"Cinta itu tak berbentuk. Hanya bisa dirasa, bahkan tak bisa digenggam. Saat aku melihatnya, aku ingin menggengamnya. Tapi tak bisa... cinta itu begitu menyakitkan. Ia menghancurkan diriku yang sebenarnya lalu menancapkan tombak berancunnya di hatiku. Kubawa cinta itu sampai dewasa... hingga aku bertemu lagi dengannya. Gadis yang menggenggam hatiku."
***
Pagi yang cerah adalah saat hari pertama masuk sekolah. Seorang anak dengan wajah bayi namun sayangnya dia sudah 15 tahun sedang berdiri di depan cermin dengan seragam baru. Ia baru saja naik kelas dua SMP di salah satu sekolah swasta ternama di Jakarta. Sambil memperbaiki kerah baju tiba tiba pintu kamarnya diketuk dari luar.
"Bry, kamu udah siap?" ujar kakak perempuan tertuanya, Alisha sambil mengintip dari balik pintu dengan sebelah kepalanya melongok ke arah anak itu. Sambil tersenyum anak remaja itu mengangguk.
"Ayo, kamu bakal diantar Daddy," lanjutnya sambil menutup pintu. Remaja itu hanya menghela nafas, ia harus jadi anak baik. Di depan cermin ia tersenyum sinis. Mungkin hanya cermin yang tau siapa dirinya.
Seperti biasa setiap pagi, Ayahnya sudah menunggu di depan pintu depan sebelum tersenyum mengajaknya masuk ke dalam mobil. Ayahnya dan supir pribadinya, Pak Rahman menurunkan remaja itu di depan gerbang sekolah. Sebelum membuka pintu, Ayahnya memegang tangan remaja itu.
"Bryan, kamu udah besar dan kamu selalu buat Dad sama mom bangga. Suatu saat kamu akan jadi pewaris perusahaan Daddy. Rajin belajar dan jadi anak baik. I love you, my Babyboy," ujar Ayahnya sambil tersenyum memegang bahu remaja itu. Ia hanya bisa tersenyum ramah dan mengangguk pelan.
"See you at home. my Boy." Kalimat itu adalah kalimat yang sering sering di dengarnya ketika Ayahnya mengantar. Pintu mobil ditutup dan ia melangkahkan kaki masuk ke halaman sekolah.
"Tuan muda Bryan akan jadi penerus yang Tuan inginkan, saya yakin, dia anak baik," ujar Pak Rahman sambil tersenyum dari kaca mobil.
"Ya, dia selalu buat kami bangga. Kami tidak salah pilih, dia memang anak baik." ...
Sementara itu di sekolah
"Ampun...lepasin...aku janji gak akan ingkar janji lagi. Tolong jangan pukulin lagi, Kak." tangis seorang anak sambil memohon memeluk kaki anak laki laki didepannya.
"Heh...udah berapa kali gua bilang, bayar utang lo!" ujar anak seumurannya yang kaki nya dipegang dengan sekali hentak menendang perut anak lelaki yang sudah memar dipukuli.
"Janji, aku bayar minggu depan. Minggu ini aku gak dikasih uang sama mama karena uangnya habis buat taruhan kemarin."
"Itu urusan lo, urusan gue..." dia berhenti bicara ketika matanya memandang ke arah depan setelah temannya menyikut cukup keras untuk melihat siapa yang datang. Anak laki laki yang dipandangi oleh lima orang anak laki laki lain dan satu anak yang masih meringkuk tadi sambil ikut mendongakkan kepalanya. Semua mereka melihat ia mulai berjalan santai ke arah mereka.
Tidak ada yang bicara atau pun melakukan sesuatu ketika dia sedang berjalan dan akhirnya berhenti tepat di depan si anak yang sedang meringkuk kesakitan. Dia melihat ke bawah tanpa ekspresi lalu mengalihkan matanya menatap wajah anak yang memukuli tadi.
"Dia udah bayar?" dia bertanya tanpa ekspresi.
"Belum, Bry," jawabnya singkat. Anak itu menunduk lagi melihat anak laki laki yang meringkuk tadi. Dia berjongkok dan melihat ke arah mata anak laki laki itu.
"Aku benci pembohong dan penipu."
"Aku janji, Kak. Aku pasti bayar minggu depan," jawabnya pucat.
"Dua hari, aku kasih waktu dua hari. Karena kalo gak, aku akan membuat kamu dikeluarkan dari sekolah ini. Tau kenapa, karena pacar kamu Stella kemarin mengirimkan fotonya setengah telanjang padaku. Dan foto itu akan aku taro di handphone kamu dan akan dicari kepala sekolah. Orang tua kamu pasti kecewa." Anak itu bicara tanpa rasa berdosa.
"K-kenapa Stella bisa kirim gambar seperti itu ke Kak Bryan?" tanya anak itu dengan wajah terkejut dan bibir yang bergetar.
"Huh, kamu pikir kenapa dia mau pacaran sama kamu? Karena dia pikir kamu temanku dan dia bisa mendekatiku lewat kamu," jawab anak itu sambil tersenyum sinis. Anak laki laki itu hanya tertunduk dan tidak lagi bicara. Dia tau bahwa semua hampir semua siswi perempuan di sekolah ini menyukai remaja bernama Bryan dan itu tak terkecuali Stella pacarnya.
"Dua hari mulai besok, dia gak bayar sebarin foto Stella yang dari handphonenya juga." Bryan melangkah santai ke arah kelas. Anak anak yang memukul tadi tersenyum menang sambil berkata
"Beres Bry, lo tenang aja!".
Bryan masuk kelas dengan santai dan melemparkan tasnya ke atas meja belajarnya. Seluruh kelas terdiam ketika Bryan masuk. Ada yang mengganggu mood Bryan pagi pagi. Teman kelas laki laki langsung menyingkir sedangkan yang perempuan malah berbisik-bisik sambil mencuri pandang pada Bryan. Bryan selalu kelihatan tampan apapun keadaanya. Biarpun dalam keadaan marah, ia selalu bisa menarik perhatia banyak orang. Dua menit kemudian seorang anak laki laki dan siswi paling cantik di sekolah masuk kelas yang sama dengan Bryan. Siswa laki laki itu langsung duduk di depan Bryan dan tersenyum lebar. Sedangkan siswi yang satunya lagi menyandarkan punggung di meja sebelah kanan Bryan dengan santai.
"Pagi-pagi udah jelek aja mood lo, ada apa?"ujarnya sambil melipat tangan di depan Bryan. Bryan tidak menjawab dan cuma mengangkat bahu.
"Jangan bilang karena ada yang gak bayar taruhan," tambahnya lagi.
"Aku benci orang yang gak berpikir sebelum bertaruh dan ketika kalah dia gak bayar," semprot Bryan dengan kesal. Akhirnya Brian buka suara di depan temannya itu dan temannya, cuma bisa tersenyum.
"Tapi bukan itu masalah yang bikin aku kesal pagi-pagi. Daddy bilang akan mewariskan perusahaannya ke aku."
"Bukannya bagus? bukannya itu yang kamu mau," celetuk teman perempuannya ikut menanggapi. Meski ia tak mengertibenar apa yang dimaksudkan oleh Bryan. Bryan menoleh tanpa senyum, lalu berpaling lagi ke teman di depannya.
"Arya, kamu tau siapa aku?"
"Bryan, kita bicara nanti. Untuk sekarang stop pukulin orang, I mean it!" Anak yang dipanggil Arya itu pun bangun dari kursi sambil menunjuk ke arah Bryan. Bryan malah mengangkat tangannya ke udara dengan tatapan 'maksud lo'. Dengan tersenyum yang masih menggantung, Arya langsung keluar dari kelas Bryan menuju kelasnya di sebelah kelas Bryan. Mereka tidak sekelas, Bryan dan Arya tapi siswi perempuan tadi kemudian duduk di bangkunya yang berjarak dua meja di depan Bryan. Tak lama, guru pun masuk dan memulai hari pertama di kelas dua.