"Astagfirulloh.. Nih human tidur, kebo atau meninggal sih? Dari tadi gue coba bangunin malah makin molor. Anjim.. Kembaran Jeon Sagang lama-lama bisa lelah hati ini. Menunggu tanpa kepastian itu sangat menyakitkan huhuhuhu..."
"Bang bangun!" Sekali lagi remaja laki-laki yang terduduk di atas brankar rumah sakit mengguncang tubuh yang lebih tua, yang tengah menelungkupkan kepalanya di samping ranjang. Entah untuk yang keberapa kalinya dia mengguncang tubuh sang kakak, tapi usahanya tidak kunjung berhasil dalam membangunkan remaja yang lebih tua dua tahun darinya.
Sebenarnya sih dia tidak peduli mau kakaknya mati disini kek, pingsan kek atau apapun itu. Tapi berhubung dia haus, kerongkongannya kering kerontang dan ia tidak bisa meraih gelas yang tersimpan rapih di atas nakas. Maka mau tak mau dia pun berusaha membangunkan kakak ke empatnya yang tidak bergeming sama sekali di tempat.
"Bang."
"Maaf Nav.. Maafin gue hiks." Sontak remaja enam belas tahun dengan tangan kanan yang di pasang infus melebarkan matanya ketika mendengar isakan kecil yang keluar dari mulut sang kakak.
"Bang lo ken--"
"Nav, tolong jangan tinggalin gue Hiks.. Gue nyesel. Tolong jangan pergi." Lagi racauan aneh terdengar. Apalagi saat kakaknya mengigaukan namanya? Heol.. Lagian dia akan pergi kemana coba? Sampai-sampai kakaknya ini menangis dalam keadaan tertidur. Mimpi buruk kah?
Mulut laki-laki itu terbuka, ia siap menyuarakan suaranya. Tapi terpenggal ketika pintu ruang rawatnya terbuka menampilkan seorang remaja dengan tangan kanan yang menenteng se-kresek makanan.
"Bang Vano," seru laki-laki itu sembari melambaikan tangan.
Remaja yang di teriaki namanya pun melangkah tergesa setelah menyimpan kantong kresek berisi makanan ke atas nakas. Rautnya terlihat sangat khawatir. Takut-takut jika sang adik tengah merasakan kesakitan.
Lagian, Vano bego banget mana ada orang Sakit yang tengah tersenyum lebar ke arahnya. Hmm.. Biarkan saja lah Vano dengan segala kelemotannya.
"Kenapa Nav? Lo ada yang sakit? Atau pala lo benjol gara-gara ke jedot ubin waktu pingsan tadi sore?" tanya Vano beruntun. Matanya menajam ketika memindai tubuh sang adik.
Mendengar pertanyaan lebay itu sontak saja membuat Navy memasang raut masam. Pikirnya, Vano ini sangat berlebihan. Padahal tadi ia meneriaki nama kakaknya bermaksud untuk membawakan segelas air minum padanya. Tapi sayang Vano tidak peka dengan maksud Navy.
"Gue ga papa elah lebay amat lo. Ambilin gue minum gih, kerongkongan pangeran kering nih," jawab Navy tak lupa nada tengil nya yang kembali lagi.
Sudut bibir Vano berkedut dengan ekspresi geli ketika kealayan Navy kumat kembali. Tapi Vano tidak protes sama sekali, untuk hari ini berhubung Navy baru saja sadar dari pingsannya Vano pun dengan segera mengambil gelas berisi air putih lalu membantu Navy meminum air nya. Sudut mata Vano sedikit melirik ke arah Demi yang tidak bergeming, hanya sesekali telinganya mendengar racauan Demi yang terus menggumamkan kata 'Maaf' dan 'Navy'.
Vano menatap Navy penuh penjelasan. "Bang Demi kenapa?." tanya Vano sesaat setelah menaruh gelas yang sudah tandas isinya ke tempat semula.
Yang di tanya mengangkat bahunya tidak tahu. "Dari tadi gue berusaha bangunin bang Demi. Tapi Bang Demi malah ngeracau gaje." Jawab Navy terkesan tidak peduli. Karena fokusnya tertuju pada Layar pipih di tangannya yang baru saja ia rampas dari Vano. Menurutnya menonton video bias lebih penting ketimbang mempertanyakan keadaaan Demi. Biadab memang Navy ini. Adik kurang asem!!
Vano menghela nafas, terlampau hapal jika Navy sudah berurusan dengan acara halunya maka urusan lain akan ia acuhkan. Karena tidak tega melihat keadaan Demi yang tertidur sambil menangis, Vano dengan segenap rasa sayangnya sebagai adik kepada Demi pun mulai mengguncang tubuh Demi. Jangan berharap bahwa Vano akan mengguncang tubuh Demi penuh kelembutan, karena kenyataannya Vano mengguncang Tubuh Demi seperti tengah kerasukan. Bahkan Navy pun sampai terkejut karena brankarnya ikut bergoyang untung saja tubuh kurus kerempengnya tidak jatuh. Bisa pingsan dua kali dia kalo sampai itu terjadi.
"Anjim Bang, istighfar. Lo kalo kerasukan bilang-bilang dong. Kan biar gue ada persiapan buat jampi-jampi lo."
"Bacot lo, gue lagi berusaha bangunin bang Demi," seloroh Vano dengan aksi brutalnya yang masih berusaha membangunkan Demi.
"Bangunin sih bangunin, kenapa jadi bar-bar gitu." ucap Navy pelan takut terdengar.
Kenyataannya, upaya Vano membangunkan Demi pun membuahkan hasil. Laki-laki berusia delapan belas tahun itu membuka mata perlahan dengan keadaan matanya yang terlihat sembab.
"Siapa sih yang bangunin gue?" kata Demi kesal sambil meregangkan tubuhnya yang terasa kaku.
"Bang Vano tuh Bang."
Mata Demi yang sedikit sayu terbuka lebar saat rungunya mendengar suara yang tidak asing baginya. Ia refleks berdiri dari duduknya, menatap Navy terkejut dengan mulut yang membulat. Menimbulkan kernyitan di dahi Navy dan Vano.
"Bang, lo kenap--"
"Nav, lo masih hidup?" tanya Demi memotong pertanyaan Vano yang belum tuntas.
Kernyitan di kening Navy semakin dalam. Otaknya berusaha mencerna ucapan Demi yang terdengar ambigu di telinganya. Masih hidup? Ya Jelaslah masih. Wong dia belum mati.
"Maksud lo bang?" tanya Navy heran.
Demi memijat keningnya yang terasa berdenyut nyeri. "Bukannya lo udah meninggal ya gara-gara jatoh dari balkon. Terus kenapa lo ada disini?" tanya Demi polos, mengabaikan pelototan dari Navy dan Vano.
"Astagfirulloh Bang, lo doain gue cepet mati?" syok Navy dengan wajah yang di buat sesedih mungkin.
Melihatnya Demi pun segera menggelengkan kepalanya. "Bukan, bukan gitu maksud gue."
"Terus maksud lo apa?" tanya Vano.
Demi membuang napasnya pelan, setelah itu ia pun menjelaskan maksudnya. "Gue mimpi Navy meninggal gara-gara jatoh dari balkon kamarnya Van. Dan alasan utamanya gara-gara kena serangan jantung. Itu semua gara-gara gue yang teriak di depannya." jelas Demi sendu. Ia baru menyadari satu hal, jika apa yang ia alami tadi dimana Navy pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya itu hanyalah bunga mimpi. Sejenak Demi menghela nafas lega. Tapi itu tidak berlangsung lama, ketika menyadari jarum infus tertancap di punggung tangan kanan Navy.
"Lo kenapa Nav?" tanya Demi khawatir. Ia baru sadar bahwa sekarang ia berada di rumah sakit bahkan keadaan di luar pun sudah malam.
Navy mendengus mendengar pertanyaan Demi. "Menurut lo?" Bukannya menjawab Navy malah mengajukan tanya.
Seketika Demi di landa kebingungan, ia menatap Vano menuntut penjelasan.
Mengetahui kebingungan Demi, Vano pun mau tak mau mulai menjelaskan. "Lo inget kan Bang kejadian di taman belakang waktu lo teriak di depan Navy?"
Demi mengangguk. "Terus?"
"Waktu lo selesai teriak Navy langsung pingsan Bang. Bahkan waktu Navy di bawa ke rumah sakit lo langsung nangis kejer, sampai akhirnya lo ketiduran sambil nungguin Navy sadar."
"Loh bukannya Navy langsung pergi ke kamar ya?" heran Demi.
Kini giliran Navy yang menggeleng "kata siapa? Gue langsung pingsan, bego. Ya kali gue ke kamar waktu jantung gue nyeri ga karuan. Gue ga sekuat itu wahai ferguso. Rasanya tuh kayak lo jadi iron man tau ga Bang?" ujar Navy yang mulai ngaco.
"Jadi yang--"
"Apa? Lo mau bilang kalo gue udah meninggal gitu." ketus Navy.
Demi nyengir sembari menggaruk belakang kepalanya. "Hehehe.. Nggak deng. Tapi thanks banget ya, lo udah bertahan sampai sekarang. Lo tau, gue takut banget waktu mimpiin lo meninggal." ujar Demi yang langsung memeluk Navy erat. Navy ingin sekali memberontak tapi sayangnya tenaganya sedang tidak kuat.
"Bagus dong, kata orang zaman dulu kalo kita mimpiin seseorang yang meninggal itu pertanda bahwa umur orang itu bakalan panjang." timpal Vano.
"Bagus ndasmu, gara-gara Bang Demi. Lo, Bang Gavin, Bang Gevan, Bang Dami, Appa sama Bunda jadi tau tentang penyakit gue." cerca Navy sebal, yang langsung membuat Demi melepaskan pelukannya di sertai cengiran WATADOS nya.
"Ya.. Dan gue denger dari pembicaraan Appa, Bunda, Bang Gavin, Bang Gevan dan Bang Dami di kantin tadi kalo lo akan menjalankan pengobatan di Singapura." sahut Vano mengangkat bahunya acuh.
Mata Navy membulat "seriusan Bang?"
Vano mengangguk. "Ya."
"TIDAAAAKKKKK." Dan tebak apa yang terjadi sekarang, ruang rawat yang untungnya VVIP itu di penuhi dengan teriakan Navy yang begitu menggelegar. Berdoa saja semoga telinga Vano dan Demi masih baik-baik saja sehingga mereka tidak perlu mengunjungi dokter THT.