Chapter 45 - Negosiasi Cinta

H.G CORPORATION

"Apa ini?" tanya Bryan mengangkat amplop putih dan tidak tersenyum. Nisa menarik napasnya dengan tenang sebelum menjawab.

"Surat pengunduran diri" mata Bryan sedikit memicing lalu ia tertawa kecil seperti mengejek. Bryan meletakkan lagi amplop putih itu di atas meja dan menyandarkan punggungnya ke kursi. Ia tidak melepaskan pandangannya ke Nisa. Sedangkan Nisa tidak gentar dan tetap menantang Bryan. Tapi Bryan sudah tau ini akan terjadi.

"Kamu tau apa yang kamu lakukan, Snowflakes?" tanya Bryan sambil menyentuh cincin di jari telunjuknya.

"Tentu, Nisa punya alasan." Bryan mengangguk. Lalu dia berbalik dan membuka salah satu laci di lemari yang ada di belakangnya. Bryan mengeluarkan sebuah dokumen dalam sebuah amplop coklat lalu meletakkannya di atas meja.

"Itu kontrak kamu, Snowflakes, apa kamu benar-benar yakin sudah baca seluruh isi kontrak yang kamu tanda tangani?" Nisa mengerutkan keningnya. Tentu ia sudah membacanya karena ia membahasnya lebih dari satu jam dengan Bram sebelum tanda tangan. Semua klausul sudah ia baca tidak ada yang mencurigakan.

"Kalau gitu biar kakak ingatkan, salah satu klausul dalam kontrak kamu mengatur pinalti karena pelanggaran kontrak dan pemutusan sepihak, dan denda nya 2 miliar!" mata Nisa membesar, tunggu tidak ada klausul itu sewaktu ia tanda tangan. Bryan pasti berbohong. Nisa pun mengambil dokumen itu dan membacanya kembali. Tidak... ini tidak mungkin pasal ini terlewatkan olehnya. Tapi ia yakin sudah membaca semuanya.

"Ini pasti penipuan, sewaktu Nisa tanda tangan klausul ini tidak ada. Kakak pasti menjebak Nisa!" ujarnya kaget dan wajah yang mulai pucat. Tapi Bryan malah tersenyum dan berdiri dari tempat duduknya. Ia menghampiri Nisa dan mengambil dokumen dari tangan Nisa dan meletakkan kembali ke atas meja lalu mengambil tangan Nisa.

"Come here Princess, let's talk!" ujarnya lembut sambil menarik Nisa salah satu sudut ruangan dengan meja visual. Nisa seperti tidak memiliki kendali pada tubuhnya hanya ikut saja kemana Bryan membawanya. Tiba tiba Bryan menekan sebuah tombol terselubung dari balik lemari buku. Ia kemudian menempelkan telapak tangannya pada dinding dan terbukalah sebuah pintu. Kenapa ada ruangan rahasia disini? Oh tidak?

Nisa menarik tangannya dengan paksa, ia tidak ingin masuk ke dalam ruangan itu. Bryan sempat agak kaget tapi kemudian meraih lagi lengan Nisa menariknya masuk ke ruangan rahasia dibalik lemari buku. Mati aku- pikir Nisa, mungkin Bryan hendak membunuhnya.

Ruangan itu tidak terlalu besar lebih mirip sebuah kamar dengan satu buah ranjang ukuran queen size, sebuah meja dan kursi kerja serta sofa kecil dan tivi yang tertempel di dinding. Dinding ruangan itu seluruhnya dari kaca memisahkan dari pemandangan luar lantai 25 dan diberi tirai. Ruangan apa ini sebenarnya. Nisa masih melihat lihat seisi ruangan yang dia tidak tahu ternyata ada.

"Kamu suka? Ruangan ini Kakak yang rancang," ujar Bryan masih berdiri di depan pintu masuk. Tunggu mana pintunya, semuanya terlihat seperti dinding.

"Kita bisa istirahat disini kalau kamu capek dan tidak ada yang mendengar, ruangan ini kedap suara, kacanya anti peluru!" Bryan menunjuk ke arah dinding kaca yang mengitari ¾ ruangan.

"Untuk apa kaca anti peluru?" tanya Nisa polos.

"Supaya kalo kamu teriak, gak ada yang mendengar!" jawab Bryan santai. Mata Nisa langsung membesar, ia mulai ketakutan. Kakak tirinya ternyata psycho, gila. Nisa merasa ini akhir hidupnya, Bryan akan membunuhnya di ruangan ini lalu mayatnya tidak akan pernah ditemukan. Pikirannya memutar tayangan paling buruk dari kemungkinan ynag bisa terjadi padanya.

"Apa yang kamu pikirkan Snowflakes, come here!" ujar Bryan tersenyum mengulurkan tangannya tapi ditepis Nisa. Ia sudah keburu ketakutan, napasnya mulai sesak.

'Bagaimana caranya aku keluar dari sini?'-tanya batin Nisa.

Bryan masih sabar dan tidak menyerah ia masih mencoba meraih tangan Nisa kembali tapi Nisa terus mundur dan menolak. Bryan terus berjalan mendekatinya, dan Nisa terus mundur hingga tubuhnya menyentuh ujung meja kerja. Reflek tangannya memegang ujung meja berharap masih bisa mundur.

"Kamu takut sama Kakak? Kakak gak akan nyakitin kamu, Snowflakes!" ujar Bryan ketika sudah berjarak 10 cm dari Nisa. Nisa menelan ludah dengan berat ia tidak menjawab. Lalu mata Bryan melihat leher Nisa dan ia mengernyitkan keningnya.

"Kenapa kamu gak pakai kalungnya?" tanya Bryan dengan nada tegas.

"B-barang itu mahal, Nisa gak bisa terima kalung itu, Nisa akan kembalikan!"

"Jangan coba-coba Snowflakes, Kakak membuatnya untuk kamu, hanya kamu yang boleh memakainya!"

"Tapi Nisa..." Bryan menunduk dan mengulum bibir Nisa sebelum ia menyelesaikan kalimatnya. Bibir Bryan melumat lembut bibir Nisa, sampai akhirnya Nisa sadar yang sedang dilakukan Bryan, ia pun mendorong Bryan.

"Jangan... cium Nisa lagi!" Nisa sesungguhnya tidak tau harus bicara apa. Bryan tidak tersenyum ia malah mendekat lagi tapi Nisa terus menghalangi dengan tangannya. Bryan mulai tidak sabar. Ia mencekal kedua pergelangan tangan Nisa dan menguncinya di belakang punggung Nisa, sehingga kini tubuh Nisa menekan ke depan tubuh Bryan.

"Semakin kamu melawan, semakin Kakak akan melakukan yang Kakak mau!"

"Kakak sebenarnya mau apa dari Nisa, lepasin Nisa!" Nisa mulai meronta agar dilepaskan Bryan yang semakin menekan tubuhnya.

"Kakak sudah bilang berkali-kali, Kakak mau kamu, Snowflakes!"

"Dan Nisa juga sudah bilang, kita saudara!" Nisa masih melawan.

"Kakak ga punya hubungan darah dengan kamu Sayang, kenapa kamu terlalu keras kepala?"

"Kakak yang gak ngerti, Nisa ini adik tiri kakak!"

"So?"

"Itu artinya kita gak bisa berhubungan seperti yang Kakak mau." Nisa masih mencoba melepaskan pergelangan tangannya dari Bryan. Tapi Bryan makin menguatkan pegangannya, Nisa bukan tandingannya. Bryan mulai tidak sabar menghadapi Nisa yang masih terus mengatakan bahwa mereka saudara.

"Kamu bukan adikku Nisa, kamu gak pernah jadi Adikku!" ujar Bryan mendekatkan wajahnya pada Nisa.

"Tolong Kak, jangan lakukan ini sama Nisa, Nisa mohon!" ujar Nisa mulai menangis. Bryan langsung luluh, ini dia kelemahannya yang sesungguhnya. Bryan tidak sanggup melihat Nisa menangis. Ia mulai mendekap Nisa tapi Nisa masih melawan. Akhirnya Bryan melepaskan pergelangan tangan Nisa yang sudah memerah lalu memeluk Nisa, dan Nisa menangis di pelukan Bryan.

"Shushh, Snowflakes maafin Kakak, Kakak ga bermaksud buat nyakitin kamu Sayang. Tapi kamu harus mengerti Kakak sangat mencintai kamu dan kakak hanya ingin memiliki kamu." Nisa menggeleng dengan keras dalam pelukan Bryan. Ia kemudian melepaskan tubuhnya yang menempel pada Bryan.

"Tolong Kak, jangan lakukan ini. Ini skandal, jika ini tersebar maka perusahaan ini akan hancur. Nisa gak mau perusahaan Papa hancur gara-gara Nisa." Nisa semakin keras menangis. Bryan mencoba menenangkan Nisa dengan meraih tangannya. Menariknya untuk duduk di sofa di sebelahnya. Nisa terduduk lemas dengan kaki yang sudah tidak sanggup berdiri. Bryan terus menggenggam tangan Nisa dan duduk di sebelahnya dengan posisi setengah menghadap Nisa.

"Listen to me, cinta bukan skandal Snowflakes, dan Kakak akan lakukan apapun untuk memiliki kamu." Bryan menghapus air mata Nisa dengan telunjuknya. Nisa masih terus menggeleng.

"Kakak gak boleh seperti ini, Kakak gak boleh menghancurkan nama baik perusahaan ini dan keluarga Alexander. Papa membangun perusahaan ini dari nol dan Nisa gak akan membiarkan Kakak menghancurkannya hanya karena keinginan Kakak sendiri!"

"Jika kakak ingin menghancurkan perusahaan ini kakak sudah melakukannya dari dulu. Kamu pikir kenapa Kakak pulang? Itu karena Kakak harus menyelamatkan perusahaan ini dari jurang kebangkrutan."

"Daddy bahkan berniat menjual HG sebelum akhirnya Kakak memutuskan untuk pulang, dan juga Kakak ingin bersama kamu itu sebabnya Kakak kembali Snowflakes." Nisa masih belum bisa menerima alasan Bryan.

Tidak... hubungan mereka terlalu beresiko, tidak hanya itu Bryan juga sudah menyakiti Nisa. Selama 12 tahun Nisa bahkan sempat berpikir bagaimana caranya membalas apa yang pernah Bryan lakukan padanya.

Nisa masih memandang Bryan dengan rahang yang mengeras, ia tidak suka Bryan bersikap seperti ini.

"Jika berita tentang CEO HG Corp memiliki hubungan cinta dengan adik tirinya tersebar, maka nama Alexander juga akan tercoreng!" Bryan baru melepaskan genggamannya pada Nisa. Ia membuang pandangannya ke tempat lain dan menarik napas dengan kesal. Lalu ia berdiri dari melihat Nisa sambil berdiri dan melipat kedua lengannya di dada. Nisa yang masih duduk terpaksa harus menengadah.

"Reputasi perusahaan adalah urusan Kakak, yang harus kamu tau adalah kakak akan cari cara mengikat kamu secepatnya, sementara itu jika kamu gak mau dianggap bahwa hubungan kita skandal kamu gak boleh melanggar perintah Kakak apapun itu Snowflakes. Kakak anggap surat pengunduran diri itu tidak ada!" ujar Bryan dengan wajah serius dan menyeramkan.

"Dan jika Nisa menolak?"

"Kakak akan bilang pada Daddy, kalau kita pacaran!" Mata Nisa membesar, Bryan mengancamnya membawa bawa Hans. Nisa langsung berdiri dan tidak percaya yang ia dengar. Bryan memang sudah gila, ia mau menempuh resiko apa saja. Sebenarnya apa yang ia inginkan?

"Jangan sakiti Papa!"

"Snowflakes, Hans adalah Ayahku, Kakak gak mungkin menyakitinya Sayang," jawab Bryan dengan suara lembut. Nisa tidak memiliki ide untuk melawan Bryan saat ini. Segala yang dipikirkannya selama satu minggu kemaren meleset seluruhnya. Bryan seakan terobsesi padanya dan ia harus menanggung segala konsekuensi bahwa kebebasannya kini sudah tiada.

"Baik, Nisa gak akan mengundurkan diri, tapi ingat janji kakak untuk gak menjatuhkan nama baik Alexander dan perusahaan ini!" ucap Nisa menyerah, untuk saat ini.

"Janji!" Bryan mengangguk.

"Sekarang buka pintunya, Nisa mau kembali ke ruangan, nanti mas Bram curiga". Bryan pun tersenyum. Ia kemudian berjalan kearah dinding yang ternyata adalah pintu masuk tadi. Namun sebelum membuka pintu, Bryan berbalik menarik Nisa dan mendorongnya ke dinding. Tanpa ragu ia mencium pipi Nisa, dan Nisa yang kaget hanya menutup matanya rapat rapat. Ingin sekali Bryan mencium bibirnya lagi tapi ia tidak ingin membuat Nisa semakin membencinya.

"Satu lagi, pakai kalung kamu jangan lepaskan dalam keadaan apapun. Kalau Kakak sempat lihat kamu tidak pakai kalung itu, kamu tau akibatnya?" Nisa menggeleng. Bryan mendekat dan berbisik.

"Kakak akan menghukum kamu di ranjang itu, dan kamu gak akan bisa keluar dari ruangan ini seharian, mengerti Snowflakes?" Mata Nisa yang membesar pun hanya bisa menunduk lalu ia mengangguk. Tangan Bryan menyentuh lembut pipi Nisa kemudian menempelkan telapak tangannya di dinding dan pintunya terbuka. Nisa langsung membuka pintu dan keluar.

"Sampai jumpa jam makan siang Snowflakes." Nisa menoleh tanpa mengangguk langsung menuju meja Bryan mengambil iPad dan langsung keluar ruangan. Bryan yang melihat hanya tersenyum melihat sosok Nisa yang akhirnya pergi.

Bryan menarik nafas panjang. Ini akan jadi kisah cinta yang rumit, dia harus memiliki rencana untuk menakhlukkan hati Nisa. Nisa adalah kebiasaan barunya, kebiasaan yang adiktif.