Chapter 12 - Farewell?

Bryan meminta Arya untuk ikut dengannya ke New York. Mereka akan tinggal dan sekolah bersama. Bryan bahkan meminta ijin pada Surya, papa nya Arya untuk mengijinkan Arya bersekolah di Amerika. Surya senang jika anak laki laki nya mau bersekolah di luar negeri. Arya akan jadi pewaris perusahaannya dan Amerika akan jadi negara yang tepat untuk melatih Arya kelak. Tapi Arya berencana lain, dia berencana menyusul Bryan semester depan nanti. Artinya Bryan harus menunggu tiga bulan lagi hingga Arya bisa tinggal di sana. Dan Ayahnya pun setuju jadi diambillah keputusan bahwa Arya akan menyusul Bryan ke Amerika.

Rita, ibu tiri Bryan yang mendengar rencana Bryan untuk pergi karena pernikahannya dengan Ayahnya memutuskan untuk berbicara secara pribadi untuk pertama kalinya pada Bryan.

"Boleh Tante bicara sama kamu?" ujar Rita ketika masuk ruang baca tempat Bryan menghabiskan waktu sore. Bryan menutup buku dan mengangguk.

"Tante tau bahwa kamu gak setuju dengan pernikahan Tante dan Ayahmu, tapi Tante tidak ingin menjadi penyebab kamu pergi dari rumah ini. Tante dan Nisa akan kembali ke rumah Tante, tapi tolong jangan pergi dari rumah ini," ujar Rita dengan lirih.

"Jangan, Tante stay disini, Daddy butuh Tante."

"Tapi Bryan ini rumah kamu.". Bryan tersenyum untuk pertama kali nya pada Rita semenjak ia masuk rumah ini.

"Gak apa, Tante, Bryan hanya melanjutkan sekolah dan menjalankan perusahaan Kakek di sana, itu adalah kewajiban Bryan. Tante gak usah merasa bersalah. Ini gak ada hubungannya dengan pernikahan Tante dan Daddy kok."

"Apa yang bisa tante lakukan agar kamu tidak pergi dari sini?" Rita makin merasa bersalah.

"Gak ada, gak ada yang bisa dilakukan, cepat atau lambat aku juga harus ke New York, apa beda nya hari ini atau besok toh aku tetap harus pergi," jawab Bryan sambil tersenyum tipis. Rita akhirnya hanya terdiam. Rasa bersalah itu makin besar tapi Rita menutupinya dari Bryan. Rita tidak ingin membuat Bryan sedih, setelah terdiam beberapa lama. Rita menanyakan hal hal di luar masalah kepergian Bryan saat ini.

Empat hari berlalu dengan cepat. Bryan turun dari tangga rumahnya sambil menenteng tas ransel. Kopernya sudah berada di bawah dan dimasukkan ke dalam bagasi. Dia hanya membawa satu koper. Semua orang sudah menunggunya di teras depan rumah. Semua kecuali Nisa. Termasuk Dira yang baru pulang liburan dan terkejut karena Bryan hendak pergi tiba-tiba. Dia ingin ikut tapi Bryan melarang. Hans masih dengan wajah murung memeluk anaknya. Hanya Arya yang diminta Bryan mengantar ke bandara.

"Kita ketemu bulan depan ya, Nak, I'll come to New York. Daddy pasti kangen banget sama kamu nanti," ujar Hans sambil memeluk dan mengusap punggung Bryan. Bryan hanya mengangguk dan tersenyum. Rita ikut menggenggam tangan Bryan dan mencium pipinya. Sementara Bryan tidak berkata apa apa selain tersenyum. Dira malah menangis sambil memeluk Bryan dan berjanji akan ke New York saat libur semester. Bryan tersenyum dan mencium pipinya. Dira amat bahagia karena akhirnya Bryan mencium pipinya. Alisha adalah orang terakhir yang memeluk Bryan sambil menangis.

"Don't leave me, brother!"

"Aku sayang banget sama kamu, Alisha. You know it, right?" Alisha mengangguk.

"I know, you always be my baby." Alisha membalas makin memeluk erat Bryan. Ia tak pernah berjauhan dari Bryan sama sekali.

"Then come to me soon, I can't live without you, Alisha" ujar Bryan sambil menempelkan keningnya pada kening Alisha. Alisha kembali memeluk dan mencium pipi Bryan. Alisha adalah yang paling sedih karena Bryan adalah kesayangannya.

"I love very very much," ujar Alisha lagi kemudian. Masih memegang tangan Alisha, Bryan sedikit menengadahkan wajahnya melihat ke sudut atas teras. Terlihat Nisa berdiri di depan jendela dengan air mata yang sudah membasahi pipinya dan sebelah telapak tangannya menempel pada kaca. Sejenak Bryan memandangi Nisa dengan pandangan yang tidak bisa diartikan. Tak dan satu pun dari mereka yang mengungkapkan perasaannya. Hans melihat arah pandangan Bryan yang menempel pada Nisa. Ia mengerutkan keningnya. Apa yang terjadi sebenarnya?

Tak lama kemudian, Bryan membuang pandangannya dan masuk ke mobil yang akan mengantarnya ke bandara. Arya sudah masuk mobil sebelumnya. Bryan tidak pamit pada Nisa, dia bahkan tidak mengucapkan selamat tinggal sama sekali. Tak ada satupun kata yang diucapkan Bryan untuk Nisa pasca kejadian saat pesta pernikahan itu. Nisa hanya bisa menangis tapi tidak tahu apa yang ia tangisi. Kebingungan hatinya akan ungkapan cinta sang Kakak, Nisa belum pernah merasakannya. Cinta remaja yang baru pertama ia rasakan dirasakan pada orang yang tidak seharusnya. Dan hal yang sama juga dirasakan oleh Bryan.

Sesampai di bandara dan selesai check in, Bryan masih punya waktu satu jam sebelum boarding. Bryan tidak memakai pesawat pribadi Darren ataupun milik VanAlex. Ia memilih menggunakan penerbangan komersil. Arya kemudian mengajak sahabatnya itu untuk minum di salah satu food court bandara sambil menunggu boarding. Ada yang ingin ia dengar sebelum Bryan berangkat.

"So... ada yang belum lo ceritain ke gue, sebelum lo pergi!" ujar Arya sambil menelusuri pinggir cangkir hot chocolate dengan jari telunjuknya. Matanya terus menatap Bryan.

"Nope!" jawab Bryan menggeleng.

"Percuma lo bohong ma gue, Bryan, this isn't about the wedding, it is something else."

"Maksud kamu?"

"Lo gak pergi karena bokap lo nikah kan?"

Bryan balas menatap Arya dan keduanya terdiam. Butuh beberapa menit hingga akhirnya Bryan mengangguk dan mengaku.

"Tell me, apa yang lo lakuin ke Nisa?" Bryan membuang pandangannya.

"Aku mencium Nisa, aku memintanya jadi pacarku, tapi dia menolak," jawab Bryan santai.

"What! Are you crazy!" suara Arya mulai meninggi.

"Yeah, tell me about it!" Bryan masih tidak mau menatap Arya dan memilih terus minum.

"Dia terus mengatakan jika aku Kakaknya, aku gak seharusnya berbuat seperti itulah, hhahh gadis itu... tapi dia hanya diam aja waktu anak kelas 3 itu menganggunya tapi dia menolakku ketika aku meminta hal yang sama!" sambung Bryan mulai emosi. Alis Arya naik mendengar ucapan Bryan.

"Jadi itu sebab nya lo mukulin Andre?"

"Siapa Andre?"

"anak kelas 3 yang lo hajar"

"Oh namanya Andre, hah... aku gak tau, my bad!" ujarnya sarkas sambil meminum siss coklat di dalam cangkir. Arya menarik napas panjang dan mengelengkan kepalanya.

"Sekarang gua ngerti kenapa lo mau pergi, lo mau ngelupain Nisa dan rasa sakit karena gak bisa jadiin dia pacar, iya kan?" Bryan tidak mau menjawab.

"Denger gua Bry, perasaan suka lo itu akan menghantui lo seumur hidup lo, lo gak akan pernah bisa ngelupain Nisa!" Arya tersenyum sinis.

"Mau taruhan?" tantang Bryan.

"Don't try me, dude, lo bakalan kalah, kita lihat nanti, lo bakal nyari dia atau gak!" Bryan terdiam sejenak.

"Kita lihat aja nanti, I'm so done here. Aku harus berangkat, sampai jumpa semester depan Arya," ujar Bryan sambil memeluk Arya. Arya ikut bangun dan mengangguk. Ia kemudian mengantar Bryan sampai ke gerbang ruang tunggu penumpang.

Arya dan Bryan berpisah di depan gerbang ruang tunggu penumpang. Arya akan menyusul Bryan ke New York 3 bulan lagi. Dan mereka akan memulai petualangan baru sebagai dua orang laki laki dewasa.

"Hati-hati lo!" Bryan pun mengangkat tangan dan berjalan mendekati gerbang pemeriksaan.