dalam. Ia berjalan ke arah kamar Arya. Tanpa mengetuk, Bryan langsung masuk ke kamar Arya.

"Ah bikin kaget aja, kirain siapa? Kebiasaan jelek lo gak pernah ketuk pintu, gimana kalo gue lagi ganti boxer kan jadi keliatan semua?" sembur Arya tanpa berhenti. Ekspresinya langsung berubah cemas ketika melihat ekspresi Bryan yang aneh.

"Lo kenapa Bry?" Bryan tak menjawab dan malah melemparkan punggungnya ke atas matras king size milik Arya.

"Bry, lo kenapa, lo sakit?" Bryan masih tak mau menjawab. Ia malah menutup setengah wajahnya dengan sebelah lengan.

"Jangan bikin gua panik, ada apa?"

"Aku bertengkar sama Daddy." Mulut Arya spontan terbuka. Matanya membesar tak percaya yang ia dengar. Seberat apapun masalah yang dihadapi oleh temannya ini, dia tidak pernah seumur hidupnya hingga saat ini berdebat apa lagi bertengkar dengan Ayahnya. Bagi Bryan, Hans adalah dewa, orang yang paling dia hormati. Seberat apapun permintaan sang Ayah, Bryan tidak pernah membantah dan selalu memenuhinya. Apapun, termasuk berpura-pura baik.

Belum sempat Arya bicara, tiba tiba pintu kamar Arya diketuk. Sinta, Ibu Arya tersenyum di depan pintu ketika anaknya membuka pintu.

"Iya, Ma?"

"Bryan pasti belum makan, ini Mama bikin Spaghetti buat kalian berdua, temani dia makan ya?" ujar sang Ibu memberikan nampan berisi dua piring berisi Spaghetti Bolognese dan air minum.

"Makasih, Ma." Sinta membalasnya dengan tersenyum manis.

Ibunya menutup pintu kamar sementara Arya berjalan ke arah Bryan. Arya meletakkan nampan makanan diatas meja. Ia lalu berjalan ke arah Bryan yang masih tidur sambil melihat langit-langit kamar.

"Ayo makan dulu, nanti setelah makan kita bicara." Bryan tidak bisa menolak lagi, perutnya sudah sangat lapar. Waktu sudah hampir jam empat sore dan perutnya belum diisi makanan apapun. Ia akhirnya bangun dan duduk di meja belajar Arya untuk menikmati makan siang yang sudah telat itu.

"Gue gak ngerti kenapa Mama bisa tau kalo lo udah makan atau belum, gue rasa Mama punya indra keenam," gumam Arya sambil mengunyah makanan. Bryan tertawa kecil dan tersenyum lebar. Dia tak menanggapi perkataan Arya, baginya Tante Sinta sudah seperti Mommy-nya. Dia bahkan tau jika Bryan lapar tanpa harus bertanya. Arya pun demikian. Ia selalu bisa membuat perasaan Bryan lebih baik. Setelah makan, Bryan pun menceritakan kejadian yang dialaminya tadi siang. Arya hanya mendengar dan tidak berkomentar. Bryan hanya butuh didengarkan saat ini. Dan itulah yang dilakukan Arya.

Setelah Bryan selesai bercerita, Arya menepuk pelan bahu Bryan mencoba berkata dia tidak sendiri. Arya tau perasaan Bryan sangat risih saat ini. Jika ia berada dalam posisi Bryan, mungkin dia juga akan melakukan hal yang sama. Dari kecil Bryan memuja Ayahnya, Om Hans. Bryan pasti berpikir jika Bu Rita akan mengambil Ayahnya untuk dirinya sendiri. Meskipun sebenarnya bukan itu yang Arya rasa. Arya tau Bu Rita orang baik. Dia pernah mendengar sedikit cerita tentang bu Rita dan masa lalu nya. Dia bercerai dari suaminya yang Arya dengar suka melakukan kekerasan. Ketika Bu Rita masuk ke sekolah mereka, Arya dan Bryan baru duduk di kelas 1 selama 3 bulan. Tak ada yang benar-benar tau, kapan Bu Rita akhirnya bercerai dan menjadi guru di sekolah mereka.

Usai makan dan bercerita, Bryan dan Arya hanya duduk dan terdiam cukup lama. Sampai akhirnya Arya bicara.

"Lo mau selesaiin proyek robot kita gak?" tanya Arya berharap Bryan bisa melupakan rasa kesal dan marahnya hari ini. Arya mencoba mengalihkan pikiran Bryan agar ia tidak stres. Malam harinya, Bryan memutuskan tak pulang dan menginap di kamar Arya.