Chapter 41 - More First Kisses

Bryan kemudian menahan lengan Nisa agar dia tetap duduk.

"Kamu mau kemana?"

"Ke dalam," jawab Nisa polos.

"Mau ngapain?" Nisa tidak menjawab. Bryan tersenyum mencoba membuatnya tenang dan relax.

"Kakak mau memberikan sesuatu buat kamu Snowflakes." Bryan meletakkan gelas minum dan mengambil kado dari balik jaketnya.

"Merry Christmas, Princess," ujarnya sambil memberikan kotak perhiasan pada Nisa. Nisa terkejut pada kado pemberian Bryan, seseorang yang ia kira membencinya memberinya kado Natal.

"Apa ini?" tanya Nisa pelan. Bryan lalu membuka kotak berwarna merah dan gold yang dihiasi Swarovsky itu.

"Ini satu satunya di dunia, Kakak membuatnya untuk kamu, Snowflakes." mata Nisa menangkap kilau sebuah kalung dengan liontin yang sangat indah. Liontin berbentuk simbol melodi dengan bingkai hati. Di tengahnya dihiasi berlian berwarna soft pink yang sangat indah.

Bryan melihat ekspresi suka dari Nisa pada liontin yang ia beri. Ekspresi ini yang ia inginkan. Ia ingin menandai Nisa sebagai miliknya. Langkah pertama adalah memberinya "pengikat".

"Tapi ini pasti mahal, Nisa gak bisa terima ini Kak," ujar Nisa menolak permintaan Bryan. Bryan pun tersenyum.

"Tidak penting berapa mahalnya asal kamu mau mau memakai pemberian Kakak, Snowflakes, itu sudah cukup." Nisa masih mencoba untuk menolak sampai Bryan mencoba memakaikannya.

"Sini Kakak pakaikan." Bryan memasang dengan lembut kalung tersebut dari depan. Tanpa kesulitan kalung terpasang dengan baik dan Nisa terlihat sangat cantik dengan liontin itu. Bryan kembali tersenyum.

Ia lalu mengambil tangan Nisa dan menciumnya dengan lembut. Nisa seolah terbius pada perlakukan Kakaknya. Ia seolah lupa siapa Bryan. Mereka saling memandang dan Bryan sedang mengambil langkah lebih berani untuk bisa mencium Nisa. Ketika Bryan hendak mendekatkan wajahnya, tiba tiba terdengar suara seorang wanita memanggil namanya.

"Bryan, Merry Christmas!" pekik gadis itu sambil berlari ke arah Bryan. Bryan yang kaget lalu menangkap tubuh gadis tersebut. Ternyata Indira datang dengan keluarganya. Ia memeluk Bryan dengan sangat erat dan mencium pipinya. Nisa yang juga berada di dekat mereka hanya bisa menunduk dan memilih diam.

"Dira, ngapain lo disini?"

"Loh ini kan Natal, bokap lo ngundang keluarga gue, makanya gue kesini," jawab Dira masih merangkul Bryan. Bryan tersenyum tipis dan mengangguk.

"Lo lagi ngapain diluar? Oh siapa dia?" tanya Dira lagi yang baru menyadari ada orang lain di dekat Bryan.

"Ehhmm, ini Nisa, Nisa ini Dira kalian sudah pernah ketemu di waktu lunch meeting kemarin."

"Oh asisten lo ya Bry, iya gue ingat."

"Hi gue Dira, sahabat Bryan dan dan mungkin calon istri," ujar Dira memperkenalkan diri dengan percaya dirinya. Ketika Dira berbicara seperti itu Bryan langsung menoleh ke arah Dira.

"Apa maksud lo bicara begitu?" kening Bryan mengernyit dan wajahnya menegang.

"Relax Bry, kita kan gak pernah tau. Siapa tau kita satu saat akan nikah, lagi pula bukannya dunia kita seperti itu, kita melakukan yang diberikan oleh orang tua kita, kita tidak memilih." Bryan terdiam tidak tau harus membalas apa. Dira lalu mengalihkan pandangan pada Nisa bertanya siapa dia.

"Saya Deanisa, adik tiri Kak Bryan." Bryan menghela napas kesal mendengar Nisa bicara seperti itu. Ia bahkan membuang pandangannya ke arah lain. Nisa hanyalah adik tirinya adalah kenyataan yang tidak akan diterima Bryan, dan Nisa malah memperkenalkan dirinya dengan menyebutnya sebagai adik tiri, hebat!.

"Adik tiri? jadi kamu anaknya Bu Rita yang nikah sama Om Hans ya?" tanya Dira pada Nisa. Dan Nisa hanya menjawabnya dengan senyuman kecut. Dia merasa sangat kecil dan tidak berharga. Apa yang salah menjadi anak tiri? seolah predikat itu sangat jelek.

"Jadi dia anak Bu Rita yang guru kita itu ya Bry, oh gue pikir siapa, rupanya adik tiri lo, Bry." Bryan mendelik pada Dira yang makin menyudutkan Nisa dengan sebutan adik tiri. Biarpun benar Bryan tidak suka mendengarnya. Cara Dira menyebut Nisa dengan sebutan anak tiri dan adik tiri membuat Nisa ingin menangis.

Nisa sudah sangat kebal mendengar omongan tetangga tentang ibunya yang menikah dengan pengusaha kaya agar bisa hidup enak. Atau ejekan teman temannya karena ia hanyalah anak tiri yang tidak perlu bermimpi menjadi salah satu pewaris keluarga Alexander. Itu sebabnya ketika ibunya meninggal, ia kembali ke rumah lamanya. Aku lebih baik hidup sendiri-ujar Nisa tiap saat pada dirinya.

Bryan yang bisa melihat perubahan wajah Nisa, langsung menarik Dira ke dalam.

"Lo masuk ke dalam, gue mau antar Nisa pulang dulu," ujar Bryan dengan tenang tapi hatinya tidak.

"Oke, tapi setelah ngantarin adik lo, lo akan temani gue kan?" Dira membalas sambil merangkul Bryan. Bryan sangat berharap Arya ada disini. Setidaknya Arya bisa membawa Dira jauh dari Snowflakes-nya.

"Lo masuk dulu, nanti kita ngobrol lagi." Dira kemudian mencium pipi Bryan dan masuk ke dalam. Bryan lantas menghubungi Arya sambil melihat ke arah Nisa yang terduduk di kursinya sambil menunduk.

"Lo lagi dimana?" tanya Bryan tanpa basa basi.

"Merry Christmas, Bry!" jawab Arya.

"sorry... Merry Christmas, Dude!"

"Kenapa, lo baik baik aja?"

"Lo bisa bantu gue gak, lo lagi sibuk apa?"

"gak ada cuma santai aja... ah stop it Dara, awas kamu!" umpat Arya pada adiknya yang jail dan terdengar di telepon.

"Sorry, Dara ngusilin gue, ada apa Bry?"

"Lo bisa ke rumah gue gak sekarang?"

"Bryan, ada masalah apa?" kali ini Arya bertanya dengan lebih serius. Bryan menarik napas sejenak.

"Gue lagi sama Nisa dan tiba tiba Dira datang. Lo bisa gak bawa Dira kemana kek, gue sedang gak mau ketemu dia!" Arya terdiam dan menarik napas.

"Ah Bryan, apa dia ngelakuin sesuatu ke Nisa?"

"Iya, nanti gue cerita yang penting lo bawa dia keluar dari rumah gue dulu, sekarang gue mau antar Nisa pulang."

"Oke, gue kesana!"

"Thank you Arya, gue berhutang sama lo."

"Iya, jaga Nisa!" telepon pun ditutup. Bryan kemudian menghampiri Nisa yang masih terdiam. Bryan berlutut di depan Nisa lalu menyentuh tangannya.

"Kamu mau pulang, Snowflakes?" tanya Bryan lembut. Nisa mengangguk. Matanya berair tapi airmatanya tidak tampak jatuh. Hati Bryan seperti diremas melihatnya. Ia kemudian menggenggam jemari Nisa dan kali ini Nisa tidak melawan. Sampai di lobby depan, Bryan menyuruh salah satu pelayan mengambil tas Nisa di dalam, dan ketika tasnya diberikan pada Bryan, Bryan membuka dan menaruh kotak perhiasan dari kalung yang dipakai Nisa ke dalam tas itu.

Bryan lalu membuka pintu mobil, memakaikan seat belt dan memberi Nisa tasnya kembali. Nisa hanya menunduk dan terdiam. Dia tidak bicara apapun sama sekali hingga sampai ke rumahnya. Bryan mengantarnya sampai ke pintu depan rumah.

"Terima kasih sudah nganterin Nisa, Kak. Salam sama Papa dan Kak Alisha, maaf jika Nisa gak sempat pamit tadi, Nisa masuk dulu," ujarnya sambil tersenyum tips dan kemudian berbalik membuka pintu. Nisa lalu masuk dan hendak menutup pintu depan namun pintu itu ditahan oleh Bryan sampai ia pun menerobos masuk ke dalam.

Nisa bingung dengan sikap Kakaknya. Bryan lalu menarik Nisa ke arahnya, merengkuh pinggang dan merekatkan Nisa di dadanya. Napas Bryan tersengal, ia mengarahkan Nisa ke dinding disebelahnya dan menjepit Nisa dengan tubuhnya ke arah dinding.

"Kamu bukan Adikku, Nisa! Harus berapa kali aku mengatakan hal ini, Snowflakes, you are mine!" ujar Bryan dengan suara berat dan tanpa lama kemudian mengulum bibir Nisa. Ia melumat bibir Nisa sambil terus menahan sebelah tangannya pada Nisa. Nisa membelalakkan matanya tidak menyangka hal itu bisa terjadi lagi.

"Kak lepas... hmmmpp!" Nisa bergumam dari balik ciuman Bryan yang agresif. Tapi Bryan tak melepas dan baru sedikit memberi jarak untuk bicara.

"Gak Snowflakes. Kali ini Kakak gak akan melepaskan kamu lagi, Kakak akan mengambil apa yang menjadi milik Kakak dari dulu!" Nisa menolak tubuh Bryan sekuat tenaga dengan kedua tangannya, namun Bryan lebih kuat. Ia mulai mencium lagi dan kali ini Nisa melawan lebih keras. Berhasil lepas, Nisa akhirnya menampar Bryan. Barulah Bryan berhenti.

"Berhenti Kak, cukup Kakak mempermainkan Nisa. Nisa bukan mainan Kakak!" sahut Nisa tersengal dengan air mata mulai tumpah.

"Ini bukan permainan Snowflakes! Kamu milik Kakak dan Kakak gak akan pernah melepaskan kamu!"

"Nisa bukan milik siapa pun, Kakak keluar dari sini!" usir Nisa setengah berteriak. Mata Bryan seolah berubah menjadi gelap. Dia berjalan ke arah Nisa dan Nisa pun mundur sampai tubuhnya menempel lagi ke dinding.

"Kakak tidak akan pernah pergi lagi, kamu akan jadi milik Kakak secepatnya," ujar Bryan hendak mencium kening Nisa. Nisa dengan cepat menghindar kepala di cium dan di belai oleh Bryan.

"Good night, Snowflakes. I love you!" Bryan kemudian keluar rumah dengan langkah perlahan. Nisa masih tersengal dan buru-buru menutup pintu. Lalu tubuhnya meluncur di pintu begitu saja, kaki nya lemas. Bryan berhasil menciumnya lagi. Nisa mengira jika Bryan sudah berubah tapi ternyata tidak. Nisa kemudian meraba bibir nya yang terasa agak membengkak akibat ciuman agresif tadi. Apa yang harus ia lakukan sekarang?.