Frankfurt begitu panas dan ramai, Piolo menatap bangunan-bangunan dari jendela kaca ruang rumah sakit kakeknya, pikirannya melayang kepada situasi di sekolahnya, Piolo sebagai wakil Gio tentu merasa bersalah tidak ada bersama Gio saat Gio membutuhkannya, Piolo memang sudah menelfon Gio dan minta maaf, walau Gio bilang tidak apa-apa, tetap saja Piolo merasa meninggalkan tanggung jawabnya.
Tok Tok!
Suara ketukan di pintu ruang VIP kakeknya membuat lamunan Piolo buyar, dia membuka pintunya dengan cepat takut kakeknya terbangun. Piolo mengernyit melihat seseorang yang ada di balik tubuh Ayah dan Ibunya.
Ayah dan Ibunya melangkah masuk bersama wanita itu, Piolo memerhatikannya wajahnya terlihat begitu familiar. Mereka berempat duduk di sofa ruangan itu.
"Maaf Minerva, saya cuma mau mastiin info ini," wanita itu menatap wajah Minerva—ibu Piolo dengan memohon.
Minerva mengangguk dan tersenyum tipis, lalu memberikan sebuah map yang Piolo tidak tahu apa isinya.
"Saya harap dengan kamu mengetahui semua ini, kamu gak akan ganggu keluarga saya Gisselle," Ayah Piolo mengatakan dengan tegas.
Piolo mengernyit, "Gisselle? Nyonya Gisselle Davila?"
Gisselle menoleh menatap Piolo, dia mengangguk, "iya saya Gisselle Davila."
"Ini kenapa?" Piolo beralih menatap Minerva dan Freddie—ayahnya.
Minerva dan Freddie saling tatap, namun kemudian Minerva mengangguk seolah mengizinkan Freddie untuk bercerita.
"Jadi begini Piolo," Freddie mulai bercerita, tangan kanannya meminta map yang ada di tangan Gisselle, "ayah dan ibu kamu dulu adalah sahabat dekat, ibu kamu punya pacar tapi hubungan mereka tidak direstui oleh kedua orang tua pacar ibu kamu karena ibumu orang miskin, dan dari hubungan itu," kalimat Freddie menggantung karena tidak sanggup bercerita lagi, dia menatap Minerva, "kamu sajalah."
Minerva menghembuskan nafasnya, Piolo masih menyimak dari tadi, "ibu dan mantan pacar ibu punya anak, kami berfikir kalau ibu sudah melahirkan cucu, mereka akan menerima ibu sebagai menantu tapi ibu salah, setelah ibu melahirkan, mereka memisahkan ibu dan lelaki itu, dua hari kemudian ibu mendapat kabar dari orang-orang kalau pacar ibu sudah menikah dengan wanita pilihan orang tuanya," Minerva mengambil nafas dan melanjutkan, "malam sebelum dia pergi ke Wolfsburg, dia memohon agar bisa merawat putra ibu dan ibu mengizinkan, dia bilang ibu bisa melihat putra ibu kapan pun ibu mau. Tapi saat ibu pergi kesana ditemani ayah kamu, orang tuanya juga datang dan bilang, kalau sekali saja ibu menemui putra ibu, mereka tidak akan menyayangi putra ibu sebagai cucu, dan mereka akan membuat anak mereka menyesal karena telah merawat putra ibu," setetes air mata Minerva turun, lalu dia menyekanya, "karena ibu tidak mau semua itu terjadi, ibu berusaha melupakan semua dan membangun hidup ibu sendiri bersama ayah kamu, ibu menikah di bulan Maret dan melahirkan kamu di bulan Desember."
Piolo tercekat mendengar cerita dari ibunya, Piolo masih berusaha mencerna semuanya, satu hal yang dia ketahui, dia memiliki saudara tiri.
"Saudara kamu lahir tanggal 10 januari 2002 dan kamu lahir tanggal 31 desember 2002," Minerva berdiri dari tempat duduknya dan duduk di samping Piolo.
"Jadi, apa semua hubungan ini sama tante Gisselle?" Piolo masih bingung dan Gisselle bukanlah keluarganya ataupun teman Ibu dan Ayahnya.
Gissele menatap Piolo, "lelaki yang disebut ibu kamu adalah Henry Davila, suami saya."
Mendengar itu, Piolo tidak dapat bergerak sama sekali, matanya mengawang, "itu berarti, Arion..."
"Iya, Arion adalah saudara tiri kamu," sambung Gisselle.
Piolo membuka map yang ada di depannya, akta kelahiran Arion.
Entah harus bagaimana Piolo sekarang, dia benar-benar kehabisan kata-kata.
-
"ARION!"
Arion yang baru saja akan masuk ke dalam kelas melihat Gio sedang berlari ke arahnya, dan dengan cepat Arion tahu apa yang akan terjadi.
Arion menghadapnya, "Gio kita ber—"
Bugh!
Pukulan keras langsung mendarat di wajah Arion tepat saat langkah besar Gio berada di depannya, Gio mencengkram kerah baju Arion dan kembali memukuli wajahnya.
"BANGSAT! BAJINGAN!" bentak Gio dengan mendorong Arion ke depan, Arion berjalan mundur, dan Gio mendekatinya seperti orang kesetanan, "LO MANUSIA LICIK!"
Wajah Arion sudah lebam, "Gio kalo lo mau berantem jangan di sekolah!" Arion berusaha menghindari pukulan dari Gio, "lo bisa lengser jadi ketua osis," ucapnya dengan pelan.
Julia yang tadinya sedang mengambil buku di lokernya terhenti melihat Gio dan Arion sedang berkelahi di tengah-tengah koridor, dia berlari untuk mendekati mereka yang sudah dikerumuni murid lain.
"GUE GAK PERDULI!" Gio kembali memukul wajah Arion yang bibirnya sudah berdarah, "GUE RELA KEHILANGAN APAPUN DEMI ALEJANDRA!" Gio mendorong Arion sampai Arion menabrak loker.
Emosi Gio memang sudah sangat di puncaknya, dia mengangkat tangannya tinggi-tinggi untuk kembali meninju Arion dengan sangat keras, namun Arion berhasil mengelak dan tinjunya mendarat di loker salah satu siswa, alhasil loker itu penyok karena pukulan Gio.
Gio mencengkram kemeja Arion lagi, "lo pengecut Arion, brengsek!" lagi-lagi pukulan keras mendarat di wajah Arion.
Kali ini Arion sudah kehabisan tenaga.
"WOY GIO!" teriak teman-temannya yang baru datang, Marcus langsung menarik kedua tangan Gio kebelakang agar Gio tidak bisa menyerang Arion.
Russel menjauhkan tubuh Gio dan Arion lalu dia mengamankan Arion, mendudukkannya di lantai, "Arion lo bisa denger gue?" tanya Russel, takut kalau gendang telinga Arion rusak karena pukulan Gio.
Arion mengangguk, namun dia tidak sanggup berkata-kata, tepat sekali Gypsy Joker berlari ke arah mereka dan Russel membantu Arion untuk berdiri.
"Blake, bawa dia ke rumah sakit," Russel memberikan Arion kepada Blake.
Blake yang terkejut melihat wajah Arion yang sudan babak belur menurut. Namun Tristan yang tidak terima berusaha memukul Russel, tapi Russel menangkalnya dan teman-teman Tristan, Joao, Fernandez bahkan Blake melarangnya.
"Heh," Dominic mendorong tubuh Blake, "cepet bawa Arion atau lo gue bikin kaya Arion juga?!"
"Dom udah," Russel menenangkannya.
Fernandez menarik tubuh Tristan dan menjauhkannya dari sana, mereka pergi untuk membawa Arion ke rumah sakit.
Kerumunan yang ramai seperti itu mengundang kepala sekolah datang dan bertanya kepada siswa saksi mata, kepala sekolah langsung menemui Gio yang tangannya masih dikunci oleh Marcus.
"Benar kamu dari berkelahi dengan Arion?" tanyanya.
Gio mengangguk dia menatap mata kepala sekolah, "saya terima konsekuensi dilengserkan dari jabatan ketua osis."
-
Alejandra diam di dalam kamarnya yang besar, lagu-lagu masih mengalun di dalam kamarnya agar tidak terasa sangat sunyi, sudah dua hari dia tidak bersekolah dan sudah dua hari juga dia mematikan ponselnya dan memerintah para penjaga gerbang rumahnya untuk melarang siapa saja masuk terkecuali Oliver dan Gemma.
Bahkan sejak sore itu Alejandra tidak bisa tidur sampai pagi, dia benar benar merasa bodoh sebagai wanita, namun yang tidak bisa dia hindari adalah sakit yang sekarang dirasakan hatinya.
Arion cinta pertamanya yang selama ini selalu dikejarnya, Alejandra benar-benar tidak percaya semua ini terjadi, dia begitu malu. Rasanya benar-benar hancur, seperti dipukul. Bagaimana bisa Arion melakukan hal seperti itu.
Membawanya kencan, memakan kue buatannya bahkan Arion menemaninya kemanapun belakangan ini, bagaimana bisa Alejandra menganggap itu semua pura-pura?
Semua terasa seperti sungguhan di dalam hatinya.
"Sayang."
Suara itu membuat Alejandra yang sedang duduk di pinggir jendela menoleh, dia tersenyum melihat Gemma muncul di depan pintu kamarnya, "mama!" peluk Alejandra saat dia sudah ada di depan Gemma.
Alejandra menangis di dalam pelukan Gemma, "aku kangen mama," ucap Alejandra.
Gemma tersenyum dan melepaskan pelukan mereka, dia menatap Alejandra lalu menghapus air matanya, "cantik mama kenapa nangis?"
Alejandra masih menangis, namun dia menggeleng.
"Mama dengar kamu gak sekolah selama dua hari ini ya? dan kamu melarang teman-teman kamu nemuin kamu," Gemma menuntunnya untuk duduk di kursi, "cerita sama mama, sayang."
"Iya," angguk Alejandra dengan sedih air matanya tidak bisa lagi terhenti, akhirnya dia bisa menceritakan beban yang dia rasa dengan seseorang, Alejandra bercerita panjang lebar dengan tersendat karena menangis, tidak satupun yang terlewat.
Gemma mengelus kepala Alejandra, "mama gak akan bilang kalau patah hati adalah hal biasa ke orang yang baru merasakan patah hati kaya kamu," ucapnya dengan lembut, "patah hati emang rasanya sakit banget, apalagi sampai dibohongin dan dipermalukan, tapi mama yakin, semua itu bakal dilalui Alejandra dengan lancar, karena dari luka itulah kita belajar bertambah kuat nak," Gemma menatap Alejandra dengan senyum hangat.
"Anak mama sekarang sudah mulai tumbuh dewasa," Gemma mencium kening Alejandra, "semua itu akan kamu rasakan begitu kamu tumbuh dewasa nak, dan mama yakin kamu pasti kuat, anak mama gak bersalah karena jatuh cinta dan gak bersalah juga karena percaya sama perasannya sampai ngilangin barang bukti," kekeh Gemma di akhir kalimatnya.
"Mama akan ada selalu untuk membela anak mama, karena mama yakin dia adalah anak yang baik, yang gak akan menyakiti atau menindas orang-orang," Gemma memegang kedua tangan Alejandra, "anak Gemma dan Bruce adalah orang cantik, berbakat dan juga baik."
Alejandra langsung menghambur kepelukan mamanya lagi dengan tersenyum sambil menangis, "makasih mama," ucapnya dengan suara yang parau, "Alejandra gak tahu bakal gimana kalau gak ada mama."
Setelah hampir setahun lamanya Alejandra merasa kesal dengan mamanya yang sibuk terus menerus, malam ini dia menyadari bahwa dia bukan lah apa-apa tampa mamanya.
Mamanya adalah malaikat yang diberikan tuhan untuk selalu menjaganya.
TBC