Chereads / Another Popularity / Chapter 21 - 21-Tak Menduga Bertemu Dia

Chapter 21 - 21-Tak Menduga Bertemu Dia

"Mochi bodoh. Ini aku...hei, bangunlah," ujar Abare.

Hening, Leony tidur sangat nyenyak. Abare sebenarnya tidak tega untuk membangunkan Leony sekarang ini, karena ia yakin Leony pasti baru saja tertidur. Namun ia khawatir kalau keluarga mereka berdua mencari mereka sampai ke sini dan menemukan mereka berdua. Abare takkan mungkin meninggalkan Leony sendirian di sini. Ia tidak mau terpisah lagi dengan Leony.

Abare memilih untuk menunggu, ia tak ingin mengusik Leony. Ia sendiri juga sangat lelah, semalaman tidak tidur dan berjalan kaki ke sana kemari di tengah udara dingin yang menusuk.

Abare menutupi tubuh Leony dengan jaketnya. Ia lalu memasang jarak di antaranya dengan gadis itu, tidak enak bila dirinya terlalu dekat dengan Leony di dalam tempat ibadah seperti ini. Pasti pandangannya jadi kurang nyaman. Terlebih mereka memang bukan muhrim.

Abare sangat bersyukur, ia mengucap kalimat syukur karena Tuhan-nya sudah mempertemukan dirinya dengan Leony. Mempertemukan di saat Abare tak tahu lagi harus mencari sosok gadis itu kemana. Di saat Abare tak punya petunjuk

Tapi ada satu yang Abare kembali khawatirkan sekarang.

"Ugh... Hiks hiks, jangan pukul Leony lagi Otou-san, hiks hiks."

Abare menoleh, Leony rupanya mengigau. Wajahnya memerah, keringat menetes dari pelipisnya. Abare mendekati Leony, dan menempelkan tangannya di dahi Leony.

"Astaga, panas sekali," ujar Abare. Wajahnya mendadak terlihat cemas. "Kau ini ceroboh sekali mochi bodoh. Sudah tahu kau ini tidak tahan udara dingin berlebihan. Sekarang kau jadi sakit seperti ini."

Abare lalu menggendong Leony dan membawanya pergi dari sana. Ia berharap ada klinik 24 jam di dekat situ. Abare sangat khawatir melihat Leony yang diserang demam seperti sekarang. Ia merasa sangat bersalah karena merasa tak bisa menjaga Leony dengan baik.

20 menit kemudian, Abare sudah berada di ruang tunggu klinik. Dengan banyak sekali barang bawaan di sampingnya. Tentunya itu adalah barang dia dan Leony, Abare sungguh kuat hingga dapat membawanya sambil menggendong Leony sekaligus.

"Apa ada keluarga dari pasien?" tanya si dokter yang menangani Leony.

Abare yang duduk di sana langsung berdiri. Puluhan pertanyaan siap ia layangkan pada dokter itu sekarang. Dan pastinya itu adalah pertanyaan tentang keadaan Leony.

Abare hendak mengatakan iya, tapi dirinya masih sebatas teman dengan Leony. Tapi dia tak punya pilihan, tak apalah dia berbohong sekali ini pada orang lain tentang status mereka. Toh dia juga pernah berbohong tentang itu ketika berlibur dengan Leony waktu itu.

"Saya keluarganya Dokter," ujar Abare.

"Wah! saya ada kabar baik untuk anda. Anda pasti suaminya bukan?" tanya si dokter tersebut.

"I-iya, saya suaminya," jawab Abare yang awalnya sedikit ragu. Entah karena jodoh atau bagaimana hingga orang-orang selalu melihat dirinya sebagai suami Leony.

"Selamat ya, istri anda tengah mengandung. Umur kandungannya baru menginjak satu minggu," ujar si dokter dengan wajah ramah.

Dada Abare mencelos. Kakinya menjadi lemas seketika, hatinya seperti dihantam palu besar yang membuatnya berkeping-keping.

Abare terduduk di sana, dengan ekspresi melongo tak percaya. Ia tak menyangka, rasanya seperti tak mungkin. Padahal dia sudah percaya sepenuh hati akan penolakan Leony pada pertanggung jawaban Shouki. Nyatanya, Abarelah di sini yang salah menaruh rasa percaya.

Dada Abare terasa sangat sesak, air matanya menetes. Persetan bila ada yang mengatainya sebagai lelaki lembek yang cengeng. Tapi rasa sakit bila mengetahui gadis yang dicintai telah mengandung darah daging lelaki lain itu tak dapat dijelaskan dengan kata-kata. Terlalu menyakitkan dan meruntuhkan pertahanan jiwa.

"Tidak...TIDAK!!!"

.

.

.

.

.

"Err, Ano...maaf. Tapi, apa anda adalah keluarga dari pasien tadi?" tanya seorang dokter.

Abare membuka matanya perlahan. Ia mengerjap pelan dan tiba-tiba berdiri heboh. Setengah jiwanya masih tak sadar, namun akal sehatnya menampar dirinya sendiri untuk bersikap wajar di depan seorang wanita berpakaian snelly¹ yang tengah menatap Abare dengan ekspresi heran tersebut.

"M-maaf membangunkan Anda. Saya, sudah selesai memeriksa keadaan pasien tadi," ujar dokter tersebut dengan ramah.

Abare yang masih mencerna keadaan. Mulai melamban dalam berpikir, Abare mendadak pragmatis. Kompromi seakan hilang sementara dalam kamus pikiran Abare. Ia menjadi linglung akibat mimpi yang ia alami tadi.

Ya, tadi itu hanya mimpi.

Mimpi terburuk yang paling tak diinginkan Abare untuk terjadi di dunia ini.

Seandainya aspirasinya dapat langsung di dengar Tuhan, maka ia akan meminta memori mengerikan itu didokumentasikan dalam bentuk lain sehingga Abare dapat memusnahkannya dari pikirannya dan juga membumihanguskan memori itu, ketika memori itu sudah berada di genggamannya.

Maafkan Abare yang terlalu hiperbola sekarang.

"Maaf, apa anda mendengarkan saya?" tanya dokter itu lagi. Abare seperti menolak reaksi alam pada dirinya. Ia buta dan tuli sejenak. Itu tak baik bila ia terus terjebak dalam ketakutannya tersebut.

Abare tersentak dari lamunannya. "Iya, maaf saya tidak fokus. Bagaimana keadaan pasiennya Dok? apa dia hamil? berapa bulan usia kehamilannya? bagaimana keadaannya sekarang? apa dia akan baik-baik saja Dok?"

Dokter itu mengulum senyum dan menahan tawa, ia menunduk sejenak untuk mengulum bibirnya lebih kuat agar tak melepaskan gelak tawa akibat perilaku Abare yang telrihat jenaka itu.

"Anda suaminya ya? maaf ya Pak, karena istri anda belum mengandung buah hati anda. Dia hanya kelelahan dan kurang tidur. Lebih baik anda masuk ke dalam agar saya bisa menjelaskan lebih lanjut. Tapi mohon untuk lebih tenang karena pasien tengah beristirahat," jawab dokter tersebut.

Abare masuk bersama dokter itu dan mendapati Leony yang masih terbaring lemah. Wajahnya yang terlihat memerah akibat panas suhu tubuh yang naik, membuat Abare tak tega. Ia kembali menyalahkan dirinya atas memburuknya kesehatan Leony sekarang.

"Sekali lagi saya minta maaf. Tapi, kalau saya boleh tahu. Kenapa di tubuh pasien banyak sekali luka? apa sebelum ini pasien mengalami kekerasan fisik?" tanya dokter itu pada Abare. Kini mereka berdua tengah duduk di dalam ruangan tersebut.

Abare tersentak, ia tak tahu akan hal tersebut. Bahkan bila ia tak mendengar penuturan langsung dari sang dokter, maka ia takkan mengetahui fakta akan tubuh gadis pujaan hatinya itu yang diselimuti oleh luka-luka yang pastinya terasa menyakitkan tersebut.

"S-saya, kurang tahu. Saya hanya menemukannya di sebuah tempat karena ia tak sadarkan diri," jawab Abare. Entah biasa dikatakan berbohong atau jujur si Abare ini sekarang.

"Dia terlalu kelelahan, dia sepertinya kurang tidur dan juga mengalami luka fisik akibat kekerasan. Dia harus beristirahat minimal sampai tiga jam ke depan. Karena tidak memungkinkan baginya untuk beraktivitas langsung sekarang ini. Selebihnya dia tidak mengidap gejala penyakit apapun. Ini resep obatnya, bisa anda tebus di apotik depan," ujar dokter tersebut. "Obat itu juga sudah disertai salep khusus untuk luka agar tidak meradang dan memar berkepanjangan. Dipakai sebelum membalut perban pada pasien. Untuk perban yang sekarang sudah saya pasangkan, jadi anda tidak perlu membangunkan pasien sekarang."