Untuk kedua kalinya Navy membanting pintu kamar dengan keras. Dan lagi-lagi ia juga mengunci pintu kamarnya rapat, supaya tidak ada orang yang masuk ke kamarnya tanpa izin.
Keringat dingin membanjiri wajah Navy, ringisan dan erangan kesakitan terdengar begitu nyaring memenuhi sudut kamar yang hening.
Tangan kanannya mencengkram kuat dada sebelah kiri, tepat dimana rasa sakitnya berada. Bahkan tanpa sadar lelehan air mata terus berjatuhan menandakan bahwa sakit yang tengah ia alami begitu sangat menyakitkan.
"Sshh.. Gue mohon, jangan kayak gini," lirih Navy. Tangan yang mencengkram dada kirinya pun ia gunakan untuk memukul sumber rasa sakit yang tengah menghujamnya.
Wajah Navy memerah, di tambah urat-urat di sekitaran leher Navy tampak menyembul. Giginya ia gertakan, menahan rasa sakit yang semakin menjadi-jadi menyiksa tubuh ringkihnya.
Tubuh yang semula merosot di atas lantai, ia gerakan menuju nakas, tempat biasa ia menyimpan obat-obatan.
Kakinya tidak sanggup untuk diajak berdiri, sehingga yang Navy lakukan adalah bergerak dalam keadaan ngesot di atas lantai tak lupa keringat dingin yang terus-terusan menetes kemudian jatuh di atas lantai yang begitu dingin.
"O-obat," ucap Navy tersendat. Bagian putih matanya memerah dengan pandangan yang terus tertuju ke depan dimana nakas miliknya berada.
Hanya tinggal 50 Cm lagi jarak Navy dengan nakas. Tiba-tiba tubuh tak bertenaga Navy ambruk. Navy tidak pingsan, hanya saja tubuhnya terasa mati rasa untuk kembali di gerakan. sehingga yang Navy lakukan hanya terlentang beralaskan lantai dengan nafas terengah dan organ jantungnya yang semakin berdenyut menyakitkan.
Jujur saja serangan yang begitu menyakitkan ini pertama kalinya Navy dapatkan. Serangan dimana mampu membuat ia ingin sekali menyerah dan membiarkan nyawanya di cabut saja. Jika dulu ketika penyakit jantungnya kambuh, ia masih bisa mengatasi itu semua. Tapi sekarang, rasanya membuka mata saja sangat sukar ia lakukan. Apalagi kini jalur pernafasan nya seperti menyempit sehingga menimbulkan suara mengik.
"Hah--Sshh.. Arghh.. Bu-Bunda, A-appa, to-tolong i-i-ini sakit se-sekali hiks.." isakan Di tengah rasa sakit itu akhirnya pecah sudah. Navy tidak tahan lagi, dan kali ini Navy akan membiarkan semesta mengetahui seberapa tidak berdaya dan seberapa menyedihkannya ia sekarang.
"Ya Allah.. Jika ini adalah hari terakhir hamba berada di dunia. Maka biarkan hamba memberi pesan sebentar kepada orang yang hamba sayangi ya Allah.. Meskipun hanya satu menit saja," mohon Navy dalam hati.
Nyatanya teriakan Demi di taman belakang tadi berefek cukup besar pada kondisi jantungnya. Navy pun sampai tak mengerti, jika di Taman belakang ia masih bisa menahan rasa sakit yang ia rasakan, namun saat sampai di kamar jantungnya malah membuat ia kepayahan.
Apakah mungkin ini sudah batas akhirnya? Apakah mungkin jantungnya sudah lelah untuk di ajak kerja sama?
Miris sekali, jantung yang berada di dalam tubuh yang nyatanya bukan miliknya itu kini sudah mencapai puncak akhir. Dan mungkin saja ini adalah hari terakhir Navy menyapa dunia.
Rasanya Navy ingin sekali tertawa kencang. Jika apa yang ia pikirkan ternyata benar, seharusnya ia senang 'kan? Karena permohonan agar bisa cepat mati akan terealisasikan? Tapi ada beberapa hal yang Navy sayangkan. Ia belum bisa membanggakan kedua orang tuanya, ia selalu membuat kelima kakaknya kesal akan tingkahnya, dia belum mengunjungi rumah Enin dan Aki di Tasik dan yang paling penting, selama ia menjadi Fanboy lebih tepatnya ARMY dan EXO-L ia belum pernah bertemu langsung dengan member kedua boygroup itu.
Terbesit di dalam pikirannya, jikalau ia tiada. Apakah semua orang akan menangisinya? Merasa kehilangan atas kepergiaannya? Atau merasa hampa tanpa sosoknya? Lalu apakah di dalam liang lahat nanti ia akan kedinginan atau malah siksaan lah yang siap ia dapatkan? Mengingat jika dosa nya di dunia begitu banyak. Membuat Navy kembali menjatuhkan air matanya. Saat ini manusia yang selalu terlihat ceria itu kini tidak bisa bertindak apa-apa. Ia pasrah akan takdir hidupnya yang sudah di atur oleh Tuhan yang maha esa.
Saking sibuknya memikirkan nasib hidupnya. Navy baru tersadar jika rasa sakit yang ia rasakan di dada kirinya sudah menghilang, bahkan rasa sesak pun sudah tak ia rasakan.
Apakah Allah mengabulkan doanya tadi? Sungguh kuasa Allah memang tidak ada yang dapat menandingi. DIA adalah penguasa jagat raya beserta seisinya. Sehingga Navy yang menyadari itu tidak akan pernah menyia-menyiakan kesempatan yang telah Tuhan berikan.
Seolah tidak merasakan sakit apapun, Navy segera beranjak dari posisi terlentangnya badan yang semula melemah tampak segar bugar, terlihat sehat tanpa rona pucat. Subhanallah sekali kuasa Allah ini.
Dengan gesit, Navy menyambar kertas beserta pulpen dan berjalan tergesa menuju balkon kamarnya. Saat sampai disana ia menghirup udara segar begitu rakus. Seakan ia tidak akan pernah mendapatkannya lagi. tanpa membuang waktu begitu banyak, tangan kanan Navy kini bergerak lincah menulis rapih di atas kertas. Entah apa isi di dalam kertas dengan ornamen burung origami sebagai bingkainya, hanya Navy dan Tuhan saja lah yang tau.
Beberapa saat kemudian saat Navy hendak melipat kertas itu, lagi dan lagi rasa sakit di jantungnya kembali datang. Refleks Tangan kanannya memegang dada kiri membiarkan kertas serta pulpen yang ia pegang jatuh ke atas lantai, dan kalau Navy boleh jujur intensitas rasa sakitnya melebihi yang tadi.
Tubuh Navy membungkuk ke bawah dengan tangan kiri yang mencengkram tralis besi Balkon. Saking fokusnya Navy berusaha menetralkan rasa sakit. Remaja itu tidak menyadari jika di sudut lain, baut yang membuat tralis besi terhubung dengan tembok terlepas dari tempatnya. Dan yang terjadi setelahnya adalah tralis besi itu terlepas dari tembok. Hingga...
Krek..
Trak..
Brughh..
****
Demi menunduk setelah ia selesai merampungkan ceritanya. Tangan yang ia simpan di atas lutut terkepal kuat ketika mendengar isakan tangis Mona yang begitu nyaring.
Sesekali wanita paruh baya itu menggumamkan nama putra bungsunya begitu lirih. Di sampingnya Vano setia menenangkan Bundanya yang begitu terpukul atas pemaparan Demi. Bukan hanya Mona saja yang terpukul tapi Vano dan Dami pun sama.
Bahkan Dami yang terkenal tenang kini tengah berjalan mondar mandir sembari menunggu jawaban dari kontak yang ia panggil. Menggeram pelan kala sambungannya malah disahuti oleh suara operator. Namun Dami tidak menyerah begitu saja ia kembali mendial nomor sang ayah. Dengan maksud agar sang ayah segera pulang, guna membicarakan permasalan yang begitu serius ini. Gavin dan Gevan pun sudah Dami telepon, dan sekarang kedua kakak kembarnya tengah berada di perjalanan pulang.
"Kenapa hiks.. Kenapa adek nyembunyiin ini semua dari kita hiks kenapa? Vizan bil--"
"--Navy dan Dokter Vizan bekerja sama menutupi penyakit Navy yang sesungguhnya Ma. Lebih tepatnya Navy yang memaksa Dokter Vizan agar merahasiakan kebenaran akan penyakitnya," potong dan Jelas Demi. Iya, beberapa saat yang lalu. Demi baru saja selesai menuturkan mengenai alasan di balik teriakan nya tadi tanpa terkecuali. Termasuk penyakit Navy yang sesungguhnya dan juga kesalahpahaman Navy terhadap Vano. Itulah alasan di balik Mona yang kini menangis tersedu.
"seb--"
Brughh..
Mulut Vano yang sudah terbuka hendak bersuara pun langsung terkatup rapat, saat indra rungunya bahkan indra rungu Bundanya, Dami dan Demi mendengar suara benda yang jatuh dari atas tepat di taman depan rumah mereka.
Saling melemparkan tatapan penuh tanya, akhirnya mereka berempat pun memutuskan untuk menghampiri asal dari sumber suara. Dengan Mona yang di rengkuh Vano dengan erat, entahlah perasaan Vano mendadak tak enak sekarang.
Pintu rumah terbuka, dan dengan perasaan yang tak karuan Mona, Dami, Demi dan Vano berjalan semakin mendekati taman depan. Dan dikala netra mereka menangkap sesosok tubuh manusia yang berlumuran darah dengan keadaan kepala orang itu yang terluka parah. Jeritan kencang keluar dari mulut Mona dengan menyerukan nama putra bungsunya.
"NAVYYYYYY..."
Bruk..
Saking terpukulnya, setelah meneriaki nama putra bungsunya, Mona langsung ambruk di dalam dekapan Vano yang tengah mematung menatap kosong orang yang tengah terbaring kaku dengan darah dimana-mana.
Hingga di saat matanya melihat Dami dan Demi mendekati orang itu. Dan disaat air mata keluar dari mata keduanya tak lupa dengan Demi yang langsung merengkuh tubuh penuh darah diiringi isakan yang begitu menyakitkan. Barulah Vano tersadar bahwa duka akan kehilangan tengah mengguncang keluarganya.
"Navy," panggil Vano pelan menyerukan Nama adiknya yang kadang selalu membuat dia kesal.
Air mata yang sedari tadi mengenang di pelupuk mata Vano pun akhirnya jatuh, bersamaan dengan tubuhnya yang meluruh namun dengan sigap kedua tangan Vano menyangga tubuh tak berdaya Mona agar tidak menghantam tanah.
"Navy hiks.. Navy hiks.."
Vano terisak hebat, tangannya memeluk erat tubuh Mona dan sesekali remaja tujuh belas tahun itu mengecup kening sang Bunda. Pikirannya kalut, sehingga ia melupakan bahwa Bundanya butuh perawatan.
***"