Chereads / BOUND BY PROMISE / Chapter 19 - DEMI RAI

Chapter 19 - DEMI RAI

Sejak kepergiannya bersama dengan Vano, gadis itu pikir akan membawanya pulang ke Rumah, tetapi dugaannya ternyata salah sehingga membuat Rain kini benar-benar merasa takut.

Berbeda dengan laki-laki itu yang saat ini justru memberhentikannya di sebuah jalanan yang sepi dan hal tersebut membuat Rain semakin merasa waspada terhadap Vano yang kini berada di hadapannya.

"Vano," panggil gadis itu dengan suara yang bergetar. "Kamu mau bawa aku kemana, sih?"

Akan tetapi laki-laki tersebut tidak mengatakan apapun sehingga membuat gadis itu semakin merasa ketakutan dengan mencoba untuk mengeluarkan ponsel dari dalam saku seragam sekolahnya tersebut.

"Rai, aku butuh kamu sekarang," ujarnya dalam hati dengan kedua mata yang sudah memerah dan berkaca-kaca. "Aku takut banget."

Vano yang merasa bahwa tempat ini sudah sampai pun, akhirnya laki-laki itu memberhentikan mobilnya tepat di sebuah halaman yang begitu luas. Ia menuruni motor begitu pula dengan Rain yang kini menatap sekelilingnya dengan kedua tangan yang bertaut.

"Sayang, ayo ikut aku," ujarnya kepada seseorang yang berada di sampingnya saat ini. "Aku mau ajak kamu ke suatu tempat."

"Vano," panggil Rain yang kini memandangnya dengan gelengan kepala. "Aku nggak mau."

"Rain, tolong nurut kenapa, sih?!"

"T-tapi---" Belum sempat gadis itu menyelesaikan perkataannya itu, tetapi Vano sudah menariknya hingga kini Rain pun diseret paksa oleh kekasihnya sendiri. "Udah, percaya sama aku."

Kini yang Rain takutkan adalah Vano yang mendadak berbeda dari biasanya, laki-laki itu menyakitinya seharian ini sehingga membuat gadis tersebut benar-benar berpikir bahwa kekasihnya itu telah berbeda.

"Rai, aku takut," gumamnya dengan air mata yang kini mengalir membasahi kedua pipinya. "Tolong aku, Rai."

Vano menyunggingkan kedua sudut bibirnya ketika melihat pemandangan yang berada di depannya itu, kemudian menoleh ke arah samping dimana ternyata Rain saat ini sedang memejamkan kedua matanya.

Akan tetapi ada sesuatu yang membuatnya begitu khawatir sehingga membuat laki-laki itu langsung memusatkan perhatian ke arahnya.

"Rain, kamu nangis?" tanyanya yang kini langsung menghadap gadisnya itu. "Aku nyakitin kamu, ya, maaf."

Kedua manik mata Rain secara perlahan pun terbuka dengan air mata yang begitu terlihat jelas di depannya.

"Aku nggak apa-apa, kok," ujar Rain dengan senyum tipisnya itu yang kini sedang berusaha untuk menyembunyikannya.

"Maaf," lirih Vano yang kini langsung memeluk gadisnya itu dengan erat. "Aku cuma nggak mau kehilangan kamu, Rain."

Tanpa laki-laki itu sadari bahwa Rain benar-benar sangat ketakutan setengah mati saat ini karena Vano yang begitu berbeda dari biasanya. Ia sangat kesal, tetapi dirinya juga tidak bisa memperlihatkan kekecewaannya terhadap kekasihnya tersebut.

"Iya, aku nggak apa-apa, kok," ujar Rain yang benar-benar berusaha untuk menyembunyikan ketakutannya tersebut. "Sekarang coba kasih tahu aku alasan kamu bawa aku sampai ke sini."

Akhirnya laki-laki itu pun melepaskan pelukannya dan menatap Rain dengan penuh perasaan yang membuat gadis tersebut menghela nafas.

Saat ini Rain menatap Vano dengan kedua tangan yang melipat di dada serta alis yang terangkat. Ia menunggu jawaban apa yang akan diberikan oleh laki-laki yang berada di hadapannya tersebut sehingga dirinya kini merasa khawatir.

"Aku cuma mau kasih lihat kamu pemandangan, Rain," ujar Vano berterus terang. "Kamu bisa lihat sendiri 'kan?"

Kedua manik mata dari Rain langsung terbelalak kaget karena melihat pemandangan yang berada di depannya saat ini. Sangat indah dan gadis itu tidak menyangka bahwa Vano akan membuatnya menjadi merasa seperti ini.

Ketika Rain hendak mengatakan sesuatu, tiba-tiba saja ponselnya berdering membuat gadis itu langsung menoleh ke arah benda tipis miliknya tersebut dan tertera nama si pemanggil di sana. Bahkan Vano sekalipun bisa melihatnya membuat laki-laki tersebut langsung mengubah ekspresinya menjadi datar.

"Eum ... Vano, aku ..." Saat ini Rain bisa melihat bagaimana kekasihnya tersebut yang menjadi berbeda dari sebelumnya membuat gadis itu menghela nafas dan memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. "Maafin aku."

"Kenapa?" tanya laki-laki itu dengan kening yang berkerut. "Kamu masih berhubungan sama dia setelah apa yang udah aku lakuin buat kamu?"

"Nggak kaya gitu, kok, Vano."

Vano benar-benar merasa kecewa terhadap seorang gadis yang berada di hadapannya saat ini sehingga membuat laki-laki itu menghela nafas sembari memalingkan wajahnya ke arah lain.

"Aku cemburu, Rain," lirihnya dengan kepala yang tertunduk. "Apa aku salah?"

Kini di hadapannya saat ini Rain tidak tahu harus berbuat apa terhadap Vano, saat laki-laki itu memintanya untuk menjauh dari Rai, tetapi hatinya tak bisa melepaskannya begitu saja dengan mudah dan hal tersebut membuat gadis itu kebingungan dengan perasaannya sendiri.

Beberapa waktu lalu ia meminta Rai untuk tidak menghilang dari hidupnya dan dirinya mengungkapkan ketakutannya terhadap sebuah kehilangan. Jika seandainya hal tersebut dilakukannya, itu sama saja dengan gadis itu memberikan sebuah harapan terhadap sahabatnya sendiri.

"Vano," panggil Rain dengan kedua mata yang berkaca-kaca. "Makasih karena kamu udah baik sama aku. Tapi aku nggak mungkin bisa ninggalin sahabat aku dari kecil gitu aja."

"Terus, sekarang kamu mau pilih aku atau dia?"

"Vano!" Rain menatap tidak percaya terhadap seseorang yang berada di hadapannya saat ini. "Aku nggak pernah suka kalau kamu mulai kaya gini, jangan pernah bandingin kamu sama dia atau dia sama kamu, karena kalian itu beda!"

Senyum smirk terbit begitu saja ketika mendengar Rain berkata seperti itu membuat Vano menghela nafas dengan kedua mata yang terpejam sejenak sebelum akhirnya kembali menatap seseorang yang begitu dicintainya tersebut.

"Dari sini aja aku udah tahu gimana pentingnya dia di hidup kamu, daripada aku yang jadi pacar kamu."

Rain langsung menggelengkan kepala dengan air mata yang kembali mengalir membasahi kedua pipinya. Gadis itu melihat kepergian kekasihnya yang berjalan semakin menjauh membuat dirinya berlari mendekati Vano yang sudah berada jauh di depan sana.

Hingga dimana gadis itu melihat Vano yang menaiki motornya dengan kecepatan tinggi meninggalkannya seorang diri di sebuah tempat yang sama sekali tidak dikenainya tersebut.

"Aku dimana ini?" tanyanya kepada dirinya sendiri. "Vano, kamu kenapa jadi kaya gini, sih, sama aku."

Ponselnya kembali berdering dan Rain merasa kebingungan antara memberitahukan keberadaannya atau tidak sama sekali. Jika ia melakukannya, pasti sahabatnya tersebut akan marah terhadap Vano hingga akhirnya mereka pun kembali bertengkar.

Rain tidak ingin itu sampai terjadi lagi dan gadis itu pun memutuskan untuk mengirimi Rai sebuah pesan chat dengan isak tangisnya yang begitu pilu.

"Maafin aku, Rai," ujarnya dalam hati. "Aku nggak bisa kasih tahu kamu karena aku nggak mau kamu sama Vano berantem lagi."

Setelah selesai mengirimi pesan chat terhadap sahabatnya itu, kini Rain kembali menatap sekeliling jalan yang begitu sepi. Sungguh gadis tersebut tidak mengetahui dimana ia sekarang berada sehingga dirinya kini benar-benar ketakutan.