Darren memandangi Bryan dengan wajah serius. Dia masih belum yakin dengan keputusan Bryan. Dari wajah Bryan, Darren beralih memandangi pemandangan yang terlihat dari balkon kamar Bryan. Dia pun berjalan menuju balkon dan membuka pintu pembatas dari kaca. Sambil menarik napas dalam ia berjalan ke arah railing balkon. Sambil menikmati pemandangan dan menyandarkan kedua lengannya pada pagar railing itu, ia tersenyum dan menutup matanya. Bryan mendekatinya dan ikut bersandar dengan posisi yang sama.
"Kenapa uncle diam saja?"
"Nothing, Uncle hanya merindukan Mamamu," jawabnya dengan suara lembut. Bryan tak mengerti hanya mengangguk pelan.
"hemm...oh. aku juga, Uncle." Bryan menghela napas. Darren seperti tersadar dan tak ingin membuat Bryan curiga.
"Hmm... maksud Uncle, Mama mu adalah adikku sudah pasti aku sangat merindukannya, Aku bahkan masih ingat wangi parfum kesukaannya." Darren memberi penjelasan yang hanya membuat hatinya lebih resah. Bayangan masa lalu dari perasaannya terlintas lagi di benaknya. Bryan memilih diam dan tak bertanya lebih lanjut. Ia percaya semua seperti yang terlihat.
"Terima kasih kamu sudah mau ikut, Uncle, kamu akan jadi pewaris yang hebat nantinya. VanAlex akan besar di tangan kamu, Bry," tambah Darren menoleh menatap wajah Bryan. Bryan mengangguk dan tersenyum.
"Terima kasih, Uncle. Aku berharap aku gak akan mengecewakan keluarga kita." Darren langsung menghadap Bryan dan menggelengkan kepalanya.
"Kamu adalah hadiah terindah yang datang dalam keluarga Alexander. Percayalah, Nak. Kami semua sangat menyayangimu," ujar Darren lalu memeluk Bryan dan mencium ujung kepalanya.
"Tunggu sebentar, I'll talk to your dad then, wait here." Bryan hanya kembali mengangguk dan tetap berada di balkon menikmati pemandangan malam. Sedangkan Darren keluar kamar menuju ke ruang kerja Hans. Hati Bryan kini jadi makin tak karuan, kejadian hari ini membuatnya tak tenang. Tapi ia sudah mengambil keputusan. Bryan kemudian memandang langit, dalam hatinya dia berkata 'Mom, I miss you a lot... and you too Mama'.
"Dia bilang begitu!" tanya Hans kaget begitu Darren memberikan kabar jika ia akan membawa Bryan bersamanya.
"Ya, dia bilang akan ikut ke New York." Hans menghela napas berat dan membalikkan tubuhnya. Ia sudah mendeguga jika Bryan pasti akan berbuat hal seperti ini. Tapi ia tak menyangka akan secepat ini.
"Hans, Bryan bukan anak kecil lagi. Dia sudah bisa menjaga dirinya sendiri. Apa lagi yang kamu cemaskan!" tanya Darren pada Hans yang membelakanginya.
"Aku tau... Bryan marah pada rencana pernikahanku. Dan dia membuat ulah di sekolah karena itu." Hans bicara dengan nada lirih. Darren mengurut tekuknya dan ikut menghela napas berat.
"Jangan salahkan pernikahanmu. Sungguh aku bahagia akhirnya kamu bisa jatuh cinta dan menikah lagi. Istrimu wanita yang baik, Bryan pun akan mengerti suatu saat," jawab Darren. Hans lalu berbalik dan menghampiri adiknya.
"Aku tidak pernah berpisah dari Bryan lebih dari dua hari. Bagaimana bisa aku tidak melihat putraku selama bertahun-tahun nanti?" Darren tersenyum pelan dan menepuk lembut lengan Hans.
"Aku mengerti, kamu bisa datang sebulan sekali ke New York. Bryan pasti takkan keberatan." Hans tetap menghela napas berat dan menundukkan kepala.
"Bicaralah dengannya besok. Mungkin dia mau menundanya," ujar Darren lagi.
"Apa tak apa bagimu jika dia menundanya?"
"Entahlah, aku mengurus dua perusahaan sekaligus. Aku juga butuh istirahat, Kak!" Hans mengangguk mengerti. Darren pamit tak lama kemudian meninggalkan Hans dengan segala kemelut di dalam pikirannya tentang sang Putra.
Keesokan harinya Hans tidak bisa menahan keinginannya untuk segera menemui putranya. Keputusan Bryan akan berangkat ke Amerika membuatnya shock. Dia memang sudah curiga mengapa Bryan membuat masalah hingga dikeluarkan dari sekolah. Rupanya dia sudah punya rencana hendak pergi dari rumah ini. Usai Darren mendiskusikan keberangkatan Bryan pada Hans, ia tidak bisa tidur menunggu waktu pagi untuk bisa bicara berdua dengan Bryan. Istrinya melarang mengganggu Bryan karena kemarin sudah sangat berat baginya.
Hans cuma bisa meminta agar Darren menunda keberangkatan itu, tapi Darren mengatakan jika semua keputusan ada di tangan Bryan. Hans bermaksud merubah keputusan anaknya meski kesempatannya kecil. Mendekati kamar, Hans mengetuk pintu kamar Bryan. Tak lama pintu kamar dibuka dan Bryan masih bermandi peluh sehabis berlari di treadmill ruang gym. Dia baru saja kembali dan belum sempat mengganti baju. Waktu baru pukul 7 pagi, dan Bryan baru selesai olahraga.
"Bisa kita bicara?" Bryan mengangguk dan membiarkan ayahnya masuk kamar. Ayahnya duduk di kursi sofa di salah satu sudut dan Bryan duduk di kursi sebelahnya.
"Apa benar yang uncle kamu bilang, kamu mau ke New York"
"ehm..." ujar Bryan mendehem sambil mengangguk.
"Why?"
"Cepat atau lambat aku harus kesana kan?"
"Tapi kenapa tiba tiba sekarang, umur kamu baru lima belas, lagi pula Daddy pengen ngelatih kamu dulu di perusahaan Daddy. Perusahaan Daddy juga akan jadi punya kamu, Nak."
"Tapi Dad, perusahaan Kakek juga harus dipimpin oleh seorang Alexander secepatnya. Selama ini orang lain yang jadi CEO kan." Hans terdiam dan sedikit menunduk.
"I know, tapi..." Hans menarik nafas dan berhenti beicara. Dia sedang menyusun kata yang tepat bagi Bryan.
"Ini karena pernikahan Daddy dan Rita, iya kan?" tambah Hans. Bryan tidak menjawab ia hanya menundukkan kepalanya dan menarik napas. Hans akhirnya merasa bahwa benar apa yang dilakukan Bryan adalah karena ia menikah lagi, Bryan tidak suka dan dia ingin pergi dari rumah.
"Pikirkan Alisha, dia butuh kamu." Hans mencoba memberi alasan lain.
"Alisha bisa ikut aku, Dad" jawab Bryan
"No... she's sick. Lagipula dia pasti tidak mau, dia pasti tidak ingin meninggalkan teman temannya. Dia gak bisa bepergian jauh." Hans mulai frustasi. ia tidak menyangka Bryan akan senekat ini hanya karena ia sudah menikah lagi.
"Please stay son, Daddy benar-benar minta maaf soal pernikahan itu, beri kesempatan Daddy untuk memperbaiki semuanya. Hubungan kita." Bryan menggeleng pelan
"No, dad, it's ok, you've married. There's nothing I undo to it". Hans terus menarik napas panjang beberapa kali.
"ada sesuatu yang gak bisa aku miliki disini, jadi aku gak mau ada disini," ujar Bryan akhirnya memberikan alasan. Hans mengernyitkan keningnya.
"Apa yang kamu mau miliki? Daddy akan belikan buat kamu sebut aja," tanya Hans bersemangat. Bryan tersenyum dan menggeleng.
"Itu bukan sesuatu yang bisa dibeli dengan uang Dad, aku setuju berangkat dalam waktu 4 hari, tapi jangan merayu aku agar merubah keputusan. Aku akan tetap ke New York and you can see me every month if you want."
Hans dan Bryan terdiam beberapa saat sampai akhirnya Hans mengangguk tanda mengerti. Dia pun tidak bisa bicara lagi dan berjalan menuju pintu. Sebelum keluar Hans berbalik dan menatap Bryan.
"Tapi kamu akan kembali kan, Bryan?"
"Yes dad I promise." Hans pun mengangguk dan keluar dari kamar. Bryan lalu mengambil handphone dan menelpon Arya. Ia meminta Arya untuk datang ke rumahnya untuk membicarakan kepergiannya ke US.