About Febby.
Typo bertebaran.
PLAK
Ami menampar Putia, ia tidak terima cucunya dianiaya. Apa lagi Febby sedang sakit. Ami sangat marah saat menyaksikan langsung di depan matanya. Tadinya Ami sempat tidak percaya, mengabaikan info dari tetangganya jika menantunya selalu menyiksa cucunya. Ternyata benar apa kata tetangga sebelah rumahnya. Putia sangat kejam, memperlakukan Febby seperti binatang.
Ami juga sudah mendengar jika Putia yang sering menyuruh Febby berjualan donat. Orang yang membuat donat, di kira Ami mengetauinya jika Febby berjualan. Ami tak abis pikir dengan perlakuan menantunya. Benar-benar tidak ada hati sama sekali. Entah hatinya terbuat dari apa?
Sungguh Febby masih sangat kecil, di suruh mengerjakan pekerjaan rumah dan berjualan donat. Seharusnya seusia Febby bersekolah, belajar dan bermain dengan teman-temannya. Beda dengan Febby yang harus menderita. Dari pertama lahir hidup Febby sudah menderita. Sungguh malang nasibnya.
"Jadi selama ini kamu memperlakukan cucuku seperti binatang, hah! Harusnya kamu mikir dirimu itu siapa? Masih untung putra saya tidak meninggalkan mu karena kamu mandul tidak bisa hamil. Sombong sekali kamu. Ini lah kenapa Tuhan tidak segera memberi mu keajaiban untuk mengandung? Karena apa? Karena kamu tidak layak untuk di beri keturunan." Papar Ami begitu murka. "Perempuan mandul saja sombong." Ucap Ami lagi sebelum menggendong Febby.
Putia tersinggung dengan ucapan Ami, dengan berani Putia menarik tangan Ami dan menamparnya.
PLAK
"JANGAN PUKUL NENEK FEBBY. HIKZ HIKZ HIKZ. BIBI JAHAT BIBI JAHAT." Teriak Febby sembari menangis histeris..
Ami terkejut dengan sikap Putia yang begitu berani. Ia tersenyum meremehkan dan berkata, "kedua mata putra ku telah buta karena cinta. Wanita seperti ini kah yang di dambakan dari dulu! Aku harap Likin cepat sadar dengan sikap buruk mu itu Putia. Saya adalah orang tua Likin, Ibunya dan kau siapa? Hah! Menantu yang berani menampar mertua!" Kata Ami penuh penekanan.
Ami menggendong Febby, melangkah ke pintu ingin keluar. Sebelum melewati pintu keluar, Ami kembali berkata, "suatu saat Tuhan pasti akan membalas kejahatan mu terhadap cucu ku, camkan itu putia." Ucap Ami melangkah keluar. Sakit rasanya, nyeri jika harus pergi dari rumah sendiri. Ami hanya ingin menyelamatkan cucu satu-satunya. Dari lahir Febby sudah memderita, Ami tidak mau cucunya terus-terusan menderita. Di tambah penyakitnya yang semakin parah. Ami tidak tau dengan cara apa lagi supaya cucunya lepas dari penyakitnya. Yang Ami inginkan Febby cepat sembuh, biar tidak merasakan sakit terus. Hatinya pun ikut sakit.
Keputusan Ami sudah bulat ingin meninggalkan rumahnya. Memang itu rumah buat Likin putra sulungnya. Soal menantunya biarkan saja, biar Likin sadar sendiri. Membuka kedua matanya.
Ami tidak peduli walau di luar sedang hujan rintik-rintik. Yang penting Ami ingin pergi bersama cucunya. Entah mau kemana Ami tidak ada tujuan. Berjalan terus di trotroar sembari menggendong cucunya.
"Nenek kita mau kemana?"
"Kita mau pergi nak, kita tidak tinggal di rumah Nenek lagi. Bibi jahat sama Febby. Febby kenapa tidak pernah bilang kalau Bibi Putia jahat sama Febby, hem?"
"Bibi bilang nggak boleh bilang, nanti Febby tidak di kasih makan kalau bilang Nenek sama Paman." Cicit Febby.
Tiba-tiba kepala Ami pusing, jika terkena air hujan Ami selalu pusing. Ami pergi tidak membawa apa-apa, baju pun tidak. Hanya baju yang ia pakai, bahkan uang pun Ami tidak membawa banyak.
"Nenek Febby lapal."
"Kita cari makan dulu ya!" Kata Ami menahan kepalanya yang semakin pusing. Ami masuk ke toko roti atau Bread tall. Membeli roti buat Febby makan. Jika membeli nasi takutnya uang yang di bawa tidak cukup. Ami berencana mau membeli baju buat Febby. Febby tidak tau bahwa bread talk ini milik orang yang ia temui tempo hari. Orang yang memborong donatnya agar uangnya buat membeli obat. Tetapi orang itu tidak ada, hanya ada dua orang paruh baya.
Ami membeli tiga bungkus roti rasa coklat, dan satu sandwich. Tidak lupa membeli air putih. Febby memakan rotinya yang rasa coklat. Ami mengalah tidak makan, yang terpenting cucunya tidak lapar lagi. Ami menangis mengamati cucunya yang sengsara. Jika tidak ada dirinya, siapa yang mengurus cucunya?
Di rumah Likin tidak mungkin karena Putia sangat jahat. Ami tidak akan membiarkan cucunya kembali kerumah Likin.
Ami menangis dalam hati, menangisi nasib cucunya. Ami benar-benar kecewa sama putra keduanya, Ayah kandung Febby. Sampai sekarang belum ada kabar sama sekali. Entah berada di mana Ami tidak tau. Sungguh malang nasib cucunya, terlahir yang tidak di inginkan oleh kedua orang tuanya. Dah gitu sakit juga. Kedua mata Ami berlinangan air mata. Ami punya firasat jika cucunya tidak bisa sembuh, cucunya akan semakin sakit.
"Nenek kenapa menangis?"
"Tidak, Tidak, Nenek tidak menangis. Ayo abiskan rotinya terus minum, abis itu kita jalan lagi."
"Iya Nek. Nenek kalau kita pelgi gimana dengan Kak Akmal. Pasti nyaliin Febby. Kak Amal yang selalu bantu Febby jualan donat Nek." Kata Febby yang mengingat Akmal.
"Febby tau rumah Akmal di mana?"
"Tidak tau, Kak Akmal belum pelnah mengajak Febby main kelumahnya." Ucap Febby sedih.
"Tidak apa-apa Febby jangan sedih. Kalau Tuhan sayang Febby pasti Febby jumpa Kak Amal lagi."
Febby mengangguk. Dan mengabiskan rotinya. Setelah Roti abis, Ami kembali berjalan. Jam sudah menunjukan pukul lima sore, Ami masih terus berjalan tanpa arah. Bahwa mereka berada di kota, jauh dari rumahnya. Ami merasakan tubuhnya lemas, kepalanya pusing dan sakit. Kedua matanya berkunang-kunang. Dari pagi Ami belum makan, punya makanan hanyak untuk Febby cucunya.
Kepala Ami semakin berat, pusing dan sakit. Tubuhnya gemetar. Tangannya berkeringat dingin. Gemetar bukan karena lapar, berkeringat dingin juga bukan karena lapar. Tapi Ami memiliki penyakit Lemah jantung. Sudah tua pasti banyak penyakitnya. Darah tinggi juga. Ami tidak sanggup melajutkan jalannya. Ami berhenti, diam dan jatuh begitu saja. Febby berteriak melihat Neneknya ambruk di tanah. Febby menangis histeris.
Di kediaman Likin, terjadi keributan antara Likin dan Putia. Sejak pulang kerja Likin tidak melihat Ibu dan keponakannya. Sampai dini hari tidak ada kabar Ibunya. Saat Likin keluar ingin mencari Ibunya. Tetangga sebelah memberi tau Likin, Ibunya pergi karena Putia. Tetangganya menceritakan tentang kejadian tadi siang. Likin mengetatkan rahangnya.
Ternyata di balik kebaikan dan senyuman Putia itu hanya palsu. Hatinya busuk. Harusnya dia mikir dirinya itu siapa? Kenapa sewena-wena memperlakukan Ibu dan keponakannya. Sekarang berada dimana mereka! di luar sedang hujan.
"PUTIA!!!" Teriak Likin begitu murka setelah mendengar info dari tetangganya.
"CARI KEPONAKAN SAMA IBU KU SEKARANG JUGA, AKU YAKIN INI SEMUA KARENA KAMU." Tutur Likin begitu emosi. Likin kecewa sama Putia karena baru mengetahui kejahatan istrinya. Padahal Likin sudah sabar dan setia. Menerimanya dengan apa adanya. Meski Putia mandul tidak bisa memberikan buah hati, Likin tetap sabar dan setia bersamanya. Namun, Putia menghianati kesetiaan dan kepercayaannya.
Putia membantah, tidak mau mencarinya. Dada Likin bergemuruh, darahnya mendidih, wajahnya berubah dingin, rahangnya mengeras, dia sangat murka.
"Aku sangat menyesal telah menikahi wanita tidak punya hati. Harusnya kamu malu. Beruntung aku tetap bertahan sama kamu. Tapi apa balasan kamu hah? Menyiksa ponakan ku. Otak dan hati kamu terbuat dari apa Putia? Febby masih 4 tahun sudah kamu suruh ini dan itu. Apa memang otak kamu sudah rusak. Wajar saja Tuhan tidak memberimu anak. Karena kelakuan kamu seperti BIADAP. SEKARANG TERSERAH KAMU. AKU SUDAH TALAK KAMU. Tunggu surat dari pengacara ku datang." Papar Likin begitu murka.
Likin sudah pusing dengan pencarian adiknya yang belum di temukan. Dia berusaha mencari adiknya demi Ami Ibunya yang selalu melamun memikirkan putra bungsunya. Namun, belum ada tanda-tanda keberadaan adeknya. Di tambah penyakit keponakannya semakin menyebar ke organ lainnya. Likin benar-benar pusing. Kepalanya rasanya seperti mau pecah.
Putia beranjak dan menghampiri Likin. Ia menolak atas ucapan Likin barusan. Putia menyesal, ia minta maaf. Ia bilang khilaf telah menampar Ibunya. Likin sudah terlanjur kecewa, seumur hidupnya Likin tidak pernah menamparnya atau menyakitinya. Berani sekali Putia menyakiti Ibunya. Likin tidak terima, dia tetap dengan keputusanya.
"Mas maafkan aku!" Kata Putia sembari menangis terisak.
"Keputusan ku sudah bulat Putia. AKU MENCERAIKAN KAMU. SEKARANG KAMU BOLEH PERGI, BAWA SEMUA BARANG-BARANG MU!"
Deg
Deg
"Apa Cerai?!" Gumamnya, air matanya bercucuran. Air mata buaya.
Likin keluar meninggalkan Putia yang terduduk sembari menangis. Menaiki motornya, dia mau mencari Ibu dan keponakannya. Cuaca di luar sedang buruk, tadi hanya hujan rintik-rintik. Kini menjadi hujan lebat, di tambah angin besar, dan suara petir.
Menaiki motor, pikiran kacau. Memikirkan istrinya, Ibunya, keponakannya dan satu lagi adeknya yang tidak pernah pulang-pulang. Likin bener-bener kacau pikirannya campur aduk. Sampai tidak menyadari di depan ada sebuah truk memuat kayu. Likin bingung mau belok kearah mana?
Likin terjepit, jika kekiri ada sebuah truk. Jika kekanan ada tumpukan bata di bawah pohon. Likin mencoba ingin menyelip di antara truk dan sidan. Akan tetapi setang motor Likin menyerempet truk. Rem motor Likin blong dan oleng, terseret oleh truk.
Brakk
Brakk
Brakk
Terjadilah kecelakan maut, dan naas menimpa Likin. Hujan masih lebat. Kepala bagian belakang Likin terluka. Likin sempat sadar bergumam menyebut Ibunya.
"I-Ibu, Fe-Febby, ka-kkali-an d-dimana?" Setelah mengatakan itu, Likin tak sadarkan diri. Tergeletak di trotoar, basah kuyup terguyur air hujan bercampur darah yang mengalir dari belakang kepalanya. Seorang supir truk memeriksa nadi Likin. Supir truk itu tidak apa-apa hanya lecet sedikit.
***
Bocah kecil masih berusia 4 tahun kenapa harus menerima cobaan bertubi-tubi? Kehancuran telah menimpa keluarganya. Kenapa harus Febby? Bocah kecil yang imut harus menerima penderitaan ini semua. Tidak ada orang yang buat mengeluh. Orang satu-satunya yang Febby miliki, yang menyayangi Febby, mengurusnya dari lahir, kini telah tiada. Ya, Ami telah meninggal. Tadi ia merasakan pusing dan sakit di bagian kepalanya. Ami tiba-tiba ambruk tak sadarkan diri.
Setelah di tolong orang dan di bawa ke rumah sakit, Ami sudah tak sadarkan diri. Dokter mengatakan Ami kena serangan jantung. Di tambah darah tinggi, tidak segera di tangani. Ami selalu menahan jika emosi. Maka dari itu darahnya semakin tinggi atau Hipertensi.
Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah kondisi ketika tekanan darah di 130/80 mmHg atau lebih. Jika tidak segera ditangani, hipertensi bisa menyebabkan munculnya penyakit-penyakit serius yang mengancam nyawa. Seperti gagal jantung, penyakit ginjal, dan stroke.
Ami tidak pernah periksa ke dokter, untuk memeriksakan tekanan darahnya. Maka saat kambuh Ami terkena serangan jantung dan mengakibatkan terenggut nyawanya.
Bersamaan itu Likin Pramudia putra sulung Ami di larikan ke rumah sakit karena kecelakaan. Di rumah sakit yang sama. Di ruang yang sama, ranjang mereka bersebelahan. Tapi ada korden buat penyekat. Febby menangis histeris, berteriak memanggil Ami Neneknya. Ia takut, takut terjadi sesuatu dengan Neneknya. Febby belum tau jika Ami sudah meninggal di tempat kejadian tadi. Dokter memeriksa hanya memastikan Ami sakit apa.
Dokter Arkan yang selalu menangani Febby terkejut melihat Febby menangis histeris. Arkan menghampirinya dan bertanya sama orang yang menolong Febby. Febby teriak-teriak memanggil Neneknya.
"Febby!" Panggil Dokter Arkan. Lalu, mengambil sapu tangan di sakunya untuk mengusap hidung Febby yang ngeluarin darah. Wajah Febby terlihat pucat, kepalanya terasa pusing, bibir pucat, badannya sedikit demam. Apa lagi tadi terkena air hujan. Dokter Arkan menggendong Febby, di bawa ke ruang perawatan untuk di periksa. Setelah Febby tenang dan tidur, dokter Arkan keluar menemui orang yang menolong Febby tadi. Menayakan apa yang terjadi?
Orang itu menjelaskan apa yang terjadi. Ia menemukan sudah tak sadarkan diri. Saat Febby meminta pertolongan. Orang itu adalah Nurti, pemilik toko roti yang Ami singgahi sebelum jatuh pingsan.
"Anda mengenal beliau dokter?" Tanya Nurti.
"Iya saya mengenalnya. Tadi Febby adalah pasien saya. Terima kasih sudah menolong Febby dan Neneknya."
"Sama-sama dokter, kalau begitu saya permisi." Dokter Arkan mengangguk. Nurti pun pamit undur diri.
Setelah kepergian Nurti, Arkan masuk keruang di mana Ami terbujur kaku. Lalu, ke ranjang sebelah dan di buka kain yang menutup wajahnya. Lagi, Arkan benar-benar di buat terkejut. Ikut merasakan terpukul apa yang di lihatnya hari ini. Kedua orang penting bagi Febby atau wali Febby kini telah pergi untuk selamanya. Bagai mana nasib Febby selanjutnya?
Febby sudah tidak punya siapa-siapa lagi, selain Ami dan Likin. Sedangkan penyakit Febby semakin menyebar, semakin parah. Dokter Arkan ikut prihatin, pusing melihat penderitaan Febby. Dokter Arkan tidak tega melihat Febby hancur seperti ini. Dia masih sangat kecil, tapi harus menerima penderitaan seperti ini. Apa kah karena ini dosa kedua orang tuanya? Jadi Febby harus menanggungnya!
Dokter Arkan mengingat percakapan Febby dengan dirinya dulu saat pertama memeriksanya. Febby berkata yang membuat hati Dokter Arkan nyeri.
"Di mana Ibu dan Ayahmu?!"
"Doktel, aku tidak punya Ibu. Aku juga tidak punya Ayah. Meleka membuang ku doktel. Febby tinggal belsama Nenek dan Paman. Apa kalena Febby sakit tidak bisa sembuh, lalu Ayah sama Ibu membuang Febby. Kenapa Febby di lahirkan jika Ayah sama Ibu membuang Febby. Febby ingin beltemu meleka, Febby kangen Ibu sama Ayah."
Tiba-tiba air mata dokter Arkan belinangan. Tidak tega melihat Febby menderita karen kehancuran keluarganya. Kenapa Febby jadi korbannya? Bocah kecil yang tidak tau apa-apa. Dokter Arkan memutuskan ingin merawat Febby. Dan mau menanggung jawab jasad Ami dan Likin.
Ibu dan anak meninggal di hari yang sama, di jam yang sama. Rumah sakit yang sama. Hanya tempat kejadiannya yang berbeda. Seolah ini sudah di atur semuanya.
Dokter Arkan meminta bawahannya untuk mengurus kepulangan jasad Ami dan jasad Likin. Semua biaya dokter Arkan yang menanggungnya. Lalu, dokter Arkan menghubungi istrinya untuk datang ke rumah sakit menemani Febby.
Kedua jasad sudah di dalam ambulance, siap di antar pulang kerumahnya. Rumah Likin sendiri. Ralat, rumah Ami bukan rumah Likin. Likin lah yang menumpang di rumah Ibunya.
Saat ambulance berenti di depan rumah Ami, para tetangga keluar melihat apa yang terjadi! Kenapa ada dua ambulance?
Mereka terkejut saat kedua jasad di keluarkan dari dalam ambulance. Baru sore tadi Likin berbincang sama tetangga sebelah rumahnya. Malam ini ia melihat Likin sudah terbujur kaku tak sadarkan diri. Apa ini mimpi? Tidak ini nyata.
Putia berteriak menumbruk Likin, tubuhnya di guncang-guncang. Memanggil namanya. Tetangga tidak peduli dengan Putia karena ia orang jahat. Jasad Likin dan Ami di letakan bersebelahan, di makamkan setelah Febby sadar dari pingsannya. Agar Febby melihat Nenek dan Pamannya untuk terakhir kalinya.
Pagi harinya di rumah sakit Febby terbangun dari tidurnya. Ia mencari Ami di mana? Menangis sembari berteriak-teriak. Istri dokter Arkan mencoba menenangkannya. Meski Febby masih kecil, tapi ia sudah tau semuanya tidak bisa di bohongi. Pikirannya sudah seperti orang dewasa.
"Febby mau Nenek, Febby mau pulang. Kasihan Nenek nanti di pukul Bibi lagi. Febby mau pulang. Tolongin Febby Tante, tolongin Nenek. Sembuhin Nenek lagi sakit."
Istri dokter Arkan tidak tega melihatnya, ikut sedih melihat Febby menangis histsris.
"Iya nanti kita pulang ya nak. Sekarang makan dulu!"
"Nggak mau, Febby mau Nenek. Febby sayang Nenek." Sakit rasanya melihat Febby hancur begini.
Dokter Arkan pun membawa Febby pulang untuk melihat Nenek dan Pamannya. Saat mau masuk Febby melihat Putia di dekat jasad Nenek dan Pamannya.
"Jangan, jangan pukul Nenek Febby. Jangan dekat-dekat Nenek Febby. Bibi jahat. Jahat sama Febby juga. Pasti Nenek sakit gala-gala Bibi."
Orang-orang yang melayat terkejut mendengar ocehan Febby. Seketika pandangan mereka tertuju pada Putia. Putia menunduk merasa bersalah.
Febby menghampirinya dan mendorong Putia. Febby menangis sembari memeluk Neneknya. Ami sudah seperti Ibu bagi Febby. Lalu, beralih memeluk Likin Pamannya.
Febby bergumam, "Nenek bangun, jangan tinggalin Febby. Kenapa Nenek tidul telus bangun Nenek! Paman bangun, kenapa Nenek sama Paman tidul lama? Bangun Nenek, Paman, hikz hikz hikz. Tante tolong bangunin Nenek sama Paman Febby." Hidung Febby ngeluarin darah lagi, badannya pun masih demam. Istri dokter Arkan membersihkan hidungnya dengan tisu. Memberinya minum air putih. Jasad Ami dan Likin di kermasi, segera akan di makamkan.
Saat jasad Likin dan Ami ingin di masukkan ke ambulance, Febby semakin histeris, berteriak minta di turunkan. Nenek sama Pamannya tidak boleh di masukkan ke ambulance. Kata Febby jika Ami dan Likin pergi Febby bersama siapa?
Lama menangis, hidungnya keluar darah terus, Febby kembali pingsan di gendongan istri dokter Arkan.
Kini kedua ambulance melaju kepemakaman umum. Mengantar jasad Likin dan Ami keperistirahatan yang terakhir. Orang-orang masih tidak percaya dengan musibah yang menimpa Ami dan putranya. Mereka terkenal orang baik. Baik dengan semua tetangganya.
Febby sudah di tinggal Ayah-Ibunya. Kini Febby di tinggal Nenek dan Pamannya. Bagai mana kehidupan Febby selanjutnya?
Apakah penyakit Febby bisa sembuh?
Malang sekali hidupnya Febby. Semoga Tuhan selalu bersamanya. Gumam Qonik tetangga sebelah Rumah Ami.
Para tetangga berencana ingin mengasuh Febby. Namun, tidak boleh dokter Arkan dan istrinya yang ingin mengasuh Febby. Apa lagi dokter Arkan memiliki seorang putra, bisa jadi teman mainnya. Padahal Febby sudah berteman dengan putranya. Tapi Febby belum tau jika Akmal putranya dokter Arkan.
TBC.
Terima kasih sudah mau membaca, vote & komen.
Semoga suka dengan part ini, maaf jika sad ya! Ini sudah alurnya seperti ini.
OK, see you next part .
Saranghae 😍🤗😘
Sunday, 14 March 2021
9:43AM
It's Me Rera