Chapter 9 - Pernikahan

Upacara pernikahan pun akhirnya berlangsung. Hans dan Rita mengucapkan janji pernikahan sehidup semati yang dinikahkan oleh seorang Pastur. Setelah dinyatakan sebagai suami istri, Hans pun mencium wanita yang telah resmi jadi istrinya itu.

Tepuk tangan dan ucapan selamat pun diberikan oleh seluruh tamu yang hadir. Bryan pun ikut memberi tepuk tangan sambil sesekali melihat ke arah Nisa yang berjarak beberapa meter darinya. Darren langsung memeluk Hans dan mengucapkan selamat. Setelah itu ia memeluk Bryan yang ada berada disebelahnya.

"Oh my Son, I miss you so much!" ujar Darren memeluk Bryan dengan erat. Darren sangat menyanyangi Bryan dan itu begitu terlihat ketika ia sedang memeluk.

"Kenapa uncle baru datang?" tanya Bryan usai melepaskan pelukannya.

"Ah, Uncle baru saja dari suatu tempat... urusan pribadi, biasa. Hehehe." Darren membuat alasannya. Bryan hanya menggelengkan kepalanya karena ia tau mengapa Darren terlambat. Dia pasti sedang sibuk dengan salah satu kekasihnya. Darren ikut menyapa Arya dengan akrab seperti biasa.

Acara pesta berjalan dengan lancar. Seluruh tamu menikmati hidangan dan musik yang disajikan. Pesta yang meriah tidak membuat Bryan bahagia. Ia duduk dengan bosa tak tau harus melakukan apa di kursinya. Dari tempatnya ia bisa melihat Hans sedang berdansa dengan istrinya. Hans terlihat sangat bahagia, demikian juga dengan Rita.

Disudut lain, Alisha terlihat sedang berbicara dengan teman-teman sekolahnya. Mereka tertawa dan bersenang senang. Sedangkan Arya, dia mungkin sedang menggoda anak teman-teman Hans yang sebaya.

Bryan menatap bosan pada gelas yang sedang dipeganginya. Rasa ngantuk dan bosan membuat Bryan memalingkan wajahnya melihat pintu belakang mansionnya. Tapi kemudian keningnya mengernyit ketika Nisa terlihat masuk ke dapur belakang. Bryan berpikir sejenak sebelum akhirnya memutuskan untuk bangkit dari tempat duduk dan mengikuti Nisa.

Sesampainya ia di dapur, Bryan tidak menemukan Nisa. Bryan sudah berpikir untuk pergi saja naik ke kamarnya dan meninggalkan pesta. Bryan akan naik ke kamarnya lewat tangga belakang tapi kemudian ketika ia membalikkan tubuhnya, Bryan tertegun melihat seseorang turun.

Bryan melihatnya turun dari tangga tanpa berkedip. Rasanya ingin memalingkan wajah yang semakin memerah tapi tapi tubuhnya malah tak mau bergerak. Ia kaku ditempatnya tak bisa berbuat apapun.

'Aku kakaknya tak seharusnya aku seperti ini. Apa yang harus aku lakukan?' tanya Bryan dalam hatinya.

Bryan baru melepaskan napas ketika Nisa sudah di depannya sambil melihat wajahnya.

"Kak Bryan kenapa disini?" tanya Nisa dengan polos. Bryan malah tak berkedip dan tenggelam dengan pikirannya sendiri. Nisa jadi makin memperhatikan Bryan dan mencoba menyapa lagi.

"Kak... Kakak baik-baik aja?" ujar Nisa lagi menyadarkan Bryan.

"Ah, Kakak gak apa. Kamu dari mana?" jawab Bryan sehabis menarik napas panjang.

"Hhm... Nisa habis ganti baju, Kak. Tadi bajunya kotor kena minuman." Bryan mengangguk pelan dan terus memandangi Nisa.

"Kalau gitu, Nisa balik kesana dulu Kak," ujarnya sambil menunduk. Begitu Nisa melewati Bryan, lengannya dicekal.

"Wait, ikut Kakak sebentar." Bryan menarik tangan Nisa menuju ke atas ke arah kamarnya. Nisa yang bingung pasrah ketika ditarik Bryan. Dia tidak tahu akan dibawa Bryan kemana.

Wajahnya mulai pucat ketika Bryan membuka pintu kamar dan memasukkan Nisa ke dalam. Pintu ditutup dan dikunci oleh Bryan. Tangan Nisa mulai bergetar ketakutan. Sikap Bryan berubah menjadi dingin. Bryan berjalan ke arah Nisa dan meletakkan kedua tangannya di saku celana. Nisa mundur dua langkah ketika Bryan maju satu langkah.

"Jawab dengan jujur, kamu udah punya pacar?".

Nisa ragu mau menjawab namun akhirnya menggeleng. Matanya menunduk melihat lantai. Bryan menarik tangan Nisa dan mendorongnya ke arah pintu. Nisa kaget dan ketakutan.

"Apa ada yang naksir kamu sekarang?" Nisa hanya diam dan tidak berani menatap Bryan.

"Lihat aku Nisa dan jawab pertanyaanku," ujar Bryan dengan suara mulai meninggi. Dengan takut dan ragu Nisa mengangguk. Mata Bryan membesar, bibirnya seperti menahan amarah yang mau meledak.

"Siapa yang naksir kamu sekarang?"

"T-tapi Kak.."

"SIAPA!" sahut Bryan setengah membentak. Nisa terkejut dan tangannya mulai berkeringat.

"K-kak Andre, senior kelas t-tiga" Nisa tidak bisa menahan getaran di suaranya. Bryan meletakkan sebelah tangannya di samping kepala Nisa. Tangan satunya terkepal marah. Wajahnya mulai makin mendekat pada Nisa.

"Kalau begitu kamu sekarang pacar Kakak, mengerti!" Nisa mengangkat wajahnya dengan pandangan terkejut. Apa maksud Bryan berkata seperti itu. Nisa pasti salah dengar.

"Apa maksud Kakak?" tanya Nisa takut-takut.

"Kamu dengar aku kan, kamu sekarang pacarku," ujar Bryan tanpa tersenyum dan terlihat sangat marah. Nisa berpikir jika sekarang Bryan tengah menjahilinya. Ternyata ia tak luput dari bullyan Bryan Alexander sama sekali.

"Gak mungkin k-kak...kak Bryan Kakak tiri Nisa," balas Nisa ketakutan dengan napas mulai berat. Bryan hanya membuat Nisa semakin takut.

"Apa kamu bilang, kita gak punya hubungan darah Nisa!"

"T-tapi, Bunda dan Papa Hans baru saja menikah, Kak. Itu artinya Kakak jadi kakaknya Nisa. Gak mungkin Kak Bryan maksa Nisa pacaran sama Kakak." Entah keberanian dari mana Nisa bisa bicara sepanjang itu. Ia seperti sedang menggali kuburannya sendiri. Bryan kembali terdiam dan seolah suhu di kamar jadi sedingin dua derajat celcius. Nisa seperti mengigil melihat wajah Kakak tirinya itu. Ia terjebak di kamar dengan Bryan dalam keadaan emosi.

Bryan lantas memegang tekuk Nisa lalu mendekatkan wajah gadis polos itu lebih dekat dengan wajahnya. Nisa makin ketakutan saat, Bryan mendesis di depan wajahnya.

"Aku bukan Kakakmu dan kamu bukan adikku!" tangan Bryan menekan tekuk Nisa dan makin mendekatkan wajahnya hingga hanya hidung mereka hampir bersentuhan. Nisa pucat dan hanya bisa diam saja diperlakukan seperti mainan oleh Kakaknya. Tanpa peringatan apapun, Bryan lantas mencium bibir Nisa dengan agresif sambi menutup matanya. Hanya isakan kecil terdengar dari balik ciuman Bryan yang penuh marah dan rindu....

Nisa seperti patung tak sadar apa yang terjadi. Bryan terus menciumnya dan tak lama Nisa mulai melawan. Bryan menggigit pelan bibir bawah Nisa sebelum melepaskan kecupannya. Napasnya tersengal tapi matanya terus menatap mata Nisa. Yang dilihat Nisa bukanlah rasa cinta tapi rasa marah Bryan atas pernikahan ayahnya. Mata Nisa mulai berair dan saat itu Bryan mulai sadar akan kesalahannya. Dia melepaskan cengkramannya pada gadis itu. Tak pikir panjang, Nisa langsung berbalik membuka pintu dan berlari keluar. Bryan tidak mengejar dia hanya diam melihat Nisa pergi. Napas Bryan tersegal dan masih berdiri di ujung pintu kamar yang terbuka.

Sayup sayup dari kamar, terdengar suara tertawa dan kemeriahan pesta di kebun belakang. Pengantin wanita baru saja melempar buket bunganya.