Chereads / BOUND BY PROMISE / Chapter 25 - KECEMBURUAN VANO

Chapter 25 - KECEMBURUAN VANO

Ketika sedang memejamkan kedua matanya, tiba-tiba sebuah suara ketukan pintu kamarnya membuat laki-laki itu terpaksa harus membuka kedua matanya. Kemudian menoleh ke arah dimana sumber suara tersebut berasal sebelum akhirnya berdiri dari duduknya dan berjalan untuk membukakan pintu.

Dengan rambut yang acak-acakkan serta pakaian yang kusut itu, tetap tidak mengurangi kadar ketampanannya tersebut.

"Bibi, ada apa?" tanyanya dengan kening yang berkerut. "Bukannya aku udah makan siang, ya, tadi?"

Dilihatnya saat ini seorang wanita paruh baya tersebut yang tersenyum tipis kepadanya sehingga membuat laki-laki itu semakin merasa bingung.

"Ada apa?" lanjutnya lagi yang membuat seseorang yang berada di hadapannya pun menjawab.

"Anu ... dibawah ada teman nak Vano, mereka mau ketemu sama kamu katanya."

"Apa?!" ujar Vano terkejut setelah mendengar aap yang baru saja dikatakan oleh wanita itu. "Temen? Siapa?"

"Iya, Bibi nggak tahu juga nak Vano. Mereka kayanya baru pertama kali ke sini, atau mungkin pernah ke sini?"

Kening Vano semakin berkerut dengan rasa penasaran yang begitu tinggi membuat laki-laki itu pada akhirnya mau tidak mau keluar dari kamar untuk menemui seseorang yang mengatakan bahwa adalah temannya.

"Ya udah, kalau gitu makasih, ya, Bi."

"Sama-sama, nak Vano. Bibi ke belakang dulu, ya, mau siapin minuman."

"Iya Bi," ujar Vano dengan senyum tipisnya itu sebelum akhirnya keduanya pun kembali menuruni tangga secara bersamaan. "Oh, iya Bi. Papa sama Bunda kemana?"

Wanita paruh baya tersebut yang mendengarnya langsung menoleh dan berkata, "Oh, Tuan sama Nyonya tadi izin pergi keluar kota," jawabnya.

"Keluar kota?" ulang Vano yang langsung diangguki oleh wanita paruh baya tersebut. "Mereka nginep?"

"Nggak, jadi Tuan sama Nyonya pulangnya agak malam."

"Ya udah, deh, Bi."

"Bibi duluan, ya, nak Vano."

Setelah itu wanita paruh baya tersebut langsung berlalu pergi ke dapur untuk menyediakan minuman, sedangkan Vano yang melihatnya menghela nafas sebelum akhirnya kembali melangkahkan kakinya menuju ke ruang tamu untuk menemui temannya itu.

Ketika langkah terakhir sudah menginjak ruangan tamu, kedua matanya langsung membelalak dengan kening yang berkerut saat mengetahui bahwa yang datang ke Rumahnya dan mengaku sebagai teman ternyata adalah sahabat dari kekasihnya sendiri dengan kedua laki-laki yang merupakan temannya.

Entah kenapa perasaan Vano mendadak tidak karuan, laki-laki itu sedikit merasa gelisah karena sudah dapat diketahui maksud kedatangan dari sahabat kekasihnya tersebut ke sini.

"LO?!" ujar Vano dengan kedua mata yang menatap tajam kepada ketiga laki-laki yang berada di hadapannya saat ini. "NGAPAIN KALIAN DATANG KE SINI?!"

Rai dan kedua temannya yang mendengar pun langsung menatap ke arah Vano yang saat ini sudah berdiri tepat di depannya membuat salah satu di antara mereka hendak berdiri dari duduknya untuk menghampiri laki-laki tersebut.

"Rai," panggil Samuel ketika melihat sahabatnya itu yang sudah berdiri berjalan ke arah Vano. "Jangan."

Begitu pula dengan Denis yang juga sama khawatirnya karena takut terjadi pertengkaran di sini.

"El, gimana dong?! Gue takut mereka malah berantem di sini, kita harus pisahin mereka berdua dari sekarang juga!"

"Iya, gue tahu, Nis. Tunggu dulu, nanti kalau gue bilang tahan, kita langsung tahan mereka."

"Oke," sahut Denis dengan kepala yang mengangguk.

Kini tepat di depan mereka saat ini Rai sedang berjalan secara perlahan mendekati Vano yang masih menatap tajam ke arah seseorang yang berada di hadapannya itu dengan nafas yang tidak teratur.

Begitu terlihat jelas bahwa Vano sangat tidak menyukai kehadiran Rai di sini, sehingga apa yang ditakutkan pun terjadi.

Rai baru saja melayangkan satu tangannya ke arah wajah laki-laki itu yang membuat Vano tersungkur ke belakang. Samuel dan Denis yang melihatnya pun langsung sigap menghampiri dan menahan kedua orang tersebut agar tidak terjadi keributan di sini.

"RAI, JANGAN RAI!" bentak Samuel. "Lo harus bisa atur emosi lo sendiri. Inget, Rain nggak akan suka kalau lo selalu main fisik kaya gini."

Mengingat nama Rain membuat Rai langsung memejamkan kedua matanya dengan tubuhnya yang seketika melemas. Kemudian Vano yang melihatnya pun berdecih setelah melihatnya.

"Dasar nggak tahu diri!" ujar Vano dengan kedua mata yang menatap marah kepada Rai. "Seharusnya lo nggak usah hadir di kehidupan cewek gue, Anjing! Lo itu perusak hubungan gue sama Rain, meskipun lo itu sahabatnya dari kecil, tapi seharusnya lo tahu batasan! Jangan jadiin persahabatan kalian sebagai alasan, gue udah muak dan capek denger semuanya."

Rai, Samuel dan Denis masih diam mendengar semua yang baru saja dikatakan oleh Vano. Laki-laki itu sangat marah kepada Rai.

"DIMANA RAIN?!" tanya Rai dengan kedua mata yang menatap tajam. "NGGAK USAH BANYAK BACOT! DIMANA SAHABAT GUE? JAWAB ANJING!"

Mendengar hal tersebut membuat kedua tangan Vano semakin terkepal, sedangkan Rai masih dengan posisi yang sama ditahan oleh Samuel.

"KENAPA LO TANYA SAMA GUE, HAH?! LO BILANG KALAU LO SAHABATNYA, TERUS KENAPA LO NYARI KE SINI BANGSAT?! LO SAHABATNYA DIA, 'KAN? SEHARUSNYA LO TAHU DIMANA SAHABAT KECIL LO ITU SEKARANG!"

Emosi Rai semakin naik membuat laki-laki itu menggelengkan kepala dengan kedua tangan yang mengepal kuat. Ia benar-benar ingin memukul kekasih dari sahabatnya itu lagi karena dirinya yang merasa harus memberinya pelajaran kepada Vano.

"LO PACARNYA RAIN, 'KAN?! PASTI LO TAHU DIMANA RAIN SEKARANG! SAMUEL SAMA DENIS JADI SAKSI KALAU RAIN PULANG BARENG SAMA LO!"

Samuel menghela nafas, laki-laki itu kembali mengeratkan pelukannya terhadap sahabatnya tersebut agar tidak terlepas. Sedangkan Rai yang mulai memberontak pun berkata, "El, lepasin gue! Dia harus gue kasih pelajaran sekarang juga! Gue yakin kalau hilangnya Rain pasti ada hubungannya sama dia!"

"Nggak, Rai. Tenangin diri lo, kita bisa bicarain ini baik-baik, jangan kaya gini."

"Gue nggak bisa," ujar Rai dengan kedua matanya yang masih menatap tajam Vano. "Dia nggak akan bisa diajak bicara baik-baik."

"APA LO?!" Vano ingin laki-laki itu pergi dari Rumahnya. "PERGI LO SEMUA DAN JANGAN PERNAH DATANG LAGI KE RUMAH INI!"

Rai langsung berdecih, lalu tersenyum smirk. "Oh, jadi gini cara lo menyambut teman lo, hah? Asal lo tahu aja, gue nggak akan pernah pergi sebelum lo kasih tahu gue dimana Rain sekarang!"

"GUE UDAH BILANG KALAU GUE NGGAK TAHU SAMA SEKALI DIMANA RAIN!"

"Bohong!" ujar Rai dengan satu alis yang terangkat. "Lo pikir gue bodoh? Gue tahu saat lo bohong dan jujur, Van. Gue ... sahabatnya pacar lo, selama ini dia selalu cerita tentang semua masalahnya sama gue. Apa lo pikir gue nggak tahu apa-apa, hah? Jadi tolong jawab jujur, kemana lo bawa Rain pergi tadi?!"

Vano tidak pernah menyangka bahwa hubungannya dengan Rain akan serumit ini. Jujur saja, bahkan ia saja sedari tadi merasa menyesal karena telah terbawa emosi dengan meninggalkan kekasihnya itu di tempat sepi itu seorang diri. Dirinya juga tidak tahu bagaimana itu bisa terjadi, karena yang ada di dalam pikirannya saat ini adalah perasaan cemburunya yang begitu besar terhadap Rai, sahabat kecil dari kekasihnya itu.