"Aku udah di depan," ucap Bayu melalui panggilan hp.
Hari ini adalah hari keempat kami pacaran.
Aku merasa aneh karena di kepalaku selalu menghitung hari-hari kami pacaran.
Tiga hari yang lalu, tepat setelah Bayu menyatakan perasaannya padaku dan akhirnya kami pacaran, dia diminta menjadi perwakilan fakultasnya untuk mengikuti lomba.
Aku tidak tahu jelas tentang lomba itu, tapi satu hal yang pasti, Bayu pasti menarik perhatian sehingga yang di utus oleh fakultasnya adalah dia.
Bayu sempat menolak untuk ikut, namun karena semua dosen mengharapkan keikutsertaannya, dia akhirnya menerima.
Setelah dia selesai beberes barang-barangnya kembali, dia menghubungiku, hendak melihatku.
Dan sekarang, dia tepat di depan gerbang kosanku.
Aku buru-buru keluar dari kamarku dan berlari kecil menuju gerbang kosanku.
"Lama nunggunya?" tanyaku sembari membuka gembok gerbang kosanku.
"Enggak."
"Kamu bawa apa?" tanyaku setelah kulihat di tangannya ada kantongan plastik putih.
"Aku bawa rujak buat kamu."
"Wih, enak tuh, tapi aku tadi udah makan malam, aku juga udah bilang sama kamu kalau aku udah makan malam. Ngapain bawa makanan lagi?" Kami berdua berjalan menuju kamarku.
"Biar kamu gendut," balasnya dan tersenyum kecil.
Aku berhenti dan melihat ke belakang, dia berdiri di belakangku terdiam.
Aku menyipitkan mataku dan mengerutkan bibirku.
"Apaan?" tanyanya.
Aku kemudian berbalik dan membuka kamarku.
"Gak mau makan nih?" tanyanya dengan nada meledek.
Aku menatapnya. Udah aku bilangin aku udah makan malam, masa bawa makanan lagi, kan bikin gendut.
Bayu duduk di atas karpet lantai kamarku, dan bukuku masih berserakan disana. Aku memang sedang belajar sebelum dia datang.
"Gak mau nih?" ucapnya lagi sembari membuka plastik putih dan menyodorkan rujak itu ke depanku.
Dia kemudian berdiri dan mengambil dua garpu makan untuk rujak itu.
Dia kembali menatapku dengan menaikkan kedua alisnya dan tersenyum licik.
"Parah, mentang-mentang kamu banyak makan tapi gak gendut-gendut," ucapku mengerutkan bibirku lagi.
Bayu tiba-tiba memalingkan pandangannya. "Ya udah kalau gak mau," lanjutnya dan kembali duduk di atas karpet.
Aku curi pandang ke rujak yang ada di tangan Bayu.
Aku menyerah, rujak itu terlihat sangat enak.
Aku kemudian duduk dekat rujak itu dan memegang sendok garpu hendak mengambil rujak ke mulutku.
Namun belum juga rujak itu masuk ke mulutku, Bayu gelisah seakan kehilangan sesuatu. Aku meletakkan sendokku itu dan bertanya kepadanya. "Kenapa Bay?"
Dia kemudian melemparkan jaket hitamnya ke padaku.
Aku bingung, keningku berkerut.
"Kenapa?" tanyaku lagi.
"Dingin tau, celana kamu terlalu pendek," ucapnya tanpa melihatku.
"Gak tuh, aku gak kedinginan," balasku.
Dia kemudian melihatku seakan hendak menyampaikan sesuatu.
"Kenapa?" tanyaku lagi.
"Sha… Celana kamu itu pendek banget, gak baik pake celana pendek gitu, apalagi di depan laki-laki." Dia menatapku dengan pasti dan menyampaikan semua itu.
Aku terkejut dan mulutku terbuka kecil.
"Gini tuh udah biasa di kami," ucapku namun tetap kupakai jaketnya untuk menutupi kakiku.
"Iya, tapi di kami tuh gak biasa kayak gitu," balasnya.
"Iya deh Kang, nyerah deh," jawabku.
Bayu menatapku dan tersenyum. Kami melanjutkan makan rujak.
"Tau gak sih Sha, pertama kali aku ketemu sama kamu itu rasanya aneh banget. Kamu ngomong dengan berani sama orang yang buang sampah sembarangan. Padahal kan kamu gak kenal orangnya." Bayu mengungkit pertemuan pertama kami saat berada di kantin.
"Iya mau gimana lagi, memang orangnya salah kok," ucapku dan masih tetap fokus pada rujak di depanku.
"Dan kamu berani jalan malam sendirian padahal udah jam 12 malam."
"Loh, kapan?"
"Pernahlah… Aku pernah lihat."
Aku berhenti mengunyah dan menatapnya.
"Bukan sendiri dong berarti, buktinya kamu ada di sana," ucapku.
"Yah secara teknis kamu sendiri, aku hanya…" Bayu tidak melanjutkan perkataannya.
"Heh…"
"Emang kalau di rumah gimana kaliannya?" Dia mencoba untuk mengalihkan perhatianku.
"Di rumah? Apanya?" balasku.
"Iya, kalian diajarinnya gimana?" tanya Bayu.
"Ooo, biasa kok. Diajak untuk jangan takut, berani mengaku salah dan berani membela yang benar. Jangan khawatir berlebihan, dan jadi diri sendiri. Dan yang paling penting, Papa aku bilang harus takut kepada Tuhan."
"Begitu… bagus ya. Papa kamu baik gak orangnya?"
"Papa aku? Tentu saja baik. Emang aku berani ngatain orang tua gak baik?"
"Hah.. iya ya."
"Kenapa emang," tanyaku penasaran, kenapa tiba-tiba Bayu nanyain itu.
"Enggak, aku hanya salut aja sama kamu. Aku berpikir, apakah semua perempuan Batak itu kayak kamu."
Aku menyipitkan mataku.
"Oh.. kesitu maksudnya. Aku kurang tau sih kalau itu, tapi memang rata-rata teman aku itu pada berani sih. Rata-rata ya, bukan semua," jelasku.
"Begitu ya...," balas Bayu.
"Entahlah, mungkin dari didikan sih. Kalau dibilang keras memang benar sih. Di kami itu gak dibedaain mana perempuan mana laki-laki. Semuanya harus sama-sama sukses dan sekolah yang tinggi. Jarang tuh di kami kalau perempuan hanya memasak di rumah, atau… pokoknya yang kerja di rumah lah. Maunya itu, perempuan yang dewasa, berani, dan pintar. Papa aku selalu bilang kalau aku harus sekolah yang tinggi dulu, terus kerja, terus bayar utang ke orang tua, terus nikah."
"Nikahnya di sesi akhir ya," ucap Bayu.
"Hehehe… begitulah. Soalnya kalau udah nikah itu, pasti fokus ke keluarga kan, jadi gak bisa bebas lagi," jelasku lagi.
"Benar sih."
"Kalau bayar utang itu, maksudnya apa? Kamu punya utang sama orang tua kamu?" lanjut Bayu.
"Ohh, kalau bayar utang mah, bayar utang selama kita disekolah gitu sih. Itu kayak ngasih kebahagiaan kembalilah ke orang tua. Kan mereka selama ini udah biayain semua ya, nah kalau udah kerja nanti, gantian yang biayainnya. Gitu…."
Bayu hanya mengangguk tanda paham.
"Eh nih satu lagi makan aja." Bayu menyodorkan potongan buah terakhir kepadaku.
"Enggak ah, aku kenyang. Kamu aja."
"Serius buat aku?"
"Iya…"
Kami ngobrol sampai sekitar jam 10 malam.
Entah apa yang membuat aku tidak bosan untuk berbicara dengannya. Pasti aja ada yang diomongin, dan malam ini terasa singkat banget, gak rela Bayu pulang.
"Ya udah, aku balik ya," ucap Bayu.
"Hati-hati," balasku dan menunggu dia berlalu sampai aku tidak melihat punggungnya lagi.