Arini menarik tangan Danu dan mengajaknya ke kantin. Untunglah Tante Didin masih ada di sana.
"Eh, Danu. Mau jajan apa, Nu?" tanya Tante Didin dengan nada menggoda. Senyumnya penuh arti saat melihat Arini berdiri di sebelahnya.
Danu seolah bisa membaca pikirannya. Tante Didin pasti menyangka sesuatu telah terjadi di antara Danu dan Arini. Itu memang benar, meski belum sepenuhnya pasti.
Danu terkekeh. "Kamu mau jajan apa, Rin?" tanya Danu pada Arini.
"Aku mau beli gorengan aja," jawabnya sambil mendekat ke arah keranjang gorengan.
Makanan yang lain sih sudah habis, tapi sudah sore begini Tante Didin masih saja sedia gorengan. Tante Didin memang yang terbaik. Ia memang paling paham kalau anak Farmasi itu pulangnya sampai sore dan sudah pasti kelaparan. Tante Didin akan setia menemani sampai anak-anak yang praktikum sore-sore sudah pulang semua.
"Boleh, boleh," ucap Tante Didin semangat. "Ini masih pada baru dibikin. Ayo dipilih mau yang mana?" Tante Didin sudah mengambil plastik dan jepitan makanan.
Di sana ada pisang goreng, gehu, bala-bala, tempe, jomblo, eeehh … combro maksudnya, dan tidak ketinggalan ada ubi goreng juga.
"Aku mau yang ini, ini, ini, sama itu, terus itu juga," kata Arini menunjuk-nunjuk makanan.
Danu menelan ludah. Arini jajannya banyak juga ya. Ia mengambil setiap macamnya masing-masing dua.
"Rin, banyak banget kamu belinya?" tanya Danu.
"Kan buat bagi-bagi sama kamu." Arini kemudian meminta plastik lain dan membaginya dengan Danu. "Ini buat kamu."
Danu tersenyum lebar. "Makasih ya. Besok uangnya aku gantiin deh."
"Ih ga usah! Kan aku yang traktir," ucap Arini sambil nyengir.
"Makasih ya," ulang Danu dengan nada yang lebih lembut.
Mereka berdua berjalan bersama meninggalkan kantin dan kemudian sama-sama menuju ke depan gerbang. Mereka jalan pelan sekali, sambil menikmati angin sepoy-sepoy yang menyejukkan.
Sinar matahari sore memang indah. Cahayanya yang keemasan menembus dedaunan dan ranting-ranting pohon sehingga membentuk bayangan di sepanjang jalan. Danu menatap ke arah lapangan basket di sebelah kirinya sambil mengunyah bala-bala.
"Udah lama ya kita gak pernah olahraga basket," ujar Danu.
"Iya. Semoga nanti lusa olahraganya basket ya," ucap Arini ceria.
"Iya atau sepak bola." Danu terkekeh. "Cuman lucu aja kalo ngeliatin anak cewek maen sepak bola yang ada bolanya direbut-rebut dan bawa sendiri. Gak ada tuh pake strategi ato oper bola. Kayak ngerebutin cowok aja."
Arini tertawa pelan sambil menutup mulutnya dengan punggung tangannya. "Ah, Danu. Kamu itu ada-ada aja."
"Emangnya kalo cewek ngerebutin cowok kayak gitu ya? Kayak model si Bara tuh. Semua cewek pada suka sama dia."
Arini mendesah. "Bara lagi. Kamu tuh keliatan banget cemburu sama mereka."
Danu menghentikan langkahnya. Arini menoleh padanya. "Gak, Rin. Bukan begitu. Aku cuman aneh aja, si Bara kan bukan cowok baek-baek, kenapa cewek-cewek pada doyan sama dia?"
"Doyan? Makanan kali." Arini terkekeh. "Yaaa, di mata para cewek, Bara itu cakep, tajir, terus baek lagi. Yaaaaa keren aja gitu."
Danu mengangguk, lalu mereka sama-sama berjalan lagi. Ia jadi berpikir, apa untuk menjadi seorang cowok yang keren, ia juga harus mempunyai wajah yang tampan dan kaya raya? Ia hanyalah seorang siswa yang bermodalkan otak doang, tampang standar, duit pas-pasan.
"Terus kalau aku gimana, Rin?"
Arini mengulum senyumnya dan kemudian menurunkan plastik gorengannya. Ia mengunyah perlahan sambil melirik Danu sesekali. Danu balas menatapnya seolah menunggu jawabannya.
"Hmmm, aku harus jawab ya?"
"Iya dong. Dari tadi aku nungguin jawaban kamu."
Akhirnya bibirnya melengkungkan senyuman sambil memasang wajah malu-malu. "Kamu juga baek, cakep, terus pinter lagi." Tapi gak tajir ya. Iya emang sih.
"Masa sih, Rin?" Danu membalas senyumannya.
Bisa mendapatkan pujia dari seorang gadis tercantik seantero sekolah Farmasi sudah cukup membuat hati Danu berbunga-bunga sehingga membentuk taman yang indah di dalam hatinya.
"Iya. Kamu gak percaya sama aku ya. Kamu itu emang baek. Aku baru sadar kemarin kalau kamu itu sebenernya perhatian sama orang yang kamu sayangin. Aku paham kalau kamu marah sama Dita karena kamu takut kalau sahabat kamu itu sampai jatuh ke cowok yang salah." Arini menatap Danu dengan wajah yang serius.
"Tapi," lanjut Arini. "menurut aku, Bara itu bukan cowok yang salah kok. Dia itu cowok yang baek dan gak banyak tingkah. Kamunya aja yang gak percayaan, kayak gak rela gitu yah kalau sahabat kamu sekarang bareng sama temen yang laen."
Apa yang Arini katakan itu memang benar. Danu memang tidak rela jika Pradita sampai bersama dengan pria lain dan lagi pria itu adalah cowok yang menyebalkan seperti si Bara itu.
"Ya, gak tau deh, Rin. Aku masih belum percaya kalo si Bara itu cowok baek-baek."
Arini menepuk bahunya sehingga membuat keduanya terlonjak. Danu kaget, Arini sendiri terkejut dengan reaksi Danu.
"Sori."
"Gak apa-apa."
Arini menyeringai, tapi kemudian ia mengangguk sekali. "Aku cuman mau bilang kalau nanti juga kamu bakalan terbiasa sama mereka. Ini kan masih awal dan baru buat kamu. Sekarang kamu kasih tau aku yang sebenernya. Kamu sama Dita itu cuman temanan doang kan? Rasa sayang kamu sama Dita hanya sebatas sahabat aja dan gak lebih kan?"
Arini pernah menanyakan hal ini padanya waktu itu. Danu merasa jika Arini takut jika Danu sampai memiliki suatu perasaan pada Pradita. Jujur saja, perasaan itu membuatnya jadi bingung.
Namun, yang sedang bertanya padanya sekarang adalah Arini, gadis yang ia sukai sejak dulu.
"Aku sama Pradita cuman temen doang, Rin." Seketika jantung Danu berdetak cepat. Ia harus mengatakannya sekarang atau tidak selamanya. "Ka-kalau aku sama kamu … aku gak mau kalau kita cuman temenan doang."
"Danu…."
"Aku suka sama kamu, Rin," ucap Danu dengan jantung yang berdetak di tenggorokannya sehingga membuat jakunnya bergetar.
Dunia terasa seperti dikocok-kocok. Danu berusaha berpegangan pada … pada gorengan di tangannya.
Arini hanya diam saja sambil menunduk. Wajahnya memerah seperti tomat.