Chereads / He's My Son 02 / Chapter 9 - CHAPTER 07

Chapter 9 - CHAPTER 07

Bocah kecil yang berjenis kelamin perempuan itu masih terus berjalan sembari menggotong kontener yang berisi donat. Ia tidak berani pulang karena baru dapat uang sedikit. Apalagi donatnya masih banyak, tidak ada yang mau membeli. Padahal hari sudah malam, ia belum makan juga. Tetapi ia masih terus mencoba menawarkan donatnya sama orang-orang yang lewat. Siapa tahu ada yang mau membeli. Akan tetapi hasilnya sama, mereka tidak mau membelinya. Bocah kecil itu adalah Fabby Distya Pramudia, berusia 4 tahun. Ia tinggal bersama Pamannya dan Neneknya. Dari bayi Neneknya lah yang merawat dan membesarkan Febby. Ayah dan Ibunya entah kemana? Tidak ada yang tau keberadaan kedua orang tuanya Febby. Bahkan Ami dan Linkin pun tidak tau.

Ami Triningsih adalah Neneknya Febby, dan Likin Pramudia putra pertama Ami. Kakaknya Ayah Febby.

Ayahnya Febby dulu telah menghamili kekasihnya. Lalu, kekasihnya meminta bertanggung jawab. Ayah Febby menikahinya, tapi cuma nikah siri, hanya nikah agama. Setelah mereka menikah, rumah tangganya tidak ada kehangatan sama sekali, selalu ada pertengkaran. Ayah Febby berselingkuh, sering mabuk-mabukkan. Begitupun Ibunya Febby tidak mau kalah, selalu bergonta ganti pria lain. Jarang pulang juga, padahal sedang hamil. Jika pulang dalam keadaan mabuk.

Sampai hari di mana Febby lahir. Ibunya tidak mau menyusui, tidak mau merawatnya. Begitupun Ayahnya tidak peduli. Keduanya meninggalkan bayi yang tak berdosa di rumah sakit. Ayah Febby hanya memberi alamat dan nomer telpon sama perawat yang mengurus putrinya.

Perawat yang bernama Neneng ke ruang dokter untuk memberikan nomer telpon dan alamat rumah dari Ayah Febby. Lantas Dokter kandungan yang bernama Nova segera menghubungi keluarga Ayah Febby. Karena Febby lahir tidak normal. Tidak normal di karenakan Febby lahir dalam keadaan tidak sehat. Baru lahir Febby sudah memiliki penyakit, tadi setelah di bersihkan hidung Febby ngeluarin sedikit darah. Dengan cepat dokter langsung mengetes darahnya. Setelah labnya keluar, Febby memiliki penyakit kangker otak. Itu adalah perbuatan Ibunya Febby. 

Yunis Saswi dulu saat hamil tidak di jaga, tidak memakan, makanan yang sehat, tidak minum vitamin dengan teratur, tidur pun tidak cukup. Di tambah Yunis dulu sering minum yang beralkohol dan sering merokok. Orang hamil sangat di larang meminum beralkohol sama merokok, beginilah jadinya Febby lahir tidak sehat.

Hari kedua Yunis pergi ninggalin rumah sakit, kepergian Yunis tidak ada yang tau. Setelah mengetahui istrinya pergi, Ayah Febby ikut pergi dan meninggalkan not kecil di nakas dekat brangkar. Kedua Orang tuanya pergi, sama-sama tidak peduli dengan putrinya yang baru lahir. Asik dengan dunianya sendiri, sungguh tega dan kejam. Terbuat dari apa hati mereka?

Waktu itu Ami Neneknya Febby pingsan setelah mendengar penjelasan dari dokter Nova. Apa lagi Ami memiliki penyakit darah tinggi.

Jadi sampai sekarang Febby belum pernah bertemu dengan kedua orang tuanya. Sampai usianya menginjak 4 tahun Febby belum pernah melihat batang hidung Ayah dan Ibunya. Jika ia bertanya sama Nenek dan Pamannya bilang mereka sedang bekerja. Pamannya tidak mau Febby sedih dan banyak pikiran karena penyakitnya. Paman dan Neneknya sangat menyayangi Febby kecuali Bibinya istri dari Pamannya. Ia sangat membenci Febby karena penyakitan.

Jam sudah menunujkkan pukul sepuluh malam Febby masih di trotoar berusaha menawarkan donatnya kesana-kemari. Sampai ia lelah haus dan lapar, ia istirahat sebentar duduk di depan ruko.

Merasa sudah cukup beristirahat Febby beranjak ingin melanjutkan menjual donatnya. Namun, hujan tiba-tiba turun, Febby kembali kedepan ruko, ia berteduh menunggu hujan reda. Sudah satu jam hujan tidak berenti, malahan semakin deras. Ia lupa membawa payung dan jaket. Febby menggigil kedingan, ia memeluk kedua lututnya. Melihat kesana-kemari, sepi tidak ada orang, hanya dirinya yang duduk sendirian di depan ruko.

Febby merasakan ada yang keluar dari hidungnya. Darah kental keluar dari hidungnya, kepalanya juga terasa pusing. Bibirnya membiru karena kedinginan. "Ibu-Ayah tolongin Febby. Kepala Febby pusing dan sakit Ayah-Ibu," lirihnya.

Meski Febby belum pernah ketemu orang tuanya, ia selalu memanggilnya dengan sebutan Ayah dan Ibu.

Selang beberapa menit Febby sudah tidak sadarkan diri. Ia tergeletak di teras ruko. Darah kental masih terus keluar lewat hidungnya. Febby pingsan, mungkin karena hidungnya ngeluarin darah terus. Tiba-tiba ada mobil BMW berenti tepat di depan ruko. Orang yang di dalam mobil itu keluar dan terkejut siapa yang tergeletak tak sadarkan diri.  Mereka adalah dokternya Febby dan istrinya. Kedua orang tua Akmal sahabat Febby. Arfan dan istrinya belum tau jika Febby sahabat Akmal putraya. Akmal juga tidak pernah bercerita tentang Febby. Dunia memang sempit.

"Febby!! Ma dia pasien Papa ini." Kata dokter.

"Pasien Papa! kalau gitu bawa dia ke rumah sakit sekarang Pa kasihan. Bibirnya biru pasti kedinginan," ujar istrinya dokter Arfan.

Ya, dokter Arfan Suryadi yang menangani Febby sejak kecil. Orang yang selalu mendengar curahan hati Febby. Di saat Febby sedih, terpuruk, kesepian dokter Arfan selalu menghiburnya. Menyemangatinya agar tetap berjuang demi penyakitnya. Tapi dokter Arfan masih belum memberi tau penyakit Febby. Karena takut Febby sedih dan banyak pikiran.

Dokter Arfan dan istrinya menggendong Febby yang tak sadarkan diri. Lalu, di bawa masuk kedalam mobilnya dan di bawa ke rumah sakit. Sesampainya Febby segera di bawa keruang UGD untuk di tangani. Dokter Arfan menyuruh perawat membersihkan hidung dan mulut Febby yang berlumuran darah.

Di kediaman Likin Pramudia dan Ami Putiah Nenek Febby sangat cemas, karena cucunya belum pulang. Padahal hari sudah sangat larut, jam menunjukan pukul sebelas lebih. Biasanya Febby pulang paling lambat pukul sembilan sudah pulang. Likin tidak tahu jika Febby sering jualan donat. Setau Likin, Febby bermain. Yang menyuruh jualan donat istrinya Likin.

Febby mengambil donat buatan orang lalu di jual lagi. Jika Febby dapat upah dari jual donat uangnya di minta Warsiah. Padahal uangnya mau Febby buat beli obat. Seperti minggu lalu, ada seorang wanita yang memborong donatnya. Uangnya langsung di rebut sama Warsiah Bibinya.

Setelah menangani Febby, dokter Arfan menghubungi Likin Paman Febby. Likin terkejut jika Febby kembali masuk ke rumah sakit. Lantas Likin segera ke rumah sakit yang biasa Febby di rawat. Mendengar cucunya masuk rumah sakit, Ami sesenggukan dan sangat panik. Likin di buat bingung, kenapa tiba-tiba Febby kembali masuk rumah sakit? padahal setiap hari juga minum obat dengan rutin. Tidak mau membuat Ibunya semakin panik, Likin segera menuju rumah sakit.

Sesampainya di rumah sakit Likin mencari ruang Febby di mana keponakannya di rawat. Febby masih belum sadarkan diri, terbaring dengan lemas. Wajah dan bibirnya sangat pucat, tubuhnya makin tirus seperti jarang makan. Memang Febby jarang makan, sehari hanya sekali, itu juga makan siang. Pagi sama malam Febby jarang makan jika tidak ada Likin di rumah. Begitupun Ami neneknya sesama nasib dengan Febby. Sebenernya Ami ingin membawa pergi Febby dari rumah Likin, tapi Ami tidak tau harus pergi kemana?

Bingung karena tidak punya rumah selain rumah yang di tempati Likin dan istrinya.

Ami tidak tega melihat cucunya yang terus menderita. Cucunya masih sangat kecil, belum tau apa-apa, tapi kenapa harus menanggung penderitaan. Jika bocah kecil seumuran dengan Febby, mereka masih asik-asiknya bermain dengan dunianya. Bermain bersama teman-temannya. Sedangkan Febby harus keliling jualan donat agar dapat uang. Sungguh Ami sangat kecewa pada putra keduanya yang tega melantarkan putrinya. Sampai sekarang pun putranya tidak ada kabar. Entah hidup atau mati Ami tidak tahu.

Likin sangat murka setelah mendengar penjelasan dari dokter Arfan. Pingsan di depan ruko, kedinginan karena hujan. Di tambah melihat kontiner berisi donat, emosinya semakin berkobar. Selama ini dia kemana baru mengetaui jika Febby berjualan donat keliling. Sungguh malang nasib keponaknnya. Likin kecewa karena tidak bisa menjaga keponakannya dengan baik. Kenapa Febby harus menanggung semua ini? kenapa di lahirkan jika hidupnya tersiksa seperti ini? Sungguh Febby masih sangat kecil dan polos. Tapi pikirannya sudah dewasa, harus menerima karma dari kedua orang tuanya.

Jika ada mukjizat, Likin sangat berharap Febby sembuh dari penyakitnya. Ami terisak sembari mengusap puncak kepala cucunya yang belum siuman. Setelah ini Ami ingin membawa Febby pergi dari rumah Likin. Biar cucunya tidak tersiksa seperti ini.

"Febby cucu Nenek cepat sembuh ya Nak! Febby sayang Nenek kan! Ayo bangun, Febby nggak kasihan sama Nenek?"

Setelah hening beberapa detik, Febby mengerjabkan kedua matanya dan berguman memanggil Ayah-Ibunya. Mungkin ia merindukan kedua orang tuanya. Ia sangat ingin bertemu orang tuanya, mau di cari di mana? Bingung. Menghilang tanpa jejak.

"Nenek kenapa menangis?" Lirih Febby yang melihat Neneknya menangis.

"Nenek tidak menangis." Kata Ami mencoba tersenyum di depan Cucunya.

"Itu mata Nenek merah!" Ucapnya,

Febby memang tidak bisa di bohongi.

"Febby makan ya, Nenek suapin," Febby mengangguk. Dengan telaten Ami menyuapi cucunya sampai mangkoknya kosong.

"Febby jika hujan tidak boleh keluar rumah ya! diam di rumah saja. Dan jangan berjualan donat keliling lagi. Siapa yang menyuruh Febby jualan donat?" Tanya Likin dengan sehalus mungkin, agar Febby tidak takut.

Menggeleng. Febby bergumam, "tidak ada yang menyuruh Febby kok Paman. Febby hanya tidak mau merepotkan Nenek sama Paman. Febby jualan donat agar bisa membeli obat Febby dan ingin mencari Ayah sama Ibu." lirih bocah kecil yang berusia empat tahun. Ucapan Febby membuat hati Likin dan Ibunya nyeri.

"Paman apa Febby menyusahkan Paman sama Nenek? Febby menyusahkan ya, karena Febby penyakitnya. Buktinya Ayah sama Ibu membuang Febby tidak mau merawat Febby. Nenek, Paman, Febby minta maaf jika nyusahin Nenek sama Paman." Lirih Febby sembari menangis.

Tangis Ami pecah, Likin pun ikut menangis sembari menenangkan Ibunya.

Bayangkan saja, bocah kecil yang berjenis perempuan berusia 4tahun tapi pikirannya sudah melebihi orang dewasa. Mencari uang buat membeli obatnya. Jika bocah seumuran Febby di luar sana masih asik sedang bermain dengan teman-temannya. Sedangkan Febby harus bekerja cari uang sendiri hanya untuk membeli obat. Berjuang sendiri melawan penyakitnya yang belum Febby ketahui.

Febby ingin sembuh, jika sembuh, ia ingin mencari Ayah dan Ibunya.

Likin mengutuk adek lelakinya. Sungguh mereka tidak punya otak sama sekali. Tanganya terkepal erat ingin memukul adiknya yang pergi entah kemana tanpa ada kabar sama sekali. Jika mati tapi kenapa tidak ada jazadnya? Jika masih hidup tapi keapa tidak ada kabar sama sekali. Likin tidak tega melihat Febby menderita. Apa lagi melihat Ibunya yang terus termenung setiap hari. Malam, pagi, siang maupun sore selalu duduk di depan rumah menunggu putra bungsunya yang tidak pernah ada kabar. Ami menyesal sudah melahirkan putra bungsunya.

***

"Reyent abis dari mana tadi?" Tanya Stella.

"Pelgi kedoktel."

"Ngapain ke dokter?"

"Kalena mata Leyent melah."

"Mana merah Mimi lihat!"

"Sekalang sudah nggak melah lagi, hehehe."

"Good boy. little boy Mimi. Kiss Mimi." Reyent pun mencium pipi Stella.

Ya, siang ini sepulang sekolah tadi Reyent tiba-tiba merengek, menangis, mengeluh bahwa kedua matanya gatal dan merah. Stella membawanya pergi kedokter untuk berobat. Setelah pulang dari dokter, Stella meneteskan obat dari dokter. Lalu, menyuruh Reyent tidur agar cepat sembuh. Siang ini Stella mengurung Reyent tidak boleh bermain di luar dulu. Karena kedua matanya sakit. Di sinilah Ibu dan anak sedang bersantai di ruang keluarga. Stella membuat video dan mempostingnya di Instastory. Video dirinya dan putranya.

Baru beberapa menit sudah banyak yang  mengomentari. Terutama yang ngefans sama Reyent.

Kasihan Reyent ku sakit

Cepat sembuh Reyent, love you

Mata Reyent kenapa?

Reyent sakit apa? sini Onty peluk.

Masih banyak lagi komentar-komentar lainnya. Ada yang berkomentar stiker love, stiker menangis. Stella hanya tersenyum membaca komentar dari Followersnya. Ia senang banyak yang menyukai putranya. Stella membalas komentar mereka dengan kalimat terima kasih.

"Ceweknya Reyent banyak ya, hem?" Ledek Stella pada putranya.

"Nggak. Cewek Leyent cuma satu. Yaitu Mimi cewek Leyent." Ketus Reyent tidak terima di bilang ceweknya banyak.

Tersenyum, Stella kembali menggoda putranya. "Kata siapa Mimi ceweknya Reyent? Mimi kan ceweknya Pipi."

"Pipi yang bilang Mimi ceweknya Pipi sama Leyent."

"Ayo lagi ngomongin Pipi ya!" Celetuk Rey yang baru pulang dari studio. Belakangan ini Photopeolpe studionya sangat rame.

Stella dan Reyent menengok kebelakang di mana Rey melangkah menghampiri mereka yang duduk di sofa. Di tangan Rey ada plastik berisi es krim pesanan Reyent. Rey tersenyum saat melihat senyum putranya dan berlari meloncat minta gendong. Rey menunjukkan plastik yang berisi es krim.

"Ini es krim pesanan Reyent."

"Yeee Leyent boleh makan es klim lagi, telima kasih Pipi." Ucap Reyent dan mencium pipi Ayahnya. Sudah seminggu ini Reyent memang di liburkan tidak boleh makan es krim karena batuk. Stella beranjak pergi ke dapur mengambil air putih buat Rey. Kini mereka duduk di sofa sembari lihatin Reyent menikmati makan es krim rasa coklat kesukaannya. Tidak cuma es krim, ada youghet juga, cara makannya sangat menggemaskan. Reyent duduk di antara Rey dan Stella

"Tadi siapa yang pergi kedokter?" Kata Rey pura-pura tidak tau.

"Leyent Pipi. Tadi mata Leyent melah."

"Kenapa mata Reyent merah?"

"Leyent tidak tau." Ucap Reyent yang masih menikmati es krimnya. Rey mencium pipi gembul Reyent dan mengusap rambutnya. Lalu, beranjak pergi kekamar ingin mandi dan istirahat sebentar mungkin. Tapi sepertinya tidak istirahat atau mandi.

"Reyent duduk di sini dulu sama Mba Lia ya! Mimi mau nyiapin Pipi mandi!"

"He'em."

Stella meninggalkan putranya yang sibuk  menikmati es krimnya. Ia menyusul Rey yang sudah masuk kamar mereka. Stella kira Rey ingin mandi, tapi ternyata tidak. Curiga dengan senyuman Rey, Stella berenti di depan pintu. Awalnya ia ingin membantu melepas baju yang Rey kenakan. Rey mendekati Stella, merengkuh pinggulnya dan berkata, "aku lapar mau makan."

Stella tidak bisa menolaknya, ini sudah menjadi kebiasaan Rey. Jika pulang tidak mau makan sebelum memakan istrinya. Setelah menikmati tubuh istrinya Rey terlelap dengan Stella ikut terlelap di pelukan Rey karena kelelahan. Mereka terlelap nyenyak sampai sore. Hingga jam sudah menunjukan pukul setengah enam, sebentar lagi matahari pun akan terbenam.

Di bawah Reyent sudah mandi, sudah wangi dan ganteng. Sudah mengenakan Panjamas. Reyent sedang duduk di ruang keluarga bersama Lia, dia juga memangku kedua kucing kesayangannya yang bernama Mookie dan Cookie. Duduk anteng sembari mengemil buah favoritnya. Seperti biasa jika abis makan Reyent ngemil buah. Lia menyalakan  VCD kartun Doraemon. Rey memang membeli semua VCD kartun-kartun kesukaan putranya.

Kembali di kamar. Stella terbangun dari tidurnya. Ia terkejut karena hari sudah sore, dengan pelan Stella menyingkirkan tangan Rey yang melingkar di perutnya. Lalu, beranjak melangkah ke kamar mandi ingin membersihkan diri. Tidak membutuhkan waktu yang lama Stella sudah selesai dari acara mandinya. Keluar dari kamar mandi dan masuk keruang work in close. Stella berganti pakaian santai atau bisa di bilang pakaian rumah.

Setelah ganti baju dan mengeringkan rambutnya. Stella keluar meninggalkan kamar yang termaram. Karena jendela dan kurdennya ia tutup semua karena hari sudah malam. Rey masih terlelap nyenyak.

Stella menghampiri putranya yang duduk di sofa sembari mengelus kedua kucingnya. Pandangannya lurus menatap layar TV. Tidak lupa dia memakai kaca mata kusus buat menonton TV, melihat ipad atau main game di ponsel. Sengaja Rey membelinya agar kedua mata Reyent tidak mines. Stella ikut menatap TVnya. Ia hanya ber oh ria. Wajar saja Reyent sangat fokus saat menatap TV. Ternyata dia menonton Doraemon.

Stella menghampiri putranya dan bertanya, "Reyent sudah mamam belum?" Reyent mengangguk, masih fokus ke TV.

"Lanjutin nontonnya ya! Mimi masak buat Pipi dulu."

Kembali Reyent mengangguk, "He'em."

Stella kedapur menanyakan masih ada bahan apa yang mau di masak. Darwati lantas mengeceknya. Stella bingung mau masak apa buat Rey makan malam. Lama memilah-milih sayur, akhirnya Stella memutuskan memasak nasi goreng seafood ala korea. Nasi seafood dan telur mata sapi pun sudah tersaji di meja makan. Stella menyuruh Reyent membangunkan Rey. Jika ia yang membangunkan Rey pasti akan menggodanya lagi.

Menurut. Reyent pun lari ke lantai atas, masuk kamar Pipi-Miminya. Dia berteriak memanggil Rey, menarik-narik selimutnya yang langsung di tarik kembali sama Rey. Masalahnya Rey masih belum mengenakan pakaian setelah bercinta dengan Stella berulang kali tadi.

"Pipi! Pipi bangun ini sudah pagi. Ayo bangun, di suluh Mimi mamam. Ayo Pipi cepat bangun mandi. Leyent juga sudah mandi." Oceh Reyent membangunkan Rey.

Rey lantas menarik dan memeluk putranya yang menggagu tidurnya. Reyent berontak mencoba lepas dari cekalan Rey. "Pipi masih bau, Leyent kan sudah mandi. Sudah ganteng dan wangi. Pipi nggak boleh peluk Leyent kalau belum mandi." Geruru Reyent.

Gemas dengan gerutuan Reyent, Rey mengelitiki perut putranya. Sampai Reyent ketawa cekikikan karena geli. "Ampun Pipi, ampun geli, geli hahaha. Mimi, Pipi nakal."

"Reyent juga nakal. Ganggu Pipi" Ucap Rey nggak mau kalah.

"Enggak. Enggak. Pipi yang nakal." Rengek Reyent. Rey di buat semakin gemas dan semakin mempererat pelukannya. Reyent cekikikan saat Rey kembali mengelitiki perutnya. Rey pura-pura tidur.

Pintu terbuka, masuklah Stella. "Reyent katanya bangunin Pipi! Kok malah ikut tiduran."

"Pipi. Mimi. Pipi nakal gelitikin Leyent. Telus Leyent di peluk-peluk. Pipi pemalas tidak mau bangun." Adu Reyent sama Stella.

Stella hanya menggeleng, "ya sudah Reyent lanjutin ngemil fruitsnya."

Mengangguk. Reyent beranjak dan turun setelah lepas dari bekapan Rey. Saat Rey ingin menarik Stella, Stella buru-buru keluar kamar sembari menggandeng tangan Reyent. Meski malas Rey bangun dan membersihkan diri.

"Mimi, telpone Tati, Mimi. Suluh Tati kesini. Suluh tinggal sama kita."

"Iya nanti telpon Tati suruh datang kesini bobo sama Reyent ya?"

Reyent mengangguk. "He'em. Telpone sekarang Mimi!"

"Iya nanti Mimi telpone Tati, sekarang lanjutin nonton Doraemonnya. Anggurnya mau nambah lagi?" Kembali Reyent mengangguk minta tambah buah anggur. Lalu, di makan sembari menyuapi kedua kucingnya yang ngiong-ngiong. Reyent orangnya cerdik dan pintar, bukan pintar soal pelajaran bukan. Tetapi pintar otaknya, seperti anggur maupun mangga jika asam dia tidak makan. Tidak bisa di bohongi. Jika mau dia mau, jika tidak mau dia tidak mau. Reyent tidak bisa di paksa. Meski dia baru 5tahun tapi sudah seperti orang dewasa. Di sini lah dia duduk di sofa sembari mengengemil buah.

Buah anggur dan pisang itu kesukaannya. Kadang dia tidak makan nasi, hanya memakan buah saja. Kedua matanya tanpa kedip saat melihat Doraemon mengeluarkan sesuatu dari kantong ajaibnya. Reyent sering mencontoh Doraemon jika mengenakan kostumnya. Dia yang menjadi Doraemon,  Jayden yang jadi Sonio, Vita yang jadi Nobita, dan satu lagi Jarold yang jadi Jayen. Mereka semua anak-anak yang lucu.

__________________

Bersambung.

Terima kasih sudah mau membaca

Semoga suka dengan part ini.

Saranghae 🥰

Monday, 25 January 2021

It's Me Rera