Untung klinik tidak sedang ramai pengunjung, jadi sampai sekarang, Leony masih berbaring di ranjang pasien yang ada di sana. Belum ada tanda-tanda Leony akan terbangun, panas di tubuhnya masih terasa menyengat kulit namun tak sepanas tadi. Nampaknya suhu tubuh Leony sudah mulai turun karena tubuhnya beristirahat dengan baik.
Abare mengenggam lembut tangan mulus Leony. Abare menelusupkan jemarinya di sela-sela jemari Leony. Genggaman penuh kasih sayang itu terasa begitu hangat dan nyaman. Walaupun tak dalam keadaan sadar, tapi dorongan alam bawah sadar Leony membuat gadis itu membalas genggaman tangan Abare. Tangan mereka berdua bertautan dengan mesra. Hati Abare terasa menghangat dan tenang saat dirinya berada di samping gadis yang ia cintai tersebut.
Sebuah kecupan tanda kasih sayang ia tempelkan di punggung tangan gadis yang tengah terbaring itu. Ia menempelkan tangan itu ke pipinya, Abare menjadi terlihat lebih manja. Ia menggesekkan pipinya pelan di tangan Leony tersebut, berusaha menyampaikan bahasa cinta melalui perilakunya tersebut. Abare benar-benar jujur dalam menunjukkan rasa sayangnya di saat sekarang ini. Berbeda dengan biasanya, Abare cenderung menutupi keinginannya untuk bermanja atau sekedar melakukan skin ship dengan Leony.
Tentu saja Abare malu, ketika Leony tahu bila ia ingin bermanja. Sifat tsundere nya itu tak dapat dikalahkan bila hanya dengan keinginan bermanja semata. Dan itulah yang menjadi senjata makan tuan bagi Abare sendiri. Ia dikekang dan diperbudak oleh gengsi, menolak jujur dan terbawa penasaran sempai detik ini.
Tapi tak apa, sekarang Abare sudah bermanja dengan gadis pujaan hatinya. Ia bahkan ingin sekali memeluk Leony erat sembari menggesekkan hidungnya di ceruk leher Leony yang wangi itu.
Tahan Abare, kau belum berhak melakukan itu. Jangan sampai skandal benar-benar terjadi. Kau tentunya masih ingin Leony menikmati masa mudanya dengan baik bukan?
"Ugh..." Leony merintih pelan. Entah merintih karena rasa sakit, atau merintih karena dia mulai tersadar dari tidurnya tersebut.
"Mochi bodoh," panggil Abare pelan. Matanya tak henti-hentinya tertuju pada Leony. Ia takut ada sesuatu yang menyakiti gadisnya tersebut. "Tunggu sebentar, aku akan memanggilkan dokter."
Leony yang masih belum sadar sepenuhnya tentu bertanya-tanya. Dokter? kenapa ia bisa dirawat begini? bukannya ia tadi terlelap di dalam masjid? dan yang membuatnya semakin dipenuhi tanda tanya adalah...
Kenapa Abare ada di sampingnya?
Apakah semua kejadian buruk yang menimpanya itu hanyalah mimpi?
Tapi tidak mungkin itu hanya mimpi, karena luka yang ada karena tangan ayahnya masih tertera jelas di tubuh putih bersihnya itu. Tak mungkin bila kesalahpahaman itu hanyalah mimpi bila luka itu ada di sini.
Begitulah pernyataan demi pernyataan yang menyeruak di dalam benak Leony. Menenggelamkan dirinya kembali dalam lautan rasa bingung, lebih beratnya lagi ia merasa sedih dan sesak dalam waktu yang bersamaan. Ia menangis lagi, ia tak kuasa untuk menyangkal perasaan sedihnya sekarang.
Leony akui dirinya lemah, Leony akui dirinya hanyalah gadis yang mudah terbawa perasaan dan butuh perlindungan seorang lelaki yang kuat dan memahami perasaannya sekarang.
Dan lelaki itu sudah ada di depan matanya sendiri.
Tak lama setelah itu, datanglah dokter dan seorang perawat sembari membawa beberapa alat untuk memeriksa kondisi tubuh Leony sekarang.
"Dia baik-baik saja, keadaannya sudah jauh membaik daripada tadi," ujar dokter tersebut sembari tersenyum.
.
.
.
.
.
Leony dan Abare masih ada di klinik itu. Dokter bersama asistennya tersebut telah keluar dari ruang tempat Leony dirawat itu. Kini keheningan tengah melanda ruangan tersebut. Tak sepatah katapun meluncur dari bibir merah muda mereka berdua. Tak ada yang berniat untuk memulai pembicaraan sekarang.
Tapi wajah halus dan menggemaskan itu berubah sendu. Gadis bersurai coklat itu mengalirkan permata bening dari matanya, permata yang sangat Abare tak inginkan jatuh dari iris indah gadis itu.
Abare sontak mendekat ke Leony. Ekspresi khawatir menghiasi wajah tampan dan tegas itu. Kilat mata yang tajam namun penuh perhatian itu tak beralih dari wajah manis yang sedang dibubuhi air mata tersebut.
"Ada apa mochi bodoh? kenapa kau menangis? apa ada yang terasa sakit?" tanya Abare cemas. Ia memeriksa bagian lengan Leony, sesekali memeriksa bagian wajah Leony. Siapa tahu ada luka yang belum diobati dan meradang. Begitulah perkiraan Abare sekarang.
"Hiks hiks." Leony masih terisak. Ia menangis sesenggukan, ia ingin menahan tangisannya namun tak sanggup. Rasanya dada dan tenggorokannya terasa sakit ketika ia mencoba menahan agar cairan bening itu tak keluar dari matanya.
"Tunggu sebentar, aku akan memanggil dokter terlebih dahulu," ujar Abare.
Grep
Abare menoleh, ia merasakan ada sepasang tangan mungil menahan lengan kekarnya agar ia tak beralih dari sana. Abare perlahan kembali duduk di samping Leony. Wajahnya melembut, tangannya mengusap wajah manis yang masih terisak itu.
"Kau kenapa hm? kenapa kau menangis? bicaralah, aku bukan cenayang bisa membaca isi hati orang asalkan kau tahu. Katakan saja mochi bodoh," ucap Abare. Meskipun ia selalu menggunakan intonasi tinggi setiap kali berbicara dengan orang lain, tetapi bila dengan Leony apalagi di situasi seperti sekarang, Abare akan berbicara selembut mungkin.
Para gadis lain yang memuja Abare pasti akan iri pada Leony, sangat-sangat iri. Karena lelaki setampan Abare hanya mau melembutkan nada bicaranya dan memberi bahasa cintanya pada Leony seorang. Walau gelar 'mochi bodoh' masih terus melekat di setiap kali Abare menyebut sosok pujaan hatinya tekembali.
"Hiks hiks, Abare...aku tidak melakukan itu. Aku bersumpah Abare, aku tidak pernah melakukan perbuatan memalukan seperti itu sampai sekarang. Hiks hiks, semua yang ada di rekaman itu palsu. Itu bukanlah aku. Aku hiks hiks aku tidak melakukan---"
"Ssssttt." Abare menempelkan jemari telunjuknya di gumpalan kenyal merah muda Leony yang bergetar itu. Menyuruh Leony untuk tidak berbicara lagi, karena tanpa Leony katakan pun ia sudah percaya dengan gadis tersebut.
Wajah Leony memerah, semburat tipis menghiasi pipi gembil gadis itu. Sentuhan lembut jemari Abare di bibirnya terasa menggelitik dan membuncah dadanya di saat yang bersamaan.
"Kau pikir aku akan percaya dengan video sial*n itu? tidak mochi bodoh, aku tidak sebodoh dirimu," ucap Abare. "Kalau saja aku yang ada di video itu, mungkin kau akan marah dan menamparku wajahku. Tapi kalau aku tidak, aku tahu itu bukan dirimu. Yeah....walaupun ada juga video sial*n lainnya yang menampakkan sosok yang sangat mirip dengan ku. Kita berdua dijebak, kita berdua difitnah. Ini semua pasti akal-akalan Shouki dan Momo. Mereka orang-orang tidak waras."
Abare mendekatkan wajahnya ke wajah Leony. Leony yang tadinya menunduk dan terisak langsung mendongak lurus ke arah wajah Abare. Kini wajah mereka berdua hanya tersisa beberapa sentimeter jaraknya sebelum bibir mereka berdua bersentuhan. Leony melotot, dia mendadak tak dapat memikirkan apapun. Otaknya mendadak tidak mau sinkron dengan tubuhnya. Ia diam bak patung yang tak dapat melakukan apa-apa.