Chapter 43 - No Turning Back

Bryan masuk ke mobil nya dan membanting pintu. Kedua napasnya tersengal seolah baru berlari. Dia baru saja melakukan yang selalu dia inginkan yaitu mencium Nisa. Namun bukan rasa bahagia yang ia dapatkan tapi rasa cemas dan takut. Bryan berusaha tenang dengan memegangi dadanya berkali kali.

Kali ini dia tidak boleh membiarkan konsekuensi dari tindakannya menjauhkan Nisa darinya lagi. Ia sudah tau bahwa ketika Nisa kembali ke kantor nanti maka ia akan mencari cara untuk mengundurkan diri. Bryan tidak akan pernah membiarkannya. Ia lalu menghidupkan mobil dan segera pergi dari pekarangan rumah Nisa.

Belum lama berkendara, ponsel Bryan berdering. Arya menghubunginya dan mereka sama-sama masih di jalan. Bryan langsung mengangkat.

"Gimana bro?" tanya Bryan.

"Dia udah gue antar pulang!" jawab Arya.

"Kita ketemu di penthouse aja ya, sekalian gue pengen liat interiornya!"

"Oke," jawab Arya lalu menutup telepon.

Tak berapa lama Arya tiba lebih dulu di depan lobby apartemen dan masuk melalui lift khusus untuk penghuni penthouse. Arya dan Bryan akan pindah ke tempat tinggal baru sebelum Tahun Baru tiba. Penthouse itu adalah salah satu properti HG corp dan sudah di design ulang oleh Arya untuk agar mereka bisa tinggal.

Arya masuk ke penthouse milik Bryan dengan password. Terlihat beberapa furniture baru masih terbalut plastik. Sambil menunggu, Arya melepaskan beberapa cover plastik, mencabut tag harga lalu membereskannya. Setelah rapi, ia lalu menuju kulkas dan mengambil beberapa botol minuman yang ia masukkan beberapa hari lalu.

Arya mengambil dua botol Heineken karena Bryan akan datang sebentar lagi. Ia meletakkan botol diatas meja lalu membuka jaket dan duduk sembari menggulung lengan kemeja sampai bawah siku. Arya lantas mengambil pembuka botol dan mulai minum sendirian menunggu Bryan di ruang tengah. Pikirannya melayang lagi pada tingkah Dira padanya beberapa saat lalu.

Jika hal tadi terjadi tujuh tahun lalu maka Arya akan sangat bahagia untuk melakukan pertama kali dengan gadis itu. Tapi kenapa sekarang ia malah tidak menginginkannya, tidak dengan Dira. Ia seperti menginginkan orang lain. Nama itu terlintas begitu saja dipikiran Arya. Nama Emilia Carter.

"Ah shit!" umpatnya kesal sambil menyandarkan kepala.

Sejak kejadian dengan Emily, Arya belum tidur dengan wanita mana pun. Ia kehilangan selra dan gairah melakukannya lagi dengan orang lain. Apa yang sebenarnya terjadi padaknya? Memangnya apa yang bisa ia harapkan dari Emily? Berharap bertemu dan berkencan lagi dengannya? Yang benar saja, mungkin sekarang Emily malah sudah menikah mengingat ia ternyata telah bertunangan.

Sudah lebih dari sebulan sejak Arya meninggalkan Manhattan, dan Emily pasti sudah menikah. Tapi Arya kini malah menginginkannya. Emily sesungguhnya memenuhi segala karakter yang diinginkan Arya dalam hubungan intim. Arya adalah penganut fantasi dominant submissive dalam berhubungan intim. Ia punya cara yang berbeda memuaskan pasangan dan Emily adalah orang yang tepat, setidaknya itu yang pernah ia pikirkan sebelumnya. Namun kenyataannya, sebelum Arya berhasil menunjukkan jati dirinya, Emily ternyata adalah milik pria lain.

Arya terus minum sampai tiba-tiba terdengar bunyi password pintu terbuka dan Bryan masuk. Ia tidak beranjak dari sofa dan mengangkat ujung botol saat melihat Bryan. Bryan kemudian mengambil tempat duduk disebelah Arya, membuka jaket dan melemparnya ke sofa sebelah.

"Sorry lama!" ujar Bryan sambil membuka botol dan menyandarkan punggungnya santai. Ia pun minum sebelum akhirnya bicara.

"What a great night, haa!" sambung Bryan kesal.

"Lo mau cerita ada apa?"

"Dira datang dan merusak suasana, dia menyebut Nisa 'adik tiri' dengan nada mengejek, gue harus langsung bawa Nisa pulang. Nisa sampe nangis gara-gara itu." Arya menggeleng tidak percaya Dira bisa sekasar itu. Tapi melihat tindakannya malam ini, Arya tidak heran. Dira memang sudah berubah.

"Trus gimana keadaan Nisa?"

"Sedih, tapi gue lebih sedih dia malah memperkenalkan diri sebagai Adik tiri di depan Dira, what the hell was that?" gerutu Bryan kesal sembari menoleh pada Arya.

"Dia gak mau reputasi lo hancur, Bry."

"Dia ga perlu mikirin hal itu, itu urusan gue. Gue cium dia tadi!"

"Haa... lo serius!"

"Iya, gue udah cium dia lagi, dan bilang kalo dia milik gue!" Bryan benar benar gila. Arya menggelengkan kepalanya tak percaya.

"Dia menolak ato gak?"

"Ya jelas nolak, tapi gue gak akan lari kali ini gue akan dapatin dia apapun caranya," ujar Bryan sambil minum. Bryan memang benar-benar nekat.

"Apapun yang lo udah rencanakan, jangan sampe lo nyakitin Nisa, Bry. Gue serius!" Bryan mengangguk.

"Lo sendiri kenapa kayak orang bingung, Dira ngelakuin sesuatu ke lo ya?"

"Iya, tapi lo tau yang lucu? gue gak menginginkan dia lagi, gue malah menginginkan milik orang lain. Keren ya hadiah Natal gue!" sindir Arya untuk dirinya sendiri.

"Yeah both of us are sucks" sembur Bryan membuat Arya tertawa. mereka lalu mengadukan ujung botol dan terus minum. Sepertinya malam ini mereka berdua akan tidur di penthouse.

"Gue suka design interiornya, thank you!" ujar Bryan sebelum Arya masuk kamar tamu untuk tidur. Setelah saling mengucapkan selamat malam mereka pun masuk kamar masing masing dan beristirahat.

Malam itu baik Nisa maupun Bryan sama-sama tidak bisa tidur. Nisa terus menangis setelah Bryan pergi. Ia bingung dengan perasaannya sendiri. Ia benci Kakaknya memperlakukannya seperti itu tapi ada bagian kecil dalam hatinya berteriak senang karena ternyata Bryan mencintainya. Cinta? Benarkah Bryan memang mencintai Nisa. Ataukah Bryan memang memiliki rencana lain pada gadis itu. Nisa semakin ragu dan memiliki banyak pertanyaan. Lalu kata-kata Dira kembali terngiang di benak Nisa

'Siapa tau kita satu saat akan nikah, lagi pula bukannya dunia kita seperti itu, kita melakukan yang diberikan oleh orang tua kita, kita tidak memilih'

Bryan tidak mungkin mau menempuh resiko sedemikian besar untuk memiliki Nisa. Ia mungkin cuma akan berakhir di tangan kakaknya lalu patah hati karena pada akhirnya Bryan akan menikahi wanita yang sudah dipilih oleh keluarga Alexander. Sedangkan Nisa sesungguhnya bukan siapa-siapa. Ibunya sudah tiada, hanya meninggalkan bekas "tanda" keluarga Alexander padanya sebagai anak sambung tiri. Tapi itu juga karena ibunya menikah dengan Hans Alexander. Dan juga karena Hans sudah berjanji pada Rita untuk menjaga Nisa, si piatu yang kini sebatang kara.

"Bunda tolong Nisa, Nisa takut sendirian disini," ucap Nisa lirih dalam tidurnya sambil terus menangis. Tak berapa lama Nisa lalu bangkit dari tidurnya. Ia kemudian menghapus airmatanya. Ia tidak boleh lemah. NIsa terus meyakinkan dirinya bahwa ia adalah wanita yang kuat. Usianya sudah 23 tahun dan sudah harus bisa membuat keputusan sendiri.

Nisa memutuskan akan menghadapi Bryan Alexander. Kali ini ia tidak akan lari. Ia yakin Bryan tidak akan mau menempuh resiko besar membahayakan reputasi keluarganya demi cintanya pada Nisa. Nisa terus meyakinkan dirinya, jika Bryan hanya menginginkan tubuhnya tidak lebih dari itu.

Nisa sudah mendengar reputasi Bryan sebagai seorang player, dia selalu mendapatkan yang ia inginkan. Dia hanya menginginkan seorang wanita untuk menghangatkan ranjangnya. Nisa kemudian bertekad bahwa ia tidak akan menyerah menjadi mainan Bryan, Bryan tidak akan mendapatkan apa yang ia inginkan. Nisa tidak akan pernah membiarkan dirinya dikuasai oleh Bryan.

Sementara Bryan bahkan memang tidak tidur sama sekali. Ciumannya pada Nisa merupakan ciuman termanis yang bisa membuatnya terjaga sepanjang malam. Lembut dan manisnya bibir Nisa masih terasa hingga kini. Bagi Bryan yang sudah ratusan kali mencium banyak wanita, hanya bibir Nisa yang paling manis.

Ia tau bahwa Nisa sudah mengambil kendali atas dirinya sendiri. Bryan tidak hanya menginginkan tubuhnya tapi juga hati Nisa, ia ingin memiliki Nisa seutuhnya. Senyum licik terukir di bibir Bryan kemudian, tidak ada jalan untuk kembali ke keadaan sebelumnya, aku akan membuatnya mencintaiku- ujar Bryan dalam benaknya.

BEBERAPA HARI KEMUDIAN

Hari ini hari pertama masuk kerja setelah libur Natal dan Tahun Baru. Nisa hanya menghabiskan masa liburannya di rumah. Ia tidak mau mengangkat telepon dari siapapun termasuk Bryan yang sudah ratusan kali mencoba menghubunginya.

Selama seminggu ia mencoba berpikir apa yang harus ia lakukan ketika bertemu Bryan nanti di kantor. Selama seminggu pula ia mengalihkan pikirannya pada tugas akhir kuliahnya. Sedikit lagi ia akan menyandang gelar master bisnis manajemen. Sewaktu masuk ke ruangannya, ia melihat Bram sudah berada di depan komputer.

"Pagi Nisa, selamat Tahun Baru ya!" ujarnya sambil tersenyum pada Nisa.

"Selamat Tahun Baru, Mas Bram," jawab Nisa sambil membalas senyuman Bram. Nisa pun duduk di kursinya dan meletakkan tasnya di meja. Ia pun menarik laci, mengeluarkan iPad dan beberapa map dokumen lalu selembar amplop yang ia selipkan diantara iPad nya.

"Mas Bram Nisa masuk ke ruangan Pak Bryan dulu." Bram mengangguk. Nisa pun keluar dan menuju ruangan CEO. Ketika ia masuk, Bryan tengah berada di depan laptopnya tengah mengerjakan sesuatu. Bryan menaikkan pandangannya pada Nisa begitu ia mendengar bunyi pintu. Akhirnya ia bisa melihat Nisa setelah kejadian malam itu. Bryan terus memandang dan membuat Nisa gugup. Tapi Nisa sudah bertekad tidak akan takluk pada Bryan.

"Pagi Pak, saya membawa kan beberapa dokumen yang harus Bapak tanda tangani, jadwal Bapak hari ini..." Nisa membacakan schedule Bryan. Dan jangan pikir Bryan menyimak jadwalnya, ia sibuk memandangi Nisa.

Nisa hari ini memakai blazer hitam dengan dress mid thighs warna putih. Ia menggerai rambutnya ke samping dan memberi jepitan di salah satu bagian rambutnya. Sederhana tapi sangat cantik. Ingin sekali Bryan memeluk dan menciumnya. Merebahkannya diatas meja sambil membuka satu persatu pakaiannya. Fantasi Bryan memang selalu liar jika bertemu Nisa.

Setelah Nisa selesai, Nisa kemudian meletakkan dokumen yang dimaksud di meja Bryan lalu menambahkan sebuah amplop putih di atasnya. Mata Bryan menangkap amplop itu lalu matanya melihat ke Nisa. Ia kemudian mengambil amplop tersebut lalu bertanya meski Bryan sudah bisa membaca judul amplopnya. Ia menutup laptop dan mengangkat amplop itu.

"Apa ini?" tanya Bryan tidak tersenyum. Nisa menarik napasnya dengan tenang.

"Surat pengunduran diri!".