Mark terduduk di sebuah kursi single dengan lemas. Pundaknya meluruh, mata nya berkaca-kaca berusaha menahan air mata yang berlomba-lomba keluar.
Akhirnya satu tetes air mata itu keluar begitu saja, dengan kasar mark menghapus jejak tetes air mata di pipi nya. Padahal rosi sebelumnya pernah melarang mark untuk tak menangis jika rosi tak melihat mark langsung dalam keadaan sadar.
Dan mark melanggar itu. Permintaan rosi memang terdengar mudah ter-realisasikan. Tapi, nyatanya mark sulit mematuhi hal itu, bagaimana tidak? Mark sudah sebegitu setia dan sabarnya menunggu rosi sadar. Mark hanya khawatir dan takut.
Mark masih di bangsal rumah sakit, vip. padahal mark sama sekali tak bawa uang sepeserpun . Hanya bermodalkan kekhawatiran. Untungnya rumah sakit jalin mitra ini milik pamannya jadi mark gratis mendapatakan pelayanan mahal.
Jika tidak ada paman nya. mark akan rela-rela saja menjual mobil mahal abang nya yang ia kendarai kesini agar rosi bisa cepat-cepat ditangani. Atau bahkan mark bisa sekaligus menggadaikan motor sport merah abang nya juga yang sering ia pakai bermain.
Tenang aja abang nya itu tinggal di apartemen yang lumayan jauh dan abang nya memang da hpunya mobil plus motor baru yang lain. Kata abangnya sih gini " udah mobil sama motor gue yang lama lo pake aja sama rosi juga" dengan senang hati tentunya mark dan rosi menerima.
Mark menggenggam erat tangan rosi. Rosi padahal tak koma, tak memiliki luka yang mengancam nyawanya, tidak. Walau luka-luka pada rosi termasuk luka yang lumayan berahaya.
Ya gimana gak bahaya? Orang telapak kaki kirinya dijahit delapan jahitan, tulang jari telunjuknya retak, juga jari tengahnya yang tergeser, ooh dan jangan lewatkan luka-luka yang mengeluarkan banyak darah dari kedua kepalan tangannya juga disektar telapak kakinya. Ada juga luka-luka goresan di sekitar dahi dan pipinya.
Sungguh! Saat diperjalanan menuju rumah sakit mark tak sekalipun berani mengusap ataupun menyentuh pipi rosi yang padahal merupakan daerah kesukaan mark. Yaa, karena sedari dulu mark selalu mencubiti ataupun mengusap pipi halus rosi yang sampai sekarang masih memiliki baby cheek seperti sahabat nya yang agak gempal, haekal .
Mark bahkan meringis setiap ia melihat luka-luka sialan yang diperban itu. Hidih sok-sokan meringis. Gak sadar aja mark kalo dia bahkan pernah ngalamin yang lebih dari itu. Apalagi kalo mark berantem dahlah gak usah dijelasin gimana keadaan mark yang koyak-plus lebam dimana-mana.
Tapi kata kebanyakan cowok tuh dari pengalaman mereka bilang 'gak ngerasa sakit pas berantem, karena sakit itu teralihkan di fokus kekuatan ngehajar lawan. Dan sakitnya itu baru kerasa di akhir-akhir aja. Intinya mark ngerasa emosi bisa ngalahin rasa sakit kayaknya.
"aakhh------aishhhh-----
"EEEH!-KAK ROSIII"
Rosi yang bangun dalam keadaan pusing malah tambahh pening kepalanya saat mendengar pekikan kaget tepat di telinganya itu.
"isshh---m---mark
"maa---maaf kak. Kak rosi lagi dirumah sakit sekarang. Udah istirahat dulu aja kak" mark menarik keatas selimut tebal itu sehingga menutupi dada kakaknya. Sebab saat bangun rosi reflek menurunkan selimutnya. Rosi menyendarkan tubuhnya diatas kasur yang sudah dinaikan. Agar punggungnya nyaman.
Rosi menyeritkan dahinya, seingatnya ia baik-baik saja. Kenapa bisa dirumah sakit gini? Mark seolah tahu apa yang dipikirkan kakaknya segera menjelaskan "tadi kakak kambuh lagi" cukup singkat tapi rosi mengerti.
Huh! Sudah berapa lama ya?, kejadian seperti ini terulang kembali?...rosi murung.
Gue kira gue udah sembuh. Ternyata selama ini gue… bukan sembuh tapi, itu hanya menghilang sementara dan datang saat gue terlalu terpukul.
Haaahhh… sampai kapan gue harus terus déjà vu gini?.
Disaat seperti ini mark memang tak bisa banyak bicara. Tubuh, mulut, dan otak ya seiras bertindak rasional.
Rosi mengangkat pandangannya saat melihat segelas susu coklat disodorkan di depannya. Sudut bibirnya naik.
Gue kira, karena gue dah lama gak kambuh mark bakal lupa kebiasaan ini. Tapi dia ternyata masih inget.
Rosi berniat menggeggam gelas kaca dengan sedotan putih itu. Tentu saja untuk meminumnya.
Tapi mark malah menjauhkan gelas itu dari rosi. Loh? Kenapa?
Mark menatap kedua tangan rosi. Rosi pun mengikuti arah mata mark ke kedua tangannya yang diperban. Aah pantas saja saat tangannya digerakkan keatas ia merasakan sedikit linu juga berat.
Yaa, sedikitnya rosi lupa tentang apa saja yang akn terjadi jika dia kambuh.
"ini kan ada aku kak, kedua tangan aku masih berfungsi dengan baik. Gak ada luka apa-apa juga. Sini aku bantu kakak" rosi terdiam. lembut mark kembali mendekatkan gelas susu coklat itu dan mengarahkan sedotan itu ke bibir pucat rosi.
Hanya beberapa teguk susu coklat itu begitu cepat nya tandas. "kak, you want more milk?, uncle buy it for you" mark menunjuk skotak susu coklat dengan ukuran satu liter yang berada di meja samping rosi. Paman nya memang sebegitu pengertiannya. Dan kebetulan juga pamannya itu selain sebagai pemilik rumah sakit juga sebagai psikolog untuk rosi.
"mark," lirih rosi
Mark menoleh, "ya kak ada apa?, mau apa?, ada yang sakit kah?" tanya berturut-turut mark.
Rosi menggeleng pelan "mark jangan kasih tau siapa-siapa ya---biar kejadian hari ini Cuma mark aja yang tau"
"iya kak, mark gak kasih tau. Untung kaka cepet ngelarang mark soalnya dah hampir mau ngasih tau ke yang lain. Tapi, kak kan uncle dah tau. Tar gimana kalo uncle ngasih tau yang lain?" mark khawatir uncle nya memberitahu keluarganya. Bisa-bisa tar karena saking parno nya ergan dan lili. Rosi bisa-bisa di kurung dirumah seminggu lagi kayak dulu.
Rosi menggeleng kan kepala nya lagi dengan tatapan yakin "gak-gak akan uncle kasih tau orang lain. Uncle pasti tau gue" ayolah pamannya kan psikolog jadi pasti mengerti sifat pasien nya luar dalam. Apalagi rosi sangat dekat dengan pamannya.
Tiba-tiba tatapan lemah rosi berubah menjadi dingin dan tajam. Mark merasaakan hal tak enak. "lo, luka apa di tangan?"
mark gelagapan. Benarkan firasat tak enak nya? "aa—ah kak, kakak periksa hp kaka. Tadi yuna nelfon mulu, berisik tau mana ringtone nya lagu kick it lagi. Kan ganggu. Sampe spam dua puluh kali-an. Gak capek apa tuh anak?" ucap mark mengalihkan pembicaraan.
Mark meraih handphone kakaknya yang ia sengaja simpan di nakas lalu menyimpannya di pangkuan rosi.
Mark perhatikan rosi malah diam saja.
Rosi menatap jengah mark. Lalu ia menyentuh layer hp itu dan niatnya dalah untuk membuka layer kunci dengan sandi angka atau bisa juga dengan sidik jarinya. Ia begitu kesusahannya. Bagaimana tidak kedua tangn nya diperban.
Mark yang baru menyadari hal itu langsung mengambil hp itu kembali dan mengetikkan angka sandi yang ia tahu apa . Yang berisi tanggal lahir nya mark.
Jangan berfikir rosi sebegitu sayang nya dengan mark hingga ulang tahun mark ia jadikan sandi. Jika kalian lupa mari ingat kembali jika mark dan rosi itu kembar tak identik yang lahir ditanggal, bulan, tahun yang sama namun berbeda tujuh detik saja.
Mark mengecek daftar panggilan. Aah ternyata benar, yuna meng-spam telfon kakak nya hingga puluhan kali.
"kak, ini mau diapain?" tanya mark bingung.
"sini sama gue" serah rosi
'e-emang bisa kak?" tanya mark , sembari menyerahkan hp itu di pangkuan kakak nya ragu.
Jengkel kan rosi jadinya "gue belum diamputasi yaa. Masih bisa Cuma buat neken tombol panggilan" sarkas rosi
Mark mengehela nafas nya, lega. Aah untungnya rosi langsung dapat benar-benar teralihkan… hari ni mungkin hari keberun tungannya karena bisanya rosi tak pernah bisa ia alihkan dari pembicaraan.
Karena mark sungguh tak ingin kakak nya tahu. Tentang luka di buku-buku tangannya yang masih baru itu. Sekarang mah dia dah tenang-tenang aja, mark kemudian berjalan ke sofa Panjang, besar nan empuk di sudut bangsal. Lalu merebahkan tubuhnya sembari memainkan hp nya.
Mau push rank dia, dah lama rank nya disitu-situ aja.
Rosi sudah melakukan panggilan kedua kali nya ke nomor yuna yang tiba-tiba tak aktif. Padahal rosi sudah begitu khawatir tentang bagaimana kah keadaan yuna sekarang kayak,
Yuna sekarang dimana?
Dia bawa uang lebih buat cari penginapan, hotel atau apalah itu?
Yuna gak kedinginan kan?
Yuna makan apa ya disana?
Tapi rosi sadar jika ia banyak tanya, yuna malah akan menghindarinya dalam waktu yang lebih lama lagi jadi rosi berusaha memendam rasa penasarannya seolah di depan ia tak sebegitu peduli nya.
Walau rosi sudah sering menghadapi kebiasaan meng-khawatirkan yuna tapi rasa itu yang membuat rosi tak terbiasa, rasa takut dan khawatir itu.