Abare masih tak sepenuhnya percaya, ia ingin benar-benar memastikan apa yang ia dengar tadi.
Abare lalu baik ke atas lantai dua rumah itu. Ia mengintip dari luar jendela kamar Leony dan mendapati kalau kamar itu kosong. Lemarinya terbuka dan isinya nampak banyak yang sudah diambil. Tak salah lagi, Leony memutuskan kabur dari rumah saat itu juga.
Terdengar keributan di bawah sana, tentunya itu suara ayahnya Leony yang masih merasa kesal dengan perbuatan putrinya itu. Pasti semua orang yang tidak tahu kebenarannya seperti apa akan memiliki pemikiran yang sama dengan ayahnya Leony.
"Ada apa dengan anak itu?! apa dia sudah tidak dapat berpikir dengan baik?! Shouki sudah mau bertanggung jawab dan menikahinya, tapi malah dia sendiri yang tidak mau dinikahi dan kabur dari rumah. Apa sebenarnya mau anak itu?! kalau dia tidak cinta dengan Shouki, lantas untuk apa dia melakukan perbuatan tidak senonoh dengan Shouki?!"
Abare yang kebetulan mendengar omelan ayahnya Leony hanya bisa membatin. Ingin sekali ia membalas perkataan itu dan membela Leony. Namun apa daya ia tak punya bukti untuk membela dirinya sendiri dan Leony di depan orang banyak.
Bahkan di depan orang tua mereka sendiri.
"Apa kita kabari Shouki juga? siapa tahu dia bisa membantu kita mencari anak kita. Karena mau tidak mau ia adalah calon suami Leony," balas ibunya Leony. Dari nada bicaranya, pasti ibunya Leony sangat panik dan cemas.
"Ini sudah dini hari...." ayahnya Leony nampak ragu. "Tapi apa salahnya mencoba. Kau saja yang telpon, aku yang akan mencari anak itu sekarang. Kau tetap di rumah, jaga Kouki dan Hotaru."
Abare sudah pergi dari sana, ia mencari Leony ke sana kemari. Memanggil nama Leony, berharap panggilannya akan dibalas oleh sosok gadis yang ia cari tersebut. Ia bisa memperkirakan akan lewat mana ayahnya Leony, maka dari itu ia memilih jalan lain agar dirinya tidak berpapasan dengan beliau.
Abare yakin ia sudah dicurigai sebagai orang yang membawa Leony kabur.
Walaupun ia memang punya niat demikian. Tapi nyatanya ia sendiri terlambat, dan Leony sudah kabur duluan seorang diri.
"Mochi bodoh!"
Hening, tak ada yang menjawab. Tentu saja, bahkan bila sekarang masih siang, tak akan ada yang menjawab panggilan itu kecuali Leony memang berada di sana.
"Mochi bodoh! kau dimana?!"
Abare menggaruk kepalanya kesal. Ia tak tahu harus mencari gadis itu kemana. Abare sudah menghubungi Leony dengan ponsel cadangannya tersebut, tapi nihil, tak ada sekalipun balasan dari gadis bersurai coklat tersebut.
Abare dilanda kekhawatiran, tak tahu menahu dengan keberadaan sang pujaan hati yang menghilang entah kemana membuat Abare cemas setengah mati. Tak henti-hentinya ia menyebut nama gadis itu, dengan harapan akan ada balasan.
Udara terasa sangat dingin, walaupun masih dalam musim semi, tapi tak ada toleransi untuk suhu udara di malam hari seperti ini. Abare tak bisa membayangkan bagaimana gadis polos itu sendirian mengarungi dinginnya jalanan di malam hari seperti ini. Belum lagi ada pasang mata yang bisa saja punya niat tak baik pada gadis tersebut. Abare langsung mempercepat langkahnya. Ia tak ingin bayangan buruk di benaknya itu benar-benar terjadi.
"Maafkan aku mochi bodoh, seharusnya aku lebih cepat menemui mu. Seharusnya aku tidak teledor. Semua kebetulan yang terjadi seharian ini membuat kita berpisah dan tak dapat bertemu hingga sekarang," ujar Abare bermonolog dengan perasaan resah yang merundungi hatinya.
Kekhawatiran telah menjadi selimut tebal di dalam pikiran Abare. Gambaran demi gambaran buruk yang semakin jelas di pikiran Abare tak dapat ia tepis atau ia usir sekarang. Pada akhirnya Abare hanyalah seorang lelaki yang hancur bila kehilangan gadisnya.
Abare sempat meminta nomer ayahnya Higumi, ia terpikir untuk meminta bantuan pada beliau. Setidaknya mungkin ada rekan sesama supir taksi yang melihat Leony di perjalanan dan dapat memberitahukan itu pada Abare.
'Halo selamat malam, dengan siapa?'
"Ini saya Oji-san, ini nomer baru saya."
'Hoo, Nak Abare. Ada apa?'
"Apa saya boleh meminta bantuan Oji-san?"
'Tentu saja boleh. Mau minta bantuan apa?'
"Teman saya hilang, dia kabur dari rumah tak lama ini. Jikalau teman Oji-san atau Oji-san sendiri ada melihatnya, maka beritahukan pada saya. Saya akan mengirim fotonya setelah ini."
'Astaga, Oji-san tidak menyangka ini akan terjadi. Baiklah, Oji-san akan meminta bantuan pada yang lainnya kalau mereka melihat temanmu itu. Nanti akan Oji-san kabari lagi.'
"Terima kasih banyak Oji-san, maaf sudah merepotkan Anda lagi. Saya akan mengingat kebaikan anda dan membalasnya suatu hari nanti."
'Sama-sama. Semoga kau selalu beruntung.'
Panggilan diakhiri. Walau nada bicara Abare masih terkesan tenang dan teratur, namun yang terjadi dalam batin Abare adalah gejolak perang perasaan yang campur aduk. Dia seperti anjing yang kehilangan indra penciumannya, tak tahu arah dan penuh dengan ketidakpastian.
Seandainya Leony ada di sisi Abare, itu tak akan menjadi masalah. Karena Abare sudah punya persiapan untuk kehidupan diluar rumahnya. Ia memang memanfaatkan kehidupannya yang merupakan anak dari orang berada, tapi memanfaatkan dalam artian dapat membantu dirinya dalam masa kesulitan seperti ini.
Dan tak ada yang menyangka kalau hal seperti ini akan terjadi, bahkan untuk Abare sendiri.
Ia sudah menyusuri jalan hampir berjam-jam. Rasa penat tak lagi mampu mengusik tubuhnya yang dikendalikan oleh pikiran cemas Abare sekarang.
Abare yang tengah disibukkan mencari Leony tiba-tiba terhenti oleh kumandang adzan subuh yang menggema tak jauh dari sana. Di Jepang juga terdapat masjid, karena juga terdapat masyarakat yang beragama Islam, termasuk Abare sendiri.
Abare memilih untuk menghentikan aktivitasnya sejenak. Ia butuh suatu tempat untuk mencurahkan semua perasaan tak mengenakkan di dadanya, sekaligus kembali menjalankan kewajiban yang sudah ditetapkan oleh Tuhan-nya.
Ia lalu segera menuju ke asal suara Adzan tersebut, masuk ke dalam tempat ibadah dan mengambil air wudhu. Tak ada tempat lain yang dapat mengalahkan tempat ibadah bagi seorang manusia yang dilanda kegundahan hati.
.
.
.
.
.
"Hiks hiks."
Seorang gadis berjalan sendirian di tengah gelapnya langit yang belum dijumpai oleh sang mentari. Ia tak henti-hentinya menggosokkan tangannya untuk mendapat kehangatan walau hanya sedikit saja. Gadis itu ialah Leony, sendirian ditengah kebingungan harus melangkahkan kakinya kemana.
Gadis itu kemudian melihat sebuah bangunan yang terlihat teduh dan nyaman. Juga ada beberapa orang yang baru saja masuk ke dalam sana. Ya, itu adalah sebuah masjid.
"Mungkin aku bisa beristirahat sejenak di sana."
Leony mendekati tempat itu dan duduk di depan masjid tersebut. Ia tak enak bila masuk ke dalam sana, karena dirinya bukan seorang muslimah. Jadi dirinya memutuskan untuk duduk di teras masjid itu saja.
"Loh? adek kenapa duduk di sini? yuk sholat bareng. Halangan kah?" tanya seorang wanita lain dengan mukena yang sudah terpasang di tubuhnya.
"Maaf Onee-san, saya bukan muslim," ujar Leony dengan sopan.
"Oh! astaga, maaf. Saya tidak bermaksud---"
"Hehe, tidak apa-apa Onee-san."
"Kalau begitu masuk saja ke dalam. Lagipula masih ada tempat yang kosong, jadi kamu bisa duduk di situ. Nampaknya kamu sedang dalam perjalanan ya? wajahmu pucat sekali. Ayo masuk, nanti kalau kamu menunggu di luar seperti ini kamu bisa sakit," ajak wanita itu karena mengkhawatirkan Leony.
Leony sudah sangat kedinginan, akibat semalaman ia berjalan di tengah dinginnya malam, rasanya jaket yang menempel di tubuhnya ini tak lagi mampu menangkis dinginnya udara yang menusuk. Maka dari itu, Leony mengangguk dan mengiyakan ajakan wanita itu untuk masuk ke dalam masjid tersebut.
Leony duduk dan berdiam diri di barisan paling belakang shaf di sana. Ia bersandar di dinding dan duduk bersimpuh. Ia memperhatikan orang-orang yang tengah melaksanakan panggilan Tuhan mereka.
'Mereka khidmat sekali. Jadi tenang rasanya,' batin Leony.
Tak sadar, entah karena kehangatan di dalam sana atau karena sudah lelah sekali, Leony lalu tertidur dalam posisi duduk. Ia sudah tak dapat menahan kantuk yang tiba-tiba menyerangnya. Wajar, ia sudah tak tidur semalaman karena kabur dari rumah.
"Setelah ini aku harus mencari kemana?" tanya Abare bermonolog. Ia mengarah ke pintu keluar dengan wajah sendu. "Seandainya saja mochi bodoh ada di sini. Bisa jadi kan dia beristirahat di sini karena kelelahan."
Abare sempat menoleh ke arah samping sebelum ia keluar dari sana. Dan alangkah terkejutnya dia ketika melihat sosok yang ia cari itu tengah duduk dan tertidur di shaf wanita paling belakang sambil bersandar di dinding ruangan masjid tersebut.
Abare melangkah perlahan, masih dengan wajah tak percaya dia mendekati sosok itu yang ia yakini adalah Leony.
'Apa aku tidak salah lihat? semoga saja itu benar dia. Allah mendengar doa ku.' Abare membatin bahagia.
Setelah ia benar-benar berada di hadapan gadis itu, ia akhirnya yakin seyakin-yakinnya kalau gadis itu adalah Leony. Abare lalu berjongkok agar tingginya setara dengan Leony memegang lembut pipi gadis itu yang mulai menghangat.
"Mochi bodoh. Ini aku...hei, bangunlah," ujar Abare.