"Terima kasih, kita bertemu pada meeting selanjutnya, selamat sore," ujar Hans Alexander sambil berdiri membereskan beberapa bundel kertas dan berjalan ke arah pintu keluar. Seluruh manajer dan staf yang ikut meeting ikut keluar setelah bos mereka menghilang dari balik pintu kaca. Hans berjalan ke arah kantornya, sebelum sampai ia berbalik pada PA nya.
"Bram, batalkan semua janji sore ini, saya mau pulang cepat," ujar Hans sambil tersenyum.
"Baik, Pak," jawab Bram membalas senyuman bosnya.
Tak lama kemudian, Hans masuk ke kantornya dan mengeluarkan ponsel dari balik kantong jas nya.
"Hai, kamu lagi dimana?" Hans menghadap dinding kaca besar yang menunjukkan pemandangan separuh kota sambil menelepon seseorang.
"Aku sedang di sekolah, Mas."
"Hhmmm,ehm, besok siang aku jemput kamu ya, kita makan siang di rumahku. Ada yang mau aku kenalkan sama kamu. Oh ya, jangan lupa ajak Nisa juga." Hans tersenyum
"Iya, Mas. Besok aku ke rumah kamu bareng Nisa."
"Apa perlu aku kirim supir untuk jemput?"
"Gak usah, Mas. Aku akan naik taksi aja ke rumah kamu. Lagipula aku tau kok alamat kamu."
"Ya udah, besok siang pas jam makan siang, yah!"
"Ya Mas, sampai jumpa besok."
"Sampai ketemu besok." Sambil tersenyum Hans menutup telepon. Dia masih berdiri beberapa saat sambil terus melihat ke arah kumpulan gedung pencakar langit. Ia pun membuka ponselnya dan menelpon kembali.
" Apa Bryan sudah pulang?"
"Belum, Tuan."
"Ya sudah, kalau dia sudah di rumah jangan kasih ijin keluar lagi, bilang saya mau makan malam di rumah sama mereka berdua." Hans masih berpikir tentang rencana makan malam dengan kedua anaknya dan tentang apa yang akan dia katakan malam ini.
"Baik, Tuan."
Kediaman Mahendra
Usai pertemuan itu, Bryan bercerita pada satu-satunya sahabat baiknya, Arya Mahendra. Arya yang senyam-senyum saja mendengar Bryan bercerita untuk pertama kalinya tentang lawan jenisnya, mendengarkan dengan baik sembari mengemil.
"Lo gak tanya namanya?" ujar Arya sambil mengunyah keripik kentang kesukaannya. Di depannya duduk Bryan yang sedang menggambar untuk proyek seni kelas mereka.
"Gak, lagipula dia langsung pergi," jawab Bryan tanpa melihat Arya. tangannya masih sibuk mencampurkan warna.
"Cantik gak? Pasti cantik ya!" Arya tersenyum menggoda. Bryan langsung mengarahkan matanya dari buku gambar ke mata Arya. Dia tidak tersenyum atau pun menjawab. Lalu sedetik kemudian dia meneruskan lagi gambarnya. Arya cuma terus tersenyum, baru kali ini Bryan tertarik pada lawan jenisnya. Bahkan secantik Indira tidak bisa membuat Bryan bercerita tentang perempuan.
"Kayaknya dia anak kelas satu deh, Bry. Soalnya dari ciri ciri yang lo bilang gak ada anak di sekolah kita yang seperti itu." Bryan hanya mengangguk saja.
"Tenang besok lo pasti ketemu dia lagi."
"Belum tentu."
"Kenapa?"
"Kelas satu ada di bawah, kelas kita ada di lantai tiga." Arya mengangguk mengerti.
"Oh gampang, kalo perlu besok gua suruh anak anak cari tu cewek!"
"Gak usah ntar juga pasti ketemu sendiri."
"Lo gak kangen apa?" Bryan menghentikan menggambar dan spontan melemparkan buku gambar diatas meja yang tak terpakai ke arah Arya. Arya tertawa puas. Setelah perutnya sakit dan Bryan tersipu malu, barulah ia bangkit dan mengambil jaket.
"Udah malam, yok gua antar pulang!" Bryan mengangguk dan menutup buku gambarnya. Ia membereskan sisa pensil dan memasukkannya ke dalam tas. Ketika Arya dan Bryan keluar dari kamar tak lama Pak Rahman, supir Hans Alexander sudah berdiri di depan pintu. Arya sempat kaget karena dia berencana mengantar Bryan dengan mobil dan supirnya. Arya tidak diberikan kendaraan sendiri karena masih dibawah umur. Ayahnya menyediakan supir pribadi untuk kebutuhannya sehari hari.
"Pak Rahman ngapain disini?" tanya Bryan.
"Saya disuruh Tuan untuk jemput Tuan Muda Bryan." Bryan hanya mengangguk. Arya pun tersenyum sambil menepuk pundak Bryan.
"Kalo gitu, sampai ketemu besok di sekolah, hati hati Pak" Arya setengah berteriak sambil melambaikan tangan pada Bryan yang sudah masuk mobil.
***
Butuh hampir 35 menit untuk sampai di rumah kediaman Hans Alexander. Mansion bergaya eropa tempat Bryan tumbuh dan menghabiskan masa kecilnya. Sampai di depan pintu, Bryan masuk dan disambut sang ayah.
"Anak Daddy baru sampai?" Bryan mengangguk sambil menutup pintu.
"Kalo gitu kamu ke atas terus mandi dan kita makan bersama," ujar sang Ayah sambil memegang kedua bahu Bryan dan tersenyum.
"Tumben Daddy makan di rumah?" tanya Bryan sambil membalas senyuman.
"Daddy pengen lebih banyak menghabiskan waktu bersama anak-anak Daddy, bolehkan?"
"Of course Dad, I'll be back." Bryan tersenyum senang dan berjalan setengah berlari ke tangga menuju kamarnya.
Sekitar 15 menit kemudian, Bryan dan Alisha sudah duduk bersama di meja makan. Bryan merindukan ayahnya, ia sangat jarang melihat Ayahnya makan malam di rumah terlebih setelah ibunya meninggal. Bryan selalu tersenyum dan tertawa mendengar lelucon ayahnya. Alisha pun tak berhenti tersenyum bahagia.
Setelah makan malam, ketiganya masuk ke ruangan santai tempat biasanya Bryan menghabiskan waktu bermain video game bersama Arya atau sekedar membaca majalah dan menonton TV. Hans dan kedua anaknya menghabiskan waktu dengan bersantai sambil meminum minuman kesukaan masing masing. Hans dan Alisha dengan teh hijau kegemarannya dan Bryan dengan coklat panas bercampur marsmellow.
"Ada yang ingin Daddy bicarakan dengan kalian berdua," ujar sang Ayah setelah kedua anaknya sedikit lebih santai. Hans berhenti cukup lama dan tersenyum sebelum melanjutkan bicara.
"Mungkin kalian berdua sudah tau jika Daddy sekarang sudah .... punya kekasih lagi." Wajah Bryan mulai berubah, Alisha masih tetap tersenyum bahagia dan mengangguk.
"Daddy berencana menikah dalam waktu dua minggu ini." Alisha yang duduk di sebelah Ayahnya langsung semringah dan menggenggam tangan Ayahnya. Sedangkan Bryan malah tak berekspresi apapun dan meletakkan mug coklat panasnya dengan pelan ke atas meja kopi.
"Besok siang, Daddy mengundang calon istri Daddy kesini dan Daddy ingin kalian berkenalan." Nafas Bryan mulai berat dan ia menggenggam tangannya dengan kuat. Sementara Alisha tidak bisa menyembunyikan rasa bahagia nya. Ia bahagia akhirnya Ayahnya tidak lagi terpuruk dalam kesedihan dan menemukan kembali hidupnya.
"Alisha akan langsung pulang ke rumah besok, Dad. Wah, Alisha gak sabar pengen ketemu pacarnya Daddy," ujar Alisha sambil bertepuk tangan dengan mata berbinar. Hans membelai rambut Alisha dengan lembut sebelum melihat ke arah Bryan yang duduk di depannya.
Senyum Hans langsung pudar tatkala melihat wajah anak laki-lakinya tanpa ekspresi yang kemudian menundukkan kepalanya dengan wajah sedih. Ini bukan saatnya menangis- pikir Bryan.
Hans tau ekspresi anak lelakinya menunjukkan sikap jika ia tidak suka. Tapi tidak satu patah kata pun dikeluarkan oleh Bryan. Tawa Bryan lima menit lalu hilang sudah, wajahnya kini murung. Hans melepaskan nafas berat sebelum ia sempat ingin bertanya, Bryan berbicara lebih dulu.
"Bryan, udah ngantuk, Bryan mau tidur duluan ya Dad. Good night, Dad. Good night, Alisha," ujar Bryan sambil berjalan menuju Alisha dan mencium kening Alisha. Setiap malam dari kecil Bryan terbiasa mencium kening Kakaknya dan mengucapkan selamat tidur. Hans hanya bisa tertunduk hingga Alisha bicara.
"Daddy tenang aja, Bryan pasti ngerti. Alisha senang Daddy akan ada yang nemenin." Alisha dipeluk sang Ayah yang mulai menitikkan airmata. Hans mengangguk tapi matanya masih melihat ke arah Bryan keluar dari ruangan itu dan pergi. Ia menghela nafas berat sebelum akhirnya tersenyum lagi memeluk Alisha.
Bryan masuk kamar dan menghempaskan dirinya di atas matras king size miliknya.
"I really miss you, Mom. I really do" ujarnya pelan sambil menutup wajah dengan lengannya. Bryan menangis dalam diam tak bersuara. Tangannya terkepal tanda emosi yang ditahannya semenjak tadi. Ketika matanya lelah Bryan langsung tertidur dengan air mata yang mengering.