Chereads / BOUND BY PROMISE / Chapter 22 - SESEORANG YANG BERHARGA

Chapter 22 - SESEORANG YANG BERHARGA

Sedari tadi Mitha tidak enak hati lantaran anak gadisnya belum juga memberikannya sebuah kabar kepadanya. Biasanya Rain akan memberitahunya bahwa gadis itu akan pulang, tetapi sudah lewat jam pulang Sekolah yang ditentukan, putrinya belum menghubunginya sama sekali sehingga membuatnya benar-benar mencemaskannya.

Sementara itu Raya yang tidak sengaja melihatnya pun langsung bertanya. "Mitha, kamu kenapa? Kamu baik-baik saja, 'kan?"

Karena perkataannya tersebut membuat dua pria yang sedari tadi berbincang pun langsung memusatkan perhatiannya kepada Mitha yang saat ini sedang melihat ponselnya dengan raut wajah yang khawatir.

"Sayang, kamu kenapa?" tanya Amar dengan satu tangannya yang saat ini mengusap pundaknya. "Ada apa? Bilang sama aku."

"Rain ..." Wanita itu menggantungkan perkataannya sembari memandang suaminya yang saat ini juga sedang memandang ke arahnya. Sangat terlihat bahwa Mitha sekarang benar-benar terlihat tidak tenang sehingga membuat Amar langsung membawa istrinya tersebut ke dalam pelukannya. "Aku ..."

Semua orang yang berada di dekatnya saat ini masih menatap kepadanya. Mereka bertiga masih menunggu kelanjutan dari ucapan yang baru saja dilontarkan oleh Mitha.

Amar yang melihatnya pun langsung menghela nafas, kemudian menarik diri dari Mitha dan menatap balas tatapan wanitanya tersebut.

"Tenangin diri kamu, baru setelah itu kamu boleh cerita," ujar pria tersebut dengan kedua alis yang terangkat. Kedua tangannya saat ini berada di kedua pundak Mitha dengan tatapan teduhnya tersebut. "Sekarang kamu bilang sama aku, Rain kenapa, hm?"

"Rain," jeda Mitha dengan kedua mata yang sudah berkaca-kaca. "Dia ... belum ada kabar, aku ... aku takut terjadi sesuatu sama dia, Pa."

"Bukannya tadi Rai bilang kalau dia bakal ketemu sma Rain?" tanya Amar dengan kening yang berkerut. "Memangnya dia nggak ada kirim pesan sama kamu kalau dia udah pulang?"

Mitha yang mendengarnya pun langsung menggelengkan kepala dengan air mata yang entah sejak kapan sudah mengalir membasahi kedua pipinya tersebut. Wanita tersebut langsung memperlihatkan ponselnya dimana di sana terdapat pesan terakhir kalinya dengan Rain kemarin siang saat sepulang sekolah.

"Dia nggak ada kabar sama sekali," jawabnya dengan rasa takut yang semakin besar. "Aku bener-bener takut terjadi sesuatu sama dia, Pa."

Fadly dan Raya yang melihatnya juga turut cemas memikirkan anak gadis itu, tetapi mereka juga menunggu kabar dari Rai putranya untuk memastikan bahwa sahabatnya tersebut sudah bersama dengannya.

"Sayang," panggil Fadly kepada istrinya itu. "Coba kamu tanya sama Rai, apa dia udah sama Rain?"

"Iya Pa, aku akan coba hubungin dia dulu, ya."

Fadly yang mendengarnya pun langsung menganggukkan kepala, sedangkan Raya saat ini langsung berdiri dari duduknya dan berjalan ke ruang tengah untuk menghubungi putranya terlebih dahulu.

Di sisi lain saat ini Rai sedang berada di dalam mobil, laki-laki itu baru saja memasuki mobil dan ponselnya sudah berdering membuatnya langsung menghela nafas seketika.

Tanpa pikir panjang laki-laki tersebut langsung menerima panggilan dari Raya dengan kedua matanya yang menatap lurus ke depan.

"Halo Ma, ada apa?" tanya Rai.

"Sayang, Rain lagi sama kamu 'kan?"

Mendengar nama gadis itu disebut membuat Rai langsung mengulum bibirnya dengan satu tangannya yang menggaruk pelipisnya.

Tidak ada yang tahu bahwa Rain menghilang karena Rai tidak ingin membuat kedua orang tua mereka berdua khawatir memikirkan gadis tersebut.

Pada akhirnya Rai pun menghela nafas lalu berkata, "Rain katanya tadi lagi pergi sama temennya, nanti pulangnya aku jemput, kok," jawabnya dengan kedua mata yang terpejam.

"Maafin aku, Ma," ujar Rai dalam hati. "Aku terpaksa bohongin Mama, kalian semua."

Mengetahui hal tersebut membuat Raya langsung menyunggingkan kedua alisnya. Ia akhirnya bisa bernafas dengan lega setelah dirinya mendengar kabar tersebut.

"Ya udah, kalau begitu Mama minta tolong sama kamu kasih tahu dia untuk kabarin Mamanya dulu, ya."

"I-iya Ma, tapi ..." Rai menggantungkan ucapannya, sedangkan Raya yang mendengarnya pun langsung mengangkat kedua alisnya dan berkata, "Kenapa Rai?"

"Ma, Tante Mitha sama Om Amar masih di Rumah?" tanya Rai dengan kedua alis yang terangkat.

"Iya, mereka berdua masih di sini. Memangnya kenapa?"

Kedua mata Rai langsung terpejam sejenak dengan perasaan bersalah yang begitu besar terhadap mereka berdua. Tidak pernah terbayangkan bahwa kedua orang tua Rain akan kecewa kepadanya seandainya mereka tahu yang sebenarnya.

"Nggak, kok, Ma. Ya udah, kalau gitu Rai tutup dulu teleponnya, ya."

"Iya Sayang, kamu jangan nakal, ya," peringat Raya. "Mama nggak akan bukain pintu Rumah kalau kamu nakal."

Rai langsung terkekeh setelah mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh wanita tersebut. "Iya Ma, aku nggak akan nakal, kok, mungkin ... sedikit."

"RAI!" tegur Raya dari seberang sana, sedangkan laki-laki itu yang mendengarnya langsung menjauhkan ponsel dari gendang telinganya tersebut lalu mematikan sambungan panggilannya sepihak.

"Huh!" Rai langsung menyimpan ponselnya ke atas dashboard, kemudian menghembuskan nafas sebelum akhirnya bersiap-siap menjalankan mobilnya.

Langit yang sudah mulai menggelap membuatnya benar-benar sangat khawatir akan terjadi sesuatu kepada seseorang yang entah dimana keberadaannya saat ini.

Meskipun begitu Rai tidak bisa memungkiri bahwa laki-laki itu sangat mencemaskan keadaan dari sahabatnya tersebut sekarang.

Rain yang mungkin saja kedinginan, ketakutan, basah kuyup, mencari tempat berteduh dan lainnya. Dan terpenting dari semua itu adalah, kebiasaan gadis itu yang selalu menyebut namanya ketika dalam kesulitan.

"Dan aku nggak tahu, apa kamu sekarang baik-baik aja atau nggak sama sekali."

Sekali lagi jika teringat dengan hal tersebut membuat Rai kecewa kepada dirinya sendiri lantaran ia yang tidak bisa mendapatkan kesempatan untuk berada di samping gadis itu, begitu pula dengan dirinya yang mungkin takkan bisa memaafkan diri sendiri jika terjadi sesuatu kepada Rain.

Saat ini tujuannya adalah menemui seseorang yang menjadi tersangka utama dari masalah ini. Rai langsung mengiriminya sebuah pesan kepada Samuel untuk memberitahukannya.

"Halo Rai," sapa seseorang dari seberang sana.

"El, kita ke tempat tongkrongan Vano dulu."

"Hah? Kenapa?"

"Udah ikut aja," ujar Rai dengan wajah datarnya itu. "Rain pulang bareng sama Vano, seharusnya dai tahu 'kan dimana ceweknya sekarang."

Terjadi keheningan beberapa saat sebelum akhirnya sebuah sahutan dari seseorang yang berada di seberang sana.

"Iya juga, kenapa gue nggak kepikiran dari tadi, ya?"

"Lo bego, kan tadi sebenernya gue mau bilang kaya gitu sama lo." Bukan suara Rai, tetapi Denis yang saat ini sedang bersama dengan Samuel. Sedangkan Rai saat ini hanya menggelengkan kepala dan langsung mematikan sambungan panggilannya untuk kembali fokus pada kemudinya tersebut.

Kedua tangannya mendadak mengepal kuat setelah mendengar nama Vano kembali. Seandainya penyebab semua ini adalah laki-laki itu, maka dengan senang hati Rai akan menghancurkannya habis-habisan, tidak peduli bahkan jika itu nyawanya yang harus menjadi taruhannya.

Karena bagi Rai, Rain adalah seseorang yang begitu berharga di dalam hidupnya.