Kini semua anak yang ada di sana menatap mereka sambil menjaga jarak. Danu merasa tidak enak. Matanya melirik ke arah kantor TU yang letaknya tidak jauh dari kelasnya. Syukurlah tidak ada guru yang lewat.
"Gila lu ya!" Danu menunjuk Pradita dengan kesal. "Lu becanda kan, Coy."
"Gua serius," ucap Pradita tanpa keraguan sedikit pun.
"Ngomong-ngomong nama dia Pradita. Kenapa kamu nyebut dia 'coy'?" tanya Bara sambil menautkan alisnya.
"Suka-suka gua lah! Dia kan sohib gua!" bentak Danu dengan napas yang terengah-engah karena emosi.
Pradita sambil memejamkan matanya mendengar suara Danu yang begitu keras. "Bara, aku haus. Kita beli minum ke kantin yuk."
"Hayu. Aku yang traktir ya, Yang." Bara menarik Pradita menjauh dari sana. "Eh, Yang, kamu udah dengerin kaset Dewatno yang aku pinjemin ke kamu?"
"Udah," jawab Pradita dengan suara lembut.
Semua orang menatap pasangan muda itu dengan mulut menganga. Di antara teman-temannya itu pasti ada salah satu fans-nya Bara atau bahkan mantannya. Danu yang melihatnya dibuat kesal plus malu karena ia jadi tampak seperti pecundang di hadapan teman-temannya.
Lalu Bara dan Pradita menghilang di belokan. Danu mengusap wajahnya dan kemudian masuk kembali ke kelas sambil mengeluarkan botol minum dari tasnya.
Yudi mendekatinya dan kemudian melayangkan tatapan iba. "Jadi, mereka udah jadian gitu? Terus lu gimana?"
"Gak tau!" bentak Danu kesal.
"Yeee, gak usah bentak-bentak ke gua," protes Yudi.
"Lu denger sendiri kan. Sekarang si Pradita malah jadian sama Bara. Gila kan!"
Yudi mengernyitkan dahinya. "Gak juga sih. Ya, biarin aja mereka jadian. Emang kenapa? Kan si Dita juga gak ngelarang lu kalau lu jadian sama Arini."
Detik berikutnya Arini masuk ke dalam kelas sambil memegang plastik batagor di tangannya. Ia melirik ke arah Danu yang masih diliputi amarah. Ia langsung melotot pada Yudi.
"Yudi, lu mah bikin gua malu aja," bisiknya pelan. "Gimana kalo si Arini denger perkataan lu barusan?"
Yudi terkekeh. "Biarin aja. Betewe, sebenernya lu sukanya sama siapa sih? Arini apa Dita?"
Danu merasa tidak tenang saat Yudi menanyakan hal itu di dekat Arini yang sepertinya sedang menguping pembicaraan mereka. Bagaimana jika Arini malah jadi semakin membencinya?
"Pradita itu sohib gua," ucap Danu dengan suara pelan.
"Yaaa kan siapa tau … Soalnya sikap lu barusan kayak yang cemburu gitu," ucap Yudi sambil mengernyit.
"Cemburu gimana?"
"Gua gak buta, Nu. Yang gua liat itu, lu cemburu karena si Dita sekarang jadian sama Bara."
Danu terkekeh sambil mengerutkan dahinya. "Gak lah! Gua sama dia itu cuman temenan."
"Yakin?"
Kelas semakin penuh dengan murid-murid yang baru saja selesai jajan di kantin. Danu jadi teringat kalau ia sendiri belum makan. Ia melirik jam di dinding. Waktu istirahatnya tinggal lima belas menit.
"Aduh gawat! Gua belom makan! Gua mau jajan dulu."
Danu lekas berlari menuju ke kantin dan di sanalah ia melihat sepasang burung yang tengah dilanda asmara. Jujur saja, Danu mual melihat kemesraan Bara dan Pradita. Mereka pasti terlalu banyak makan micin sampai-sampai mereka berani bersikap begitu di depan banyak murid-murid lainnya.
Bara menawarkan Pradita sesendok baso dan diterimanya sambil tersenyum manis. Danu melangkah dengan berat hati menuju ke arah Tante Didin yang letak kiosnya bersebrangan dengan tempat duduk Bara dan Dita.
Danu menyambar sekotak nasi goreng dan kemudian membayar dua ribu rupiah. "Ini, Tante," katanya sambil matanya melirik ke arah Pradita dan Bara.
"Mau sama es lemon tea gak, Nu? Biar kepalanya gak panas," sindir Tante Didin.
"Hah?" Danu membelalak. "Maksudnya?"
"Ya, kayaknya sekarang belahan jiwa kamu sudah ada yang punya tuh," kata Tante Didin sambil mengangguk ke arah sepasang anak muda yang tengah dimabuk alkohol sembilan puluh persen, eh maksudnya asmara.
"Dia bukan belahan jiwa saya, Tante," jawab Danu dengan wajah datar.
"Ah, masaaaa?" goda Tante Didin. "Tante lihat dari tadi kamu kayak yang kesel gitu liatin mereka duaan. Kamu cemburu yaaah." Danu hendak membantah perkataan Tante Didin, tapi kemudian Tante Didin menyerahkan seplastik es lemon tea. "Nih, buat kamu, gratis."
"Eh … Serius, Tante?"
"Hooh. Kasian Tante liatin kamu sedih gitu. Tante juga dulu pernah cemburu sama cowok kesukaan Tante."
Danu terperangah. Tante Didin malah curhat. Sebelum waktu istirahatnya habis. Danu membuka kota nasi goreng itu dan menyendoknya dengan cepat.
"Hmmm, masa sih, Tante?" tanya Danu menanggapi cerita Tante Didin.
"Iyaaa. Dulu Tante pernah suka sama kakak kelas, tapi dia malah jadian sama temen sekelasnya. Rasanya tuh nyeseeek banget di dada. Tante cuman bisa sabar aja liatin mereka berdua kayak Dita sama Bara. Suap-suapan, terus senyum-senyum, ketawa-ketiwi gak jelas. Gak tau lah ngomongin apa. Genit banget lagi ceweknya."
Danu melirik lagi ke arah Pradita. Sahabatnya itu bukan termasuk cewek yang genit seperti yang Tante Didin ceritakan. Setidaknya Pradita masih bersikap normal. Entahlah, yang normal itu seperti apa.
Tante Didin mendesah sambil menatap Bara yang sedang memainkan rambut Pradita sambil tersenyum manis. Danu menyendok nasi gorengnya lagi dengan cepat sambil membantu menelannya dengan bantuan es lemon tea.
"Coba aja yah, dari dulu Tante berani ngungkapin perasaan Tante ke cowok itu…."
"Ya ungkapin aja, Tante. Emangnya kenapa?"
Tante Didin menatapnya terkejut. "Gak etis lah kalau cewek yang nyatain duluan. Malu. Gimana kalau ditolak?"
"Tapi buktinya sekarang Tante nyesel," ucap Danu jujur.
"Iya sih. Ah, lagean udah berlalu." Tante Didin menggerakkan tangannya sambil lalu. "Ngomong-ngomong, kenapa kamu gak nyatain perasaan kamu sama Dita?"
"Hah?! Gak lah, Tante. Dia kan sahabat saya."
"Halah. Sahabat." Tante Didin mendengus. Lalu ada seorang anak kelas sepuluh yang membeli permen karet.
Danu bingung sendiri kenapa ia malah menyantap nasi gorengnya sambil berdiri seperti yang sedang standing party? Tanggung sedikit lagi nasi gorengnya mau habis. Danu melahapnya tanpa mengunyahnya lama-lama.
Matanya melirik ke jam dinding. Waktunya empat menit lagi. Lalu ia baru menyadari jika Pradita dan Bara sudah tidak ada di sana. Ia sampai tidak tahu kapan temannya itu menghilang. Ia semakin mempercepat makannya dan menyeruput es lemon tea sampai ludes.
"Makasih ya, Tante lemon tea-nya. Saya masuk kelas dulu."
"Sama-sama, Nu!" seru Tante Didin sambil melambaikan tangannya diiringi senyuman manis.
Tante Didin memang penyejuk hati. Setidaknya masih ada orang yang baik padanya hari ini. Diberi senyuman dari tante-tante saja sudah cukup membuat Danu bahagia.
Pradita pasti sudah pergi ke ruang praktek. Sekarang kan jadwalnya untuk praktikum resep. Kebetulan laboratorium resep berada di sebelah kantin. Danu iseng melongok ke sana. Ternyata Pradita sedang berdiri di depan laboratorium sambil mondar-mandir.