Chapter 10 - Heartbreaker

Sehari setelah pernikahan, Rita pindah ke kediaman Alexander. Hans menyambut keluarga barunya dengan senyuman lebih lebar dari biasanya. Usai kejadian di kamar Bryan, Deanisa masuk ke rumah Alexander dengan hati berdegup kencang dan ketakutan. Begitu ia melangkahkan kaki ke dalam, Alisha menyambutnya dengan pekikan bahagia. Alisha sangat ingin punya adik perempuan dan Nisa memenuhi semua kategori adik favorit yang ia inginkan.

"Baby... kamu cantik banget sih. Nanti malam tidur di kamar Kak Alisha yah!" pekik Alisha sambil memeluk Nisa yang tersenyum saja tanpa menjawab. Dari atas railing lantai dua, Bryan melihat Rita dan Nisa masuk ke rumahnya sebagai anggota keluarga baru. Pandangan sinis itu tak terkecuali ia juga berikan pada Nisa. Nisa yang sedikit menengadah ke atas melihat Bryan hanya bisa menunduk kemudian. Bryan memberinya pandangan bermusuhan di hari pertama Nisa masuk ke rumah itu.

Nisa memutuskan memanggil Hans dengan sebutan Papa karena ia tidak punya kesempatan untuk memanggil nama itu sebelumnya. Nisa bersikap sopa seperti biasa tapi terus menghindar jika bertemu dengan Bryan. praktis ia hampir tidak pernah bertemu dengan Bryan di rumah. Jika bertemu pun Nisa langsung bersembunyi. Entah mengapa ia jadi takut sekali. Nisa belum pernah berciuman, dan Bryan sudah mencuri ciuman pertamanya. Rasanya ingin sekali marah tapi melihat Bryan saja Nisa sudah ketakutan. Dan dia tidak bisa bercerita pada siapapun.

Bryan juga bersikap sama. Ia seperti ditelan bumi. Semenjak Nisa pindah ke rumahnya, ia hanya masuk ke kamar lalu pergi lagi dan baru pulang malam. Bryan tak pernah lagi mau makan di rumah. Hal itu terus berlangsung sampai hampir tiga minggu ini. Hingga akhirnya Nisa menyaksikan sendiri keberingasan Bryan Alexander yang sebenarnya. Ia menarik kerah baju seorang siswa di sepanjang koridor sekolah. Beberapa siswa laki laki mengikuti mereka, tak lama kemudian Nisa melihat kakak tirinya itu memukul siswa tersebut.

'Oh Tuhan, bukannya itu Kak Andre!' teriak Nisa dalam hatinya sambil menutup mulutnya begitu terkejut. Nisa berdiri tepat di depan koridor tempat Bryan sedang memukuli Andre. Entah kenapa mereka bisa berkelahi.

Nisa yang begitu terkejut, ketakutan melihat Bryan yang menunjukkan kebrutalannya. Andre sempat membalas beberapa kali tapi Bryan lebih cepat bangun dan makin memukulinya lebih keras. Beberapa anak kelas 3 yang hendak menolong Andre didorong dan diblokade oleh teman-teman Bryan. Sampai Bryan mendorong dan menjepit tulang selangka Andre ke dinding. Kedua tangan Nisa menutup sebagian wajahku, ia menutup mata takut melihat apa yang akan terjadi.

Saat itulah salah satu temannya datang dan mencoba menarik Bryan dari arah belakang. Bryan mencoba melepaskan leraian temannya dan masih menyudutkan Andre. Hidung Andre sudah mengeluarkan darah dan wajahnya lebam. Nisa sudah tidak sanggup melihat lagi tapi dia tidak bisa pergi. Nisa terjebak ditengah teman-temannya yang mendorong ke depan ingin melihat perkelahian itu.

SATU JAM SEBELUMNYA

"Bry, ternyata anak kelas 3 itu pernah ngutang ke kita kalah taruhan games kemarin, tapi dia udah bayar kok seminggu kemudian, biar pun agak susah sih kita mintanya tapi udah dibayar kok," ujar Donny memberi laporan pada Bryan di kantin sekolah.

"Trus apa yang kalian lakuin ke dia?" tanya Bryan ketus.

"Karena dia udah bayar ya kita gak ngelakuin apa apa." Bryan spontan menggebrak meja sehingga Donny jadi kaget.

"Konsekuensi harus tetap ada, mana dia sekarang!" hardik Bryan sambil berdiri. Donny tidak bicara dan membawa Bryan ke lantai 2 tempat dimana kelas Andre, siswa kelas 3 yang berhutang dulu padanya. Bryan tidak mau mengajak Arya karena dia pasti bawel menasehati ini itu.

Donny menunjuk ke arah kelas Andre. Bryan sudah menahan hampir tiga minggu untuk tidak memukul anak itu. Persetan dia kakak kelas, dia sudah mengusik Nisa dengan meminta jadi pacarnya. Bryan bahkan mendengar dari beberapa laporan teman-temannya jika Andre pernah mengganggu dan mencegat Nisa agar ia mau jadi pacarnya. Utang itu hanyalah alasan klise Bryan untuk bisa melukai Andre.

Tanpa mengetuk Bryan masuk ke kelas 3 saat jam istirahat. Donny menunjuk ke arah seorang siswa yang sedang berkumpul bersama teman-temannya di sudut kelas. Tanpa basa basi Bryan berjalan ke arah kumpulan siswa itu dan menarik salah satu siswa keluar. Dia sempat melawan namun Bryan lebih kuat.

"Heh, apa apaan lo!" sahut seorang siswa teman Andre yang mencoba memblokade Bryan.

"Jangan macam-macam kalau kalian tidak ingin babak belur keluar dari sekolah ini, kalian tau siapa aku!" balas Bryan dengan tatapan sangar dan teman-teman Andre mulai mundur teratur. Tinggallah Andre di tengah ditinggal oleh teman-temannya. Bryan tak membuang waktu untuk menarik kerah baju dan menyeret Andre keluar kelas. Dia masih melawan tapi tidak bisa berbuat banyak selain ikut. Bryan menyeretnya ke lantai satu tepat di koridor belakang sekolah. Karena sedang istirahat maka banyak siswa yang akhirnya melihat Bryan memukul siswa kelas 3 itu.

"Hei, gue udah bayar. Tanya geng lo kalo gak percaya!" ujar Andre memebela diri setelah Bryan melepaskan cengkraman di bajunya.

'Brengsek, dia pikir ini soal uang apa!' pikir Bryan kesal.

"I don't care!" sahut Bryan lalu memukul perut Andre. Andre sempat mebalas memukul berapa kali, tapi siapa dia berani melawan Bryan Alexander di sekolah itu. Andre mungkin kakak kelas tapi Bryan terlihat lebih kuat dengan tubuh yang lebih tinggi. Bryan benar-benar emosi. Ia semakin marah ketika mengingat bagaimana Nisa menolaknya dengan mengatakan jika aku kakaknya. Bryan makin emosi saat mendengar Nisa hanya diam saja ketika Andre memintanya menjadi pacar. Tapi dia malah melawan Bryan ketika dimintai hal yang sama.

Bryan tidak perduli dengan kenyataan bahwa mereka saling memukul, sampai akhirnya Bryan bisa menyudutkannya. Ia menekan tulang selangka Andre dan berniat hendak mematahkan hidungnya. Tapi niat Bryan ditarik Arya dari belakang.

"Bryan cukup, gue bilang cukup!!" Arya berteriak di telinga Bryan.

"LEPAS!!"

"Bryan, lo bisa bunuh dia, gua bilang cukup!" Arya berusaha memeluk Bryan dari depan untuk menenangkannya. Sementara, Andre sudah meringkuk di dinding.

"Cukup Bry, cukup. Lihat ada Nisa, dia ketakutan lihat lo," bisik Arya. Mendengar nama Nisa, Bryan berhenti bergerak dengan nafas tersengal menoleh ke arah kanan. Nisa berdiri dengan wajah pucat dan mata berair. Bryan memandangnya dengan wajah marah dan kecewa. Ia menyentakkan tangan Arya yang memegangnya lalu berjalan ke arah Andre. Bryan menarik bajunya dan memukulnya sekali lagi sambil melihat pada wajah Nisa lalu melempar anak itu tepat di kaki Nisa.

Nisa mulai menangis melihat Bryan seperti hewan buas yang lepas dari rantainya. Ia lalu berjalan ke arah Nisa tanpa melepaskan pandangannya. Nisa tak bergerak dan hanya bisa terisak pelan. Bryan mengepalkan tangannya di hadapan Nisa, jarak mereka tak jauh sama sekali. Mata Nisa tak melepaskan pandangannya dari mata Bryan yang tajam. Dan Bryan membalas dengan menatap tajam padanya.

'Aku harus membenci nya, dia menyiksaku,' ujar Bryan dalam hatinya. Bryan membuang padangannya dan pergi meninggalkan Nisa. Tak lama kemudian, Pak Edy dan Bu Rita datang dan menghalangi jalan Bryan. Pak Edy mengeleng-gelengkan kepalanya karena kecewa dan Bu Rita hanya bisa menungkupkan tangan di wajahnya.

"Kamu ikut Bapak ke ruangan Kepala Sekolah sekarang. Bapak kecewa sama kamu, Bryan." Bryan tidak bicara apapun dan mengikuti guru itu ke ruangan Kepala Sekolah. Konsekuensi yang sudah siap diterima Bryan. Ia sudah mengambil keputusan dan sudah tau akibatnya.

Arya masih tak percaya dengan apa yang terjadi. Bagaimana bisa Bryan bertindak sebodoh itu. Dia tidak pernah mengotori tangannya memukuli orang lain tanpa alasan. Jika hanya soal uang dia pasti akan menyuruh anak-anak lain untuk melakukannya. Pak Edy dan Bu Rita datang disaat yang tidak tepat, Bryan sudah pasti akan dikeluarkan dari sekolah. Arya terlihat menyusul Bryan dan Pak Edy, tapi sebelumnya ia menghampiri Nisa.

"Nisa, dengar Kak Arya baik baik. Ini tidak seperti apa yang kamu lihat, ok. Semua akan baik baik saja, Bryan akan baik-baik aja kamu gak usah kuatir ya." Pipi Nisa sudah basah oleh airmata. Tapi dia tetap mengangguk dengan pelan. Arya bisa merasakan ketakutannya pada Bryan. Arya kemudian menyusul Bryan ke kantor Kepala Sekolah. Ia bahkan menunggu di luar ruangan berharap Bryan akan baik baik saja.

Satu jam kemudian, Ayah Bryan, Hans Alexander datang ditemani asistennya. Melihat Arya di depan ruang Kepala Sekolah, ia menghampiri memastikan bahwa Bryan baik baik saja dan tidak terluka. Arya mengangguk dan berkata bukan luka yang harus dicemaskan. Bu Rita datang dan menenangkan suaminya, tak lama dia pun masuk sedangkan Arya masih harus menunggu di luar. Rasanya lama sekali hingga Hans dan Bryan akhirnya keluar dari ruangan itu. Bryan langsung keluar dan pergi tanpa memperdulikan Arya. Hans hanya memandang sambil melepaskan nafasnya dengan rasa frustasi. Ketakutan Arya sepertinya terjadi, Bryan resmi dikeluarkan dari sekolah.

Arya mengikuti Bryan yang ternyata masuk kelas dan mengambil buku dan tasnya. Ia bahkan tidak pamit pada guru yang sedang mengajar dan seluruh kelas hanya terdiam melihat Bryan yang tiba tiba masuk lalu keluar lagi membawa barang barangnya. Arya lalu mencegatnya di depan pintu.

"Bry..."

"I just want to be alone, kita bicara nanti" ujarnya langsung pergi. Arya tidak bisa mengikutinya. Karena dia keras kepala dan akan semakin merusak segalanya jika tidak dituruti. Arya membiarkan Bryan menenangkan diri usai kejadian itu.

Bryan tidak mau menumpang mobil Ayahnya. Dia memesan taksi dan pergi dari sekolah. Di dalam taxi Bryan menelpon seseorang.

"Hei my boy, what's up!"

"Uncle, aku terima tawarannya."

"wah, ok, kalau begitu akan Uncle siapkan semuanya, kapan kamu mau berangkat?"

"Dalam dua hari. Sampai jumpa di rumah, Uncle Darren."

"Sampai jumpa. Nak." Bryan memutuskan hubungan telepon dan menyandarkan kepalanya ke belakang dan menutup matanya. Dia tersenyum kecut. Dulu dia suka membuat hati para gadis kecewa dan patah tapi kali ini hatinya dipatahkan oleh seorang gadis, gadis yang tak bisa ia miliki.

"Aku tidak ingin berada di tempat dimana aku tidak bisa memiliki mu" (Bryan Alexander)