Chereads / HONEST / Chapter 8 - Part 8

Chapter 8 - Part 8

Sekarang hari Sabtu dan sesuai dengan janjiku, hari ini aku akan menghabiskan waktuku dengan Bayu.

Dia akan menjemputku sekitar 10 menit lagi. Aku tidak tahu kami mau kemana, Bayu merahasiakan hal itu.

Sentuhan terakhir, aku memakai lipstick berwarna coklat yang sesuai dengan warna kulitku, jadi kesannya sangat natural.

Hpku berbunyi tepat selesai aku memakai lipstickku.

"Aku di depan," ucap seseorang melalui panggilan telfon itu.

"Aku sip, aku otw ke sana."

Aku mengambil tasku dan keluar dari kamarku. Setelah menguncinya, aku berlari kecil mendekati gerbang kosanku. Aku menemukan Bayu di sana.

"Hei…," ucapku. Bayu hanya tersenyum dan melambaikan tangannya.

"Cepat banget…," lanjutku. Memang dia menjemputku lebih awal.

Setelah aku membuka gerbang kosanku, Bayu memberikan helm yang ada di tangannya kepadaku.

"Yuk…," ucapnya.

Kamipun pergi.

Sesaat aku melupakan semua perkataan Timi kepadaku. Aku menghirup setiap udara yang menerpa pipiku dan mensyukuri apa yang telah aku miliki.

Akhirnya kami sampai. Bayu menghentikan motornya dan kamipun turun dari motor itu.

"Ini kan Gereja? Kita ngapain ke sini?" tanyaku sembari melihat Gereja itu, sangat besar.

"Kita masuk dulu yuk," ajak Bayu.

Aku mengikuti dia dari belakang dan kami berdua memasuki Gereja itu. Pintu Gereja yang berwarna coklat membuat Gereja itu terkesan retro namun di dalam ternyata sangat fancy. Paduan warnanya membuat setiap orang yang masuk ke sana, mengurungkan niat untuk keluar.

Aku terkejut hingga mulutku terbuka. Sungguh sangat indah.

Bayu melihat kebelakang dan mendapatiku dengan ekspresi takjub dan tidak dapat berkata apa-apa.

"Kita duduk di sana," ucapnya.

Kami duduk di bangku ketiga yang tersusun rapih di Gereja itu, dan aku masih tidak mampu mengalihkan pendanganku dari altar yang ada di depan kami sekarang.

"Waw, bagus banget," ucapku membuat Bayu tersenyum.

"Kamu tau ini dari mana Bay?" tanyaku.

"Aku gak sengaja mampir ke sini, dan yah, sepertinya ini menjadi salah satu tempat favoritku," ucapnya.

"Oouhh…" Aku membulatkan mulutku. Begitu ya.

"Oh iya aku ajak kamu ke sini mau berdoa bareng," ucapnya.

"Berdoa? Ngapain jauh-jauh ke..," ucapanku terpotong saat Bayu mengatakan "Gak papa kan?"

"Yah tentu saja gak papa," lanjutku.

Bayu kemudian menutup matanya dan menundukkan kepalanya. Aku tahu bahwa sekarang dia sedang berdoa. Sedangkan aku masih melihatnya sebentar dan kuputuskan untuk berdoa juga.

Sebenarnya aku tidak tahu apa yang harus aku doakan. Aku betul-betul tidak tahu. Namun aku tetap menutup mataku dan melipat tanganku.

Aku kemudian menyapa Tuhan yang kusembah. Aku mengucap syukur dan berterima kasih. Tidak ada hal spesifik yang ku sampaikan kepada-Nya, aku hanya bercerita seharian ini apa yang ku alami dan bercerita tentang Bayu yang menjadi bagian hidupku juga. Setelah itu, aku mengakhiri doaku dan menutupnya.

Saat ku buka mataku, ku lihat Bayu masih tetap dengan posisinya sebelumnya. Dia masih tetap berdoa.

Aku menyandarkan badanku ke kursi sembari menunggu Bayu selesai berdoa. Aku kembali melihat sekitarku dan tetap saja aku sangat terpesona dengan Gereja ini.

Sekitar tiga menit kemudian, Bayu selesai berdoa dan sekarang dia sepenuhnya melihatku, sedangkan aku masih melihat kesana-kemari kagum dengan Gereja itu.

"Sha…." Panggilannya mengagetkanku dan akupun melihatnya.

Aku menunggu apa yang hendak dia katakan padaku.

"Aku sayang kamu." Kalimatnya itu membuatku sedikit panik.

"Aku senang bisa kenal sama kamu, dan aku mau kita tetap seperti ini, saling menyayangi," ucap Bayu dan masih menatapku lekat.

Aku hanya mengangguk. Ku rasakan detak jantungku semakin cepat dan wajahku mulai memanas.

"Aku juga mau bilang kalau aku gak mau kamu salah paham dan menjauh dariku," lanjutnya.

Salah paham? Aku bingung dan masih tetap sedikit panik.

"Keluargaku meminta aku untuk tunangan dengan salah satu sepupuku. Aku tidak mengira mereka akan menjodohkanku. Itu membuatku tidak habis pikir."

Sekarang aku bisa melihat di raut wajahnya bahwa dia sedang sedih. Raut wajahnya yang sedih itu membuatku ingin memeluknya.

Aku memutuskan untuk menyentuh tangannya dan tersenyum kepadanya.

"Aku tidak tahu harus bilang apa. Sebenarnya aku udah tau itu dari Timi, dan Timi juga sepupu kamu ternyata. Dia memberitahuku tentang itu malam kemarin," ucapku.

"Iya, dia sepupuku, dan kemungkinan tunanganku itu adalah kakaknya."

Aku terkejut, Bayu dijodohin dengan wanita yang lebih tua darinya.

"Tapi kamu tenang aja Sha, aku sedang bernegosiasi dengan Papaku tentang ini," lanjutnya.

Aku hanya bisa mengangguk dan percaya kepada Bayu.

Sebenarnya Bayu udah pernah cerita tentang budaya di keluarga mereka. Keluarga mereka tidak mau terlalu mengikutcampurkan orang lain ke dalam keluarga mereka, bisa dibilang, keluarga yang cukup tertutup. Mungkin dengan perjodohan seperti ini adalah salah satu usaha keluarga Bayu.

"Bay, apapun keputusanmu, aku tau kamu udah mikirinnya matang-matang dan aku percaya padamu. Aku akan tetap di sisimu dan menunggu. Aku memang sedih mendengar kamu akan tunangan, tapi kalau kamu juga sebenarnya mau tunangan, aku bisa apa? Aku hanya bisa mendukungmu. Walau aku tidak bisa datang ke acara pertunanganmu itu," ucapku.

Bayu melihatku lekat, kemudian menaruh tangan kanannya di pipiku. Dia mengelus lembut pipiku membuat aku merinding sejenak.

"Aku hanya akan menikahimu," ucapnya tegas.

"What?" Aku terkejut dengan ucapannya membuat dia juga terkejut namun tidak melepaskan sentuhannya dari pipiku.

"Menikah? Kita masih muda Bay," ucapku.

"Yah, bukan sekarang juga. Nanti setelah aku punya penghasilan sendiri," ucapnya.

Aku hanya bisa mengangguk.

"Kenapa? Kamu tidak mau menikah denganku?" tanya Bayu dengan raut wajahnya yang sedikit kecewa.

"Aku? A.. Aku.." Aku tergagap, tidak tahu harus menjawab apa.

Masih terlalu muda untukku memikirkan pernikahan. Aku masih kuliah.

Bayu masih tetap menatapku dan menunggu jawabanku.

"Aku belum pernah memikirkan ke sana," jawabku.

Bayu terdiam dan tidak menjawab apa-apa. Raut wajahnya sekarang membuatku bingung harus berlaku seperti apa.

"Eh maksud aku itu, yah benar kan kalau pacaran memang harus memikirkan sampai ke pernikahan. Dan itu pasti jadi pertimbanganku juga," ucapku. Akhirnya aku bisa mengklarifikasi ketegangan itu.

"Ahhh, lagian itu bukan urgent, sekarang itu bagaimana kamu menyelesaikan masalah pertunanganmu itu," lanjutku.

"Iya benar. Aku juga bingung harus bagaimana. Bagaimana kalau Papaku tidak setuju dengan ucapanku. Aku tidak tau lagi gimana."

"Pasti ada jalan. Aku yakin." Aku menatapnya dengan yakin dan memegang tangannya.

Aku berpikir sejenak dan melihat sekitarku. Yah benar, kami sedang di Gereja.

"Ayok kita berdoa aja, kita serahin semuanya ke Tuhan. Oke?

Bayu mengangguk dan kami berdua pun berdoa bersama. Aku menggenggam tangannya dan mengucapkan setiap kata yang terlintas di pikiranku tentang Bayu sekarang. Aku yakin Tuhan pasti mendengar, Tuhan pasti melihat, dan Dia pasti tahu apa yang terbaik untuk kami.

Aku mengutarakan semua isi pikiranku, semua kehendakku dan pandanganku juga, karena aku percaya bahwa dia adalah Bapa yang mendengar setiap keluh kesah anak-anak-Nya, setiap kekurangan ucapan dan keterbatasan pikiran. Aku percaya, Dia, Tuhan dan juga Bapa yang mengetahui dan memberikan yang terbaik untuk kami.

"…. Bapa, dibalik semua keinginan kami, kiranya hanya kehendak-Mu lah yang terjadi. Engkaulau Tuhan, Bapa, dan Juruselamat kami. Di dalam nama Tuhan Yesus, kami telah berdoa. Amin."

Setelah selesai berdoa, kami kemudian keluar dari Gereja itu dan melanjutan perjalanan kami. Ya, karena hari ini memang kami rencanakan untuk kencan.