Chereads / The Seven Wolves: Trapped Under Devils Possession / Chapter 8 - Cinta Yang Takkan Padam

Chapter 8 - Cinta Yang Takkan Padam

7 TAHUN SEBELUMNYA

Mobil Bugatti Veyron berwarna hitam metalik memasuki lobby Harunda Golden Corp. Seorang pria berstelan Armani keluar dari mobilnya dan memberikan kuncinya pada seorang pegawai untuk di parkir valet. Memasuki tower utama dari perusahaan itu, semua mata pegawai yang berada di lobby depan memandang pada pria itu. Beberapa pegawai yang berpapasan bahkan menunduk memberi hormat. Dia bahkan tidak melihat sekilas pun pada siapapun yang ditemuinya. Dia menuju lift khusus CEO dan langsung masuk tanpa halangan. Penjaga lift memberikan akses penuh padanya untuk menuju langsung ke ruangan CEO. Sesampainya di lantai 25, ia langsung keluar dan menuju ruang CEO yang tepat berada di ujung lorong. Sebelum masuk dia menyempatkan diri masuk ke ruangan PA yang terletak tepat di sebelah ruang CEO.

"Bram, dia ada di dalam?" tanyanya sambil membuka kacamata

"Ah, Tuan Alexander, tentu CEO ada di dalam, silahkan masuk" jawab Bram berdiri dan mengantar tamu itu ke ruang CEO. Bram membukakan pintu ruang CEO sambil tersenyum.

"Brother, long time no see, Apa kabarmu?"

"Oh Darren. Kamu datang juga," ujar Hans sambil tersenyum dan bangun dari kursinya menyapa sang adik dengan pelukan.

"Yeah, aku merindukanmu, Hans," balas Darren sambil menepuk pundak sang Kakak. Mereka pun menuju kursi sofa di depan meja CEO.

"Tell me what happened, pasti sesuatu yang besar sudah terjadi makanya kamu mau capek-capek ke Indonesia"

"Well, nothing big man. Cuma Dad terus memintaku untuk mengambil Bryan dan membawanya ke New York"

"Dia baru 8 tahun, dia masih di sekolah dasar. Bukankah terlalu terburu-buru melatihnya sekarang?" balas Hans mulai cemas.

"Jadi kapan waktu yang tepat, ketika dia umur 20? Itu sudah sangat terlambat. Bryan adalah pewaris yang sudah dipilih oleh Daddy, aku pun akan memberikan milikku untuknya."

"Memangnya kamu tidak mau menikah? Kamu kan masih bisa punya anak?" Darren yang diberi pertanyaan seperti itu malah mengernyitkan keningnya.

"Ayolah, Hans. Kapan ada pria sepertiku menikah? Aku lebih suka melajang dan bersenang-senang." Hans menggeleng mendengar kalimat Adiknya.

"Entahlah, tapi aku rasa terlalu cepat mengambil Bryan sekarang. Dia tidak tau apapun."

"Jadi bagaimana?"

"Aku yang akan melatihnya sendiri," ujar Hans kemudian. Darren menghela napas dan memajukan tubuhnya pada Hans.

"Listen brother, Bryan adalah satu satu nya pewaris yang sudah di pilih Dad, cepat atau lambat dia harus ke New York. Perusahaan tidak bisa menunggu terlalu lama untuk pemimpinnya." Hans terdiam dan menarik napas berat. Dia mengangguk pelan.

"Kalau begitu aku akan bicara padanya, tapi jika dia belum mau berpisah dari ibunya bilang pada Dad untuk memberi kami beberapa tahun lagi hingga Bryan siap untuk ke New York dan memulai trainingnya. Aku sendiri yang akan mengantarnya kesana." Hans mencoba untuk menyakinkan Adiknya. Darren pun cuma bisa menggelengkan kepalanya. Tapi ia tak bisa berbuat apapun untuk meyakinkan Kakaknya saat ini.

"Oke, jika Bryan setuju, dia akan terbang bersamaku sore ini, I'll take my jet," ujar Darren sambil berdiri.

"Fine, sampai bertemu lagi, Darren," jawab Hans sambil memeluk sang Adik. Tak lama Darren keluar dan Hans pun kembali terduduk di sofanya dengan lemah. Dia mulai berpikir tentang bagaimana caranya memberi tahu pada anaknya mengenai wasiat Kakeknya. Lima belas menit kemudian, Bram menerobos masuk ke ruangan tanpa mengetuk.

"Pak, Ibu Sri kecelakaan" ujar Bram pucat dan nafas tersengal.

7 TAHUN KEMUDIAN

Seorang designer sedang mengukur tubuh Bryan. Ia sedang berada di sebuah butik untuk dibuatkan jas khusus sebagai pendamping pria ayahnya yang hendak menikah. Oh Tuhan, rasanya ingin sekali Bryan kabur tapi mata Arya tidak pernah lekang dari nya. Arya yang menariknya ke butik ini setelah di telepon Hans untuk menemani Bryan.

Arya pun kebagian tugas sebagai pendamping pria sama seperti Bryan. Tapi Arya sudah lebih dulu di ukur dan diberikan model jas yang cocok untuknya. Selesai di ukur, Arya tersenyum manis pada Bryan seolah berkata 'Good boy, behave'. Senyuman Arya kembali berkembang setelah sang desainer yang sebaya Ibu nya mengatakan jika untuk hari ini sudah selesai. Selanjutnya mereka akan fitting baju bersama calon pengantin pria beberapa hari lagi.

Bryan dan Arya pun akhirnya keluar butik dan menuju mobil Bryan yang disupiri oleh Pak Rahman.

"Sekarang kita kemana?" tanya Arya.

"Pulang!" jawab Bryan ketus tanpa melihat ke Arya.

"Ah, lo gak asik! Pak kita cari makan, Arya lapar." Pak Rahman mengangguk sambil tersenyum.

"Kamu masih bisa makan?" tanya Bryan, kali ini dia melihat ke Arya yang menyengir lebar dari tadi.

"Kalo lo gak makan lo gak bisa mikir. Udah deh ikut aja, lo tenang aja gue yang bayar, oke!" Bryan cuma bisa menggelengkan kepalanya. Arya memang selalu punya mood bagus setiap saat. Entah bagaimana dia menjaganya, Arya bukan orang yang pernah berhenti tersenyum. Mau tak mau, Bryan terpaksa mengikuti Arya pergi kemanapun.

Rasanya cepat sekali hari berlalu, tinggal seminggu lagi Bryan akan resmi kedatangan anggota baru di keluarganya. Semenjak perdebatan terakhirnya dengan sang Ayah, Bryan semakin jadi pendiam. Dia bahkan hanya bicara pada Arya dan Alisha sesekali. Dia tidak bicara sama sekali pada Ayahnya. Hans terus berusaha mendekati Bryan tapi tak ada reaksi sama sekali.

Satu minggu kemudian semua berlalu begitu cepat, besok ayahnya akan menikah. Hanya pesta kecil di kebun belakang rumahnya. Dekorasi putih dan pink telah dipasang dari kemarin dengan lampu lampu kecil yang bagus. Sederhana tapi manis, tapi tidak manis bagi Bryan.

Selama dua minggu belakangan, dia menghindari melihat Nisa di sekolah. Dan bukannya membawa ketenangan, hal itu semakin membuat Bryan sakit. Bryan mulai menyimpan rindu di hatinya untuk Deanisa. Gadis imut dan cantik itu telah mengisi hati Bryan dan kini dia kesulitan karena dirinya sendiri.

Matanya terus melihat ke arah orang-orang yang sedang memasang dekorasi untuk pernikahan besok dari balkon lantai tiga kamarnya. Bryan hanya bisa menarik nafas berat, pernikahan ini akan terjadi dengan atau tanpa keinginannya. Namun ada sebuah keputusan yang akhirnya diambil Bryan saat itu, keputusan yang akan merubah hidup nya selamanya.

Tiba di hari pernikahan, Bryan menjadi pendamping Ayahnya bersama dengan Arya. Mereka berdiri di dekat Hans Alexander menunggu pengantinnya, Rita Harfa. Hans memakai tuxedo hitam yang dirancang khusus untuk pernikahannya. Ia menoleh pada Bryan dan keduanya saling membalas senyuman tipis.

Hans pun sempat merangkul pundak Bryan sembari menunggu. Tak lupa ia juga menepuk pundak Arya dan memberinya senyuman ramah yang sama. Arya diperlakukan sama oleh Hans sama seperti Bryan. Selain karena ia adalah anak sahabatnya, Surya Mahendra, Arya merupakan sahabat Bryan dari kecil.

Tak lama kemudian Hans kemudian kembali berdiri tegak, menunggu pengantinnya memasuki altar pernikahan sederhana yang telah disiapkan. Ketika tirai dibuka napas Bryan seakan hampir berhenti. Matanya membesar dan tubuhnya terpaku saat melihat seorang gadis cantik memakai gaun bridesmaid sederhana dengan lace dan rok tutu berwarna pink. Deanisa Melody berjalan di depan pengantin wanita sambil menggenggam tangannya. Pandangannya lurus ke depan sambil tersenyum sangat cantik.

Mata Bryan benar-benar tidak berkedip memandanginya. Dia terlihat sangat cantik di mata Bryan. Warna soft pink itu malah membuatnya semakin imut. Ketika Nisa tengah berjalan, matanya akhirnya melihat ke arah Bryan. Nisa tersenyum dan menunduk malu. Pipinya merona tapi matanya masih mencuri lihat ke arah Bryan. Bryan pun membalas senyumannya dengan tulus. Bryan baru tersadar ketika Arya menyenggolnya pelan. Arya menggoda Bryan dengan tersenyum sambil menaikkan alisnya. Dan Bryan hanya menanggapi dengan tersenyum tipis.