Chereads / Zennavy / Chapter 34 - 33. Kepergiannya

Chapter 34 - 33. Kepergiannya

Terlihat gundukan tanah yang masih basah, dengan diiringi isak tangis yang begitu memilukan. Menandakan bahwasanya orang yang mereka kasihi, kini telah terkubur di dalamnya tidak bisa kembali dalam rengkuhan lagi dan tidak akan pernah mereka temui lagi keberadaannya.

Meninggalkan kenangan yang tidak akan pernah terhapus pada memori mereka, sekalipun sang waktu terus bergerak maju menuju masa depan.

Kemarin, mereka masih bisa merasakan bagaimana suara melengkingnya ketika dia memuja idolanya.

Kemarin, mereka masih bisa melihat bagaimana tawanya yang begitu lepas. Kendati wajahnya terlihat begitu pucat di akibatkan demam yang mendera tubuhnya.

Kemarin, mereka masih bisa mengomeli tingkah ajaibnya.

Kemarin, mereka masih bisa merekam bagaimana rupanya yang selalu di bangga-banggakan oleh sang empunya orang.

Kemarin, kemarin, kemarin, dan Kemarin. Ya.. Itu hanya Kemarin yang tidak bisa mereka putar kembali. Tidak bisa membuat sesosok yang telah terkubur tenang di dalam tanah bangkit kembali lalu melebarkan senyum tulusnya atau sekedar berteriak dengan suara cemprengnya.

"ADEKK.." Lagi-lagi teriakan itu keluar dari mulut seorang wanita paruh baya yang penampilannya tidak bisa dikatakan baik-baik saja. Mata sembab, hidung merah serta air mata yang tiada henti turun menandakan jika wanita itu sangat merasakan kehilangan yang begitu mendalam.

Memangnya ibu mana yang tidak akan merasa terpukul, ketika harus di hadapkan pada sebuah kenyataan bahwa salah satu putranya kini telah pergi meninggalkannya. Bukan pergi dalam artian dia akan kembali, tapi yang dimaksud pergi dari sini adalah pergi untuk selama-lamanya.

Kehadirannya tidak akan pernah ia rasakan lagi, tubuhnya tidak bisa ia rengkuh lagi, senyumnya tak bisa ia lihat lagi, dan tawa serta teriakan hebohnya tidak bisa ia dengar lagi.

Sungguh.. Hal yang paling menyakitkan di Dunia ini adalah ketika kita harus mengikhlaskan kepergiaan orang yang kita kasihi untuk kembali pada pangkuan Tuhan. Itu benar-benar sangat menyesakan. Rela tidak rela pun hasilnya akan tetap sama. Tidak bisa terulang lagi sekalipun nyawanya lah yang menjadi taruhan.

Ingin sekali Mona bernego dengan Tuhan, agar mengembalikan putranya lalu tukar saja putranya dengan nyawanya. Agar sang Putra dapat mencecap lebih lama bagaimana rasanya hidup di Dunia. Berbeda lagi dengan Mona, yang usianya makin hari makin senja. Manis, pahit serta asamnya kehidupan sudah ia cecap. Tapi beda lagi dengan putranya, putra bungsunya masihlah sangat muda. Bukankah seharusnya umurnya pun lebih panjang darinya kan? Begitulah pemikiran sempit Mona.

Padahal dalam hati Mona tau bahwa pemikiran itu amatlah salah. Karena nyatanya takdir Manusia baik itu kelahiran, rezeki, jodoh serta maut telah tertulis di lauhul Mahfudz. Dan itu semua tidak bisa di ubah oleh siapapun kecuali kehendak Allah SWT.

"Hiks.. Adek... Jangan pergi nak. Adek sayang Bunda kan, Bunda mohon jangan pergi sayang. Bunda ga bisa di tinggalin Adek dengan cara ini hiks. Hati Bunda sakit dek, sakit sekali." racau Mona sambil memeluk nisan yang bertuliskan nama orang yang terkubur di dalam tanah 'Zennavy Alcander Kim Rayannaka'

"Bu-bunda." panggil Vano atau bisakah kita sebut Vano sekarang dengan sebutan bungsu Rayannaka yang baru? Ohh.. Tentu saja tidak. Sebab, Sosok Navy tetaplah akan terkenang menjadi si Bungsu keluarga Rayannaka yang begitu dicintai pengecualian untuk tingkah bobroknya yang kadang selalu bikin orang elus dada.

"Adek bangun hiks.. Adek ayok ikut Bunda pulang. Di dalam sana gelap kan dek? Adek pasti kedinginan, jadi ayok kita pulang nak." ini tidak benar semakin kesini racauan Mona semakin tidak karuan, seolah kesadaran mentalnya entah hilang kemana.

Mendapati panggilannya tadi tidak di gubris Mona, Vano yang penampilannya sama kacau dengan Mona pun berjongkok di samping sang Bunda. Lalu mengelus punggung wanita yang paling ia cintai dan kasihi itu dengan lembut.

"Bunda, bunda yang ikhlas ya. Adek udah tenang di atas sana. Dia udah ga kesakitan lagi, jadi ayok Bun, kita pulang. Bunda lupa kita belum membenahi rumah untuk tahlilan. Kalo Bunda seperti ini, kasian ke Adeknya Bun. Pasti Adek ga akan tenang, dan malah akan memberatkan jalan adek. Vano mohon jangan kayak gini Bun." jelas Vano dengan suaranya yang begitu bergetar. Apa yang ia ucapkan barusan berbanding terbalik dengan hatinya yang secara gamblang mengatakan bahwa ia tidak akan bisa mengikhlaskan kepergian adik semata wayangnya, partner in crimenya.

Bukannya tenang, mendengar ucapan putra kelimanya, tangisan Mona malah semakin menjadi-jadi. Ia bahkan langsung mencakar tanah yang masih basah itu. "NGGAK.. NGGAK.. BUNDA GA IKHLAS. ADEK HARUS KEMBALI SAMA BUNDA, BUNDA GA MAU TAU. ADEK GA BOLEH PERGI." jeritan histeris Mona dengan aksi brutalnya membuat Jiwoon yang sedari tadi berdiri di belakang sang istri tak lupa mata sipit nya yang terus mengeluarkan air mata pun akhirnya turun tangan memeluk erat tubuh Mona.

"Aku mohon kamu yang kuat. Jangan gini." bisik Jiwoon parau, tak ada sahutan dari Mona. Membuat Jiwoon sedikit meregangkan pelukannya, dan matanya langsung terbelalak saat tau jika Mona sudah jatuh pingsan. Tak berpikir panjang lagi, setelah untuk terakhir kalinya Jiwoon memandang nisan putra bungsunya dengan sendu. Jiwoon pun segera membawa tubuh rapuh Mona keluar area pemakaman, di ikuti Gavin dan Gevan yang begitu sangat terpukul. Apalagi Gavin, kakak pertama Navy itu bahkan sempat pingsan dalam pelukan Gevan sesaat setelah ia beserta ayahnya turun ke liang lahat untuk meletakan tubuh Navy yang sudah di balut kain kafan. Sedangkan Gevan, laki-laki itu hanya terus diam, diam, diam dan diam. Mendadak Bisu untuk kesekian kalinya. Tak selaras dengan manik tajam Gevan yang terus-terusan mengeluarkan air mata syarat akan kesedihan yang begitu mendalam.

Kini tersisa lah Dami, Demi dan Vano di area pemakaman itu. Gerimis kecil bahkan sudah saling berjatuhan membasahi Bumi dan seolah menjadi bukti bahwa langit pun ikut sedih akan kepergian Navy yang bisa di katakan sangat tiba-tiba ini.

Dami membuang nafasnya guna mengeluarkan segala rasa sesak yang mengukung dadanya. Memberikan efek nyeri pada hatinya, dan membuat perasaan nya begitu sangat hancur. Sumpah demi apapun.. Dami tidak akan pernah melupakan hari ini. Hari serta tanggal yang sudah Dami cap sebagai salah satu hal yang Dami benci selamanya.

Jika di tilik lebih lanjut lagi, Dami memang terlihat seperti baik-baik saja, tidak sekacau keluarganya yang lain. Namun, tak taukah kalian? Bahwa sekarang Dami tengah menahan laju air matanya agar tidak keluar. setidaknya Ia tidak boleh menangis di depan Navy. Begitulah pikirnya.

Tak tahan, akhirnya tanpa berpamitan Dami pun pergi meninggalkan Demi dan Vano yang masih terdiam disana.