Chereads / Farmakologi Cinta / Chapter 27 - 27. Melamun Aja

Chapter 27 - 27. Melamun Aja

Kaki Pradita pegal karena selama praktikum itu ia berdiri terus. Sesuai absennya, ia baru mengerjakan resep pulveres paling terakhir. Tangannya cenderung basah karena keringat sehingga kerjanya jadi agak lama.

Pradita melipat-lipat kertas perkamen berisi serbuk obat-obatan yang telah ia bagi serata mungkin. Ia melipat bungkus obat itu sambil mengingat lagu Dewatno di dalam hatinya.

Seketika pikirannya ternodai dengan wajah Bara dan Danu. Kedua laki-laki itu pasti telah bekerja sama untuk membuat pikiran Pradita menjadi kacau. Ia sampai harus mengerjap-ngerjapkan matanya sambil menggelengkan kepala.

Danu si cowok sialan itu entah kesambet atau bagaimana. Seenaknya aja dia ngomong, seolah ngerasa jadi orang yang paling benar sedunia. Jelas-jelas Danu menyalahkan dirinya karena berteman dengan Bara.

Lalu, tiba-tiba Bara datang sambil merangkul Pradita dan mengaku-ngaku sebagai pacarnya. Aduh, gawat! Semua anak kelas sebelas yang ada di sana pada ngelatin ke arah mereka. Pradita tidak pernah bermimpi menjadi pusat perhatian semua orang di sekolah.

No, no, no. Ia sama sekali bukan tipe cewek tukang cari sensasi. Semuanya berawal dari Bara yang mendekatinya dan ternyata Pradita baru sadar kalau ternyata Bara sengaja pengen supaya mereka jadian.

Entah mengapa, Pradita tidak percaya jika Bara memang benar-benar menyukainya. Sikapnya selalu menyebalkan. Dan, khusus di hari pertama mereka pura-pura jadian ini, Pradita malah jadi seperti yang memanas-manasi Danu.

Lagi pula untuk apa Danu makan di depan Tante Didin sambil curi-curi pandang ke arah Pradita dan Bara? Danu pasti penasaran ingin melihat seperti apa dirinya berpacaran dengan Bara.

"Kamu kan udah janji mau jadi pacar aku selama seminggu. Kamu gak boleh nunjukkin sikap kasar atau marah-marah sama aku di depan semua orang ya. Janji ya. Kalau kamu sampai begitu, itu artinya kamu gak gentle," ancam Bara.

Pradita hanya bisa pasrah saja saat Bara merangkul bahunya. Jujur saja, sebenarnya ia senang-senang saja bersama dengan Bara, tapi … mustahil jika mereka sampai jadian beneran.

Pradita merasa cukup horor saat melihat tatapan para ciwi-ciwi yang super bengis sampai membuat lututnya lemas dan hatinya ciut seketika. Apa jadinya kalau para ciwi itu tahu jika Pradita dan Bara hanya pura-pura pacaran?

"Dit, ini udah belum?" tanya Yuan sambil menunjuk botol Acidum Ascorbicum.

"Eh, udah. Sori, gua lupa balikin."

Yuan memasang wajah masam dan kemudian membawa botol obat itu pergi tanpa mengatakan apa-apa lagi. Pradita sampai lupa mengembalikan obat itu ke raknya semula.

Pradita kembali menekuni acara lipat-melipat sambil diiringi lagu Dewatno. Lebih baik mengumandangkan lagu kesukaannya saja di dalam pikirannya daripada mengingat-ingat para cowok kacau balau itu.

Ngomong-ngomong, kaset Dewatno yang sedang bobo cantik di kamarnya sekarang itu adalah milik Bara. Sepertinya Pradita akan sulit sekali menyingkirkan nama Bara dari kepalanya.

Akhirnya, dua puluh bungkus pulveres telah siap. Pradita memasukkannya ke dalam dus pulveres yang telah diberi etiket. Ia menceklis-ceklis jurnalnya sambil memeriksanya kalau-kalau ada yang terlupakan.

Setelah itu Pradita maju ke depan untuk menyerahkan hasil kerjanya pada Bu Hasni. Yaaa, dia lagi, dia lagi. Bu Hasni menatapnya sambil melayangkan senyum yang mirip seperti seringai mengejek.

Masalahnya, beliau melihat Pradita saat ia masuk ke dalam ruangan praktek setelah menerima labjas dari tangan Bara.

Astaga Pradita baru ingat jika labjas ini memang milik Bara. Secara tidak langsung, benda itu telah memeluk tubuhnya. Pradita bergidik ngeri saat menyadari hal itu.

"Sudah selesai, Dita?" tanya Bu Hasni.

Ingin sekali Pradita membalas sambil menjulurkan lidah pada Bu Hasni. Kalau belum selesai untuk apa ia menyerahkan hasil pekerjaannya ke sana?

"Sudah, Bu," jawab Pradita tanpa menatap lagi wajah guru pengawas praktek itu.

Baru saja Pradita ingin kembali ke mejanya, tiba-tiba Bu Hasni kembali berkicau, "Kamu gak melamun lagi kan, Dita?"

Semua orang yang berada di dekat meja Bu Hasni menoleh pada mereka. Jantung Pradita berdetak kencang. Apa-apaan ini Bu Hasni? Sepertinya guru itu sentimen sekali padanya. Ia terpaksa membalikkan badannya. "Gak, Bu. Saya gak melamun."

"Ah masa? Ini dosis maksimalnya belum kamu hitung," ucap Bu Hasni sambil mengangkat jurnalnya.

Pradita membuka mulutnya lebar-lebar. Ia merasa malu sekaligus gondok pada dirinya sendiri. Ia menyeringai dan kemudian mengambil kertas jurnal itu dengan wajah yang diliputi rasa malu dari ujung kaki ke ujung kepala.

Pradita kembali ke mejanya dan segera menghitungnya dengan baik dan benar. Setelah selesai menghitung DM, kemudian Pradita kembali ke meja Bu Hasni dengan super duper terpaksa.

"Ini, Bu," cicit Pradita.

Bu Hasni kemudian tersenyum lebar yang tidak sampai ke matanya. "Lain kali kamu gak boleh ceroboh lagi ya, Dita. Kalau ini ulangan praktek, kamu sudah saya kasih nol."

Pradita menunduk. "Ya, Bu. Maaf."

"Ya sudah. Sana kembali ke mejamu," ucap Bu Hasni sambil menggerakkan tangannya.

Pradita bergegas kembali ke mejanya dan mengambil segala peralatan yang kotor. Ada mortir, stamper, cawan penguap, erlemeyer, sudip, spatel logam, dan lain-lain. Ia mencucinya hingga bersih.

Lalu ia ke pintu samping laboratorium dan berjongkok untuk membersihkan mortir halusnya dari sisa-sisa salep dengan menggunakan serbuk gergaji yang sudah disiapkan oleh pihak sekolah.

"Lu kenapa, Dit?" tanya Ayuna yang membuatnya terkejut.

"Eh, gak apa-apa, Yun," ujar Pradita bohong.

"Bu Hasni kadang suka ngagetin ya," bisik Ayuna sambil ikut berjongkok di sebelahnya.

Pradita terkekeh pelan sambil menoleh ke belakang karena takut suaranya terdengar oleh Bu Hasni. "Iya bener. Dia emang ngagetin plus nyebelin."

Ia kembali menoleh lagi ke arah Bu Hasni. Sepertinya si guru seksi super menyebalkan itu tidak mendengarkan pembicaraan mereka karena sejak tadi ia sibuk mengetik di ponselnya, Nooki 3660 seri terbaru yang sudah dilengkapi dengan kamera.

Pradita ingin sekali memiliki ponsel yang ada kameranya. Pasti keren sekali jika bisa berfoto-foto ria dengan teman-temannya. Ibunya tidak mungkin membelikannya ponsel sebagus itu. Bisa memiliki ponsel di usia enam belas tahun saja sudah hebat.

Ibunya selalu mengomel-ngomel tentang betapa beruntungnya anak yang lahir di zaman sekarang di mana sudah mengenal yang namanya ponsel. Jika ada penting apa pun bisa langsung telepon, meski jujur saja mengisi pulsanya selalu membuat Pradita harus berhemat-hemat.

Jika sudah bekerja dan menghasilkan uang, ia pasti bisa seperti Bu Hasni yang membeli ponsel mahal dengan fitur kamera terbaru. Pradita menghela napas.

Sekarang tugasnya adalah sekolah dan menuntut ilmu setinggi langit. Selesai membersihkan mortir dengan serbuk gergaji, Pradita kembali ke wastafel dan mencuci mortir itu dengan sabun sampai benar-benar bersih.