Setelah kepergian Dami, kini tinggal lah Demi dan Vano yang masih setia berada di samping kuburan Navy.
Vano tersenyum tipis dengan mata yang sudah berembun. Seakan air mata yang mengenang di pelupuknya siap untuk di jatuhkan. Tangan bergetarnya terangkat mengelus nisan sang adik yang kini sudah tenang di dalam kedamaian. Tak bisa ia rengkuh lagi, tak bisa ia omeli lagi ataupun tak bisa ia marahi lagi karena tingkah jahil dan tengil nya yang mendarah daging.
"Lo tega ninggalin gue Nav, kenapa?" Vano mengambil jeda di ucapannya. Dengan mulut yang berusaha meraup oksigen Agar dapat menghilangkan rasa sesak di dadanya. Matanya memerah berkaca-kaca. Sebelah tangan yang tidak memegang nisan ia kepal begitu kuat.
Perlahan punggung yang Demi lihat begitu tegar dan rapuh pun bergetar di iringi isak tangis yang amat memilukan.
Demi memakluminya, dia pun sama rapuhnya dengan Vano. Dan Demi pun tau seberapa dekat Vano dan Navy jadi ia membiarkan Vano mengeluarkan rasa sesak di hatinya dan rasa sakit akan kehilangan seorang adik yang sangat ia sayangi.
"Lo ga sayang lagi sama gue Nav?." ucap Vano lirih dengan nada tanya. Tidak ada sahutan, hanya kelopak bunga Kamboja yang saling berjatuhan ke atas kuburan yang masih basah. Desau angin yang berhembus tenang membelai surainya pun tidak memberikan efek nyaman pada Vano. Yang Vano rasakan hanya sesak, sesak, dan sesak yang kini mengukung di dalam dadanya.
"Lo ga sayang lagi sama gue kan Nav?." ulang Vano seakan menuntut sebuah jawab. Lagi-lagi tak ada sahutan, membuat Vano menundukkan kepala dengan bahu yang semakin bergetar diiringi isakan tertahan yang terdengar memilukan.
"Jawab." gumam Vano pelan.
"Kenapa lo diem Nav? Lo biasanya selalu nyahut saat gue ngomong, kenapa sekarang lo diem? Lo ga punya mulut? Atau telinga lo jadi budeg. Efek ngehalu nih." ujar Vano melantur di akhiri dengan kekehan lirihnya.
"Aaahh.. Atau sekarang lo udah ga mau nurut sama gue lagi? Ehh..sejak kapan lo nurut sama gue ya? Lo kan orangnya bebal." lanjut Vano di ikuti dengan helaan nafas kasarnya.
"Nav... Gue mohon bangun hiks.. Gu-gue sayang sama lo. Meskipun lo selalu bikin gue gedeg, tapi gue sayang banget sama lo. Lo adek gue satu-satunya yang gue punya, tolong jangan tinggalin gue Nav, hiks." isakan Vano kembali terdengar membuat Demi yang Sedari tadi terdiam pun melangkahkan kakinya mendekati Vano lalu menyentuh pundak Vano.
Namun yang terjadi selanjutnya, membuat Demi tertegun. Beberapa detik lalu, Vano baru saja menepis kasar tangan Demi yang menyentuh pundaknya.
"Kenapa?." lirih Demi pelan. Hal itu membuat Vano menoleh pada Demi, kemudian melayangkan tatapan tajam kepada Demi yang diam-diam tengah meredam rasa sakit hatinya karena mendapat perlakuan seperti itu dari adiknya. Sebuah penolakan.
"Kenapa?." ulang Vano dengan decihan di akhir kalimatnya. "Kenapa Lo tanya? ADEK GUE MENINGGAL GARA-GARA LO BEGO." teriak Vano tiba-tiba, Demi yang tak siap dengan teriakan Vano pun berjengit kaget. Ingin sekali ia menyangkal, lalu mengatakan bahwa Navy meninggal karena sudah takdirnya. Tapi apa boleh buat, kejadian di taman belakang dimana ia berteriak di depan Navy sedangkan di sisi lain ia tau jika Navy mengidap penyakit jantung membuat ia hanya terdiam dengan kedua mata yang perlahan berkaca-kaca.
"Maaf." lirih Demi menundukkan kepalanya dalam syarat akan penyesalan.
Di depannya Vano terkekeh sinis, ia mengusap wajah letihnya dengan Kasar. Kemudian mulutnya mengeluarkan sebuah decihan "cih.. Maaf? Setelah adek gue gak ada lo baru bilang maaf? OTAK LO KEMANA DEM? gara-gara lo adek gue meninggal. Kalo kejadian di Taman belakang itu ga terjadi, kalo lo ga mengintimidasi adek gue Mungkin sekarang adek gue masih hidup Dem. LO PEMBUNUH hiks."
Demi mengepalkan kedua tangannya kala kata 'pembunuh' terlontar begitu saja dari mulut Vano.
Jika di tanya, apa yang sekarang Demi rasakan. Maka jawabannya adalah dia sungguh merasa sangat sakit hati, di saat adiknya sendiri mengatainya sebagai pembunuh. Sungguh Demi ingin sekali berteriak lantang bahwasanya apa yang telah menimpa keluarganya adalah sebuah Takdir dan atas kehendak Tuhan. Namun apa yang tengah Demi pikirkan sekarang, tak ubahnya hanya dapat terpenggal di dalam pikiran tanpa sanggup untuk di keluarkan. Dan yang Demi lakukan sekarang hanyalah menghela nafas pelan, dan melirik sebentar gundukan tanah basah yang akan terus menerus membuat hatinya berdenyut nyeri tak karuan.
"Kita pulang sekarang. Bentar lagi hujan, pasti Bunda dan Appa udah nunggu kita di mobil." ajak Demi berusaha menghiraukan ucapan Vano tadi.
Lagi-lagi decihan dari Vano terdengar dengan maniknya melayangkan tatapan tajam pada Demi yang masih setia menundukkan kepala.
Tanpa berkata apapun lagi, Vano pun berlalu dari hadapan Demi. Di tambah hujan gerimis yang sudah berjatuhan sedari tadi. Meninggalkan Demi yang masih setia berdiri di tempat.
Setelah kepergian Vano, Demi pun mengangkat kepalanya. Berjalan mendekati kuburan sang adik bungsu lalu berjongkok di sampingnya.
Tangannya terangkat mengelus nisan yang baru setengah jam lalu tertancap lantas saat liquid bening jatuh membasahi pipinya, Demi dengan segenap rasa penyesalan yang tidak akan pernah hilang itu pun menunduk mencium nisan Sang Adik penuh sayang.
"Maafin Abang ya Nav, maaf karena secara tidak langsung abang lah yang sudah membuat Navy merasa kesakitan dan akhirnya menyerah tanpa berpamitan. Sekali lagi maafin Abang, maaf atas perlakuan Abang waktu di taman belakang, maaf karena udah teriak di depan Navy. Maaf." ujar Demi kembali menundukkan kepalanya dengan punggung tegap yang terlihat bergetar tak lupa racauan kata 'maaf' selalu ia lontarkan. "Sekali lagi maafin Abang Nav."
"meskipun berat melepas kamu. Tapi Abang akan berusaha untuk meng-ikhlaskan kepergian kamu, abang pergi dulu ya. tidurlah dengan damai adikku, abang tau pasti selama ini kamu merasa lelah. Maka dari itu abang harap kamu akan menemukan kebahagiaan kamu di atas sana."
****
Berbekal akan rasa keingintahuan mengenai apa yang terjadi pada adik bungsunya beberapa waktu lalu, hingga menewaskan sang adik. Demi dengan mata sembab yang kentara sekali terlihat pun memasuki kamar yang baru saja di tinggal pergi oleh sang empunya untuk selama-lamanya. Ruangannya tampak gelap, tapi dari tempatnya Demi bisa melihat sorot cahaya rembulan yang membuat ruangan sedikit terang meskipun tampak remang-remang. Udara malam menusuk kulit lengan Demi yang hanya di balut kaos pendek hitam oblong. Ia berjalan gontai, menghampiri pintu Balkon yang terbuka lebar dengan bagian depannya tanpa penghalang tralis besi.
Merasakan begitu dinginnya angin malam, yang kapan saja dapat membuat ia terserang demam. Tapi Demi tidak peduli, yang ia perhatikan sekarang adalah bagaimana raut kesakitan Navy saat terjatuh dari sini hingga akhirnya dinyatakan meninggal dunia di tempat kejadian. Ini sangat mengerikan! Dan Demi berharap apa yang terjadi sekarang hanyalah bunga tidurnya seorang. Tidak nyata tapi dalam bentuk impian.
Hanya saja, apa yang Demi Harapkan nyatanya tak pernah sejalan. Demi jelas tau bahwa kejadian beberapa jam lalu bukanlah sekedar khayalan melainkan kenyataan yang begitu menyakitkan.
Hah..
Menghela nafas kasar. Itulah yang Demi lakukan. Menundukkan kepala syarat penyesalan yang begitu mendalam adalah bentuk kesedihannya. Kala merasa angin malam semakin berhembus membelai setiap helai rambutnya, kelopak mata Demi yang sempat terpejam beberapa saat lalu pun terbuka lebar. Dan langsung menemukan secarik kertas dengan bolpoin diatasnya. Tanpa pikir panjang lagi, Demi langsung mengambil kertas itu dan membaca setiap bait tulisan yang tertera di sana.
Dear : Appa, Bunda dan Kelima Abangku
Siapapun yang menemukan surat ini, itu tandanya aku pasti sudah tidak ada di Bumi, tenggelam sepi dalam pangkuan tanah yang siap menanti.
Mungkin ini terdengar lebay, sangat malah. Karena tidak ada sejarahnya seorang Zennavy si tampan tiada tara menulis surat dengan kata-kata yang ergghh.. Terkesan alay? Mungkin.
Oke,, abaikan yang di atas. Berhubung waktunya semakin menipis. Maka aku tidak akan berbasa-basi lagi.
Appa, Bunda, Bang Gavin, Bang Gevan, Bang Dami, Bang Demi, dan Bang Vano aku menyayangi kalian. Sangat-sangat malah. Maaf jika selama ini aku kadang selalu merepotkan kalian, membuat kalian pusing dengan segala tingkahku. Percayalah aku hanya ingin terlihat baik-baik saja di depan kalian, aku tidak ingin melihat wajah khawatir kalian. Aku harap kalian semua paham maksudku. Maka dari itu, Maaf jika aku kadang selalu membuat kalian susah dan terimakasih karena sudah melakukan yang terbaik untukku. I Love You Bunda, Appa and My Brothers. Ahh ya.. Yang terakhir untuk abang-abangku tercintahh jangan lupa ada suara desahan di akhir katanya >< aku hanya ingin bilang, kalian adalah saudara terbaik yang pernah aku miliki, kalian adalah idola ku sesungguhnya. Superhero dan teman sepermainan yang selalu membuatku merasa terlindungi. Jangan merasa iri dengan Idol kpop yang aku sukai ya, karena nyatanya Hyung-hyung terbaik yang aku miliki adalah kalian. Saranghae hyungdeul ^^
Zennavy~~
Tak terasa air mata kembali menjatuhi pipi Demi seiring selesainya ia membaca tulisan yang tertera dalam secarik kertas yang nyatanya adalah surat terakhir dari Navy. Surat singkat yang mampu membuat ia kembali sesak. Ia menjatuhkan kertas itu ke atas lantai di ikuti dengan tubuhnya yang meluruh ke bawah. Serta membenamkan kepalanya pada kedua lutut yang ia peluk menggunakan kedua tangan. Perasaan menyesal kembali menggerogoti, terlihat dari bagaimana punggung tegap Demi yang tampak bergetar tak lupa lirihan penuh rasa bersalah terus ia ucapkan.
"Maaf Nav.. Maafin gue hiks."