"T-turunkan saja aku," ujar Leony pelan. Ia tidak mau menjadi beban untuk Abare, terutama di situasi seperti sekarang. "Aku bisa saja berjalan sendiri. Akan lebih cepat bagi kita untuk melarikan diri kalau aku tidak digendong seperti ini."
"Jangan mengada-ada! kau sekarang masih belum sembuh sepenuhnya. Nanti kalau kau pingsan lagi bagaimana?" ujar Abare. Ia masih setia menggendong Leony walaupun kini dirinya maish mencari tempat persembunyian untuk menghindar dari kejaran orang-orang yang sedang mencari mereka berdua.
"Siapa mereka itu? aku tidak mengenal mereka," ujar Leony.
"Aku yakin itu orang suruhan wanita tua itu," balas Abare. "Dilihat dari pakaian mereka, pasti itu orang suruhan wanita tua itu. Kalau bukan dia, bisa saja itu orang suruhan Shouki atau Momo. Entahlah, intinya kita berdua sedang dicari oleh mereka."
"Ck, maka dari itu kau harusnya menurunkan aku!" seru Leony kesal. Ia tak punya pilihan lain selain mencubit Abare agar lelaki blonde itu mau menurunkan dirinya.
"Aww! itu sakit, mochi bodoh!" balas Abare sedikit kesal. "Kau mencubit puting ku!"
"Siapa suruh kau menahan ku seperti ini? cepat turunkan aku, lalu kita bisa pergi leluasa dari sini," ujar Leony.
Apa yang dikatakan Leony itu benar, Abare langsung menurunkan Leony perlahan. Setelah itu mereka pergi dari sana dari celah bangunan lain yang ada di sana.
"Berhenti sebentar," ujar Abare. Ia melepas tas nya untuk mencari sesuatu di dalam tas itu. "Pakai ini,"
"Ehh?" Leony bertanya-tanya. Tapi ia tidak mau membuat smeuanya berlarut-larut, ia mengambil jaket dan kupluk laki-laki yang diserahkan Abare.
"Pakai ini agar kau tidak terlihat seperti perempuan. Setidaknya dari belakang, mereka tidak mengira kalau kau adalah dirimu," ujar Abare. "Aku juga akan memakai masker dan hoodie. Kau juga pakai masker ini."
Setelah itu, mereka berdua bergegas memakai penyamaran itu untuk mengelabuhi orang-orang yang mencari mereka itu.
"Apa kau yakin ini akan berhasil?" tanya Leony.
"Setidaknya sampai kita masuk ke dalam kereta Shinkansen," jawab Abare. Sebenarnya ia pun tak begitu yakin, tapi sedikit penyamaran lebih baik daripada tidak sama sekali.
"ITU MEREKA BERDUA!!"
DEG
Jantung Leony dan Abare rasanya mau lepas, mereka berdua yang masih dalam perasaan gugup dikejutkan oleh teriakan salah satu orang suruhan ibunya Abare yang menemukan mereka berdua.
Mereka berdua memberi aba-aba, perlahan mereka menoleh ke belakang dengan gerakan patah-patah. Tapi bukannya terlihat cemas, mereka malah menghela nafas lega. Sebab orang-orang itu bukannya sedang memergoki mereka berdua. Tapi mereka salah kira orang dan menangkap orang lain. Mereka berdua bersyukur karena bukan mereka berdua lah yang dipergoki oleh orang-orang itu.
"Argh! bukan mereka rupanya. Kalian kalau cari yang benar! jangan buang-buang waktu! nyonya pasti akan sangat marah bila sampai sore nanti kita masih belum bisa menemukan Tuan Muda," ujar salah satu di antara mereka.
Omelan orang itu dibalasi dengan anggukan dari orang-orang berpakaian hitam lainnya yang ada di situ. Mereka langsung berpencar ke arah masing-masing. Namun salah seorang di sana sempat melirik ke arah lorong di mana Abare dan Leony berada.
"Apa yang kau lihat?" tanya temannya orang itu.
"T-tidak apa-apa, ya sudah ayo kita pergi!"
'Rasanya tadi aku melihat ada orang di situ. Apa perasaan ku saja ya? apa aku salah lihat?' batin orang itu sebelum berlalu dari sana.
Lorong itu sepi, kosong, namun tak ada yang tahu kalau diujung lorong sana ada dua orang yang tengah bersembunyi dengan nafas yang tersengal-sengal. Abare sudah berinisiatif untuk bergegas pergi dari sana bersama Leony sebelum orang itu tadi sempat menengok ke lorong itu.
"Apa mereka sudah pergi Abare?" tanya Leony.
"Aku rasa begitu. Tapi jangan kembali ke sana. Mereka pasti masih berada tak jauh dari sana," jawab Abare.
"Tapi jalan menuju stasiun Shinkansen itu di sana," ujar Leony.
"Masih ada jalan lain mochi bodoh," ujar Abare. "Ayo ikut aku sini, kita harus cepat sebelum mereka menemukan kita."
Kalau bisa dijelaskan, Abare dan Leony sebenarnya berselisih jalan dengan orang suruhan ibunya Abare tersebut. Mereka berpapasan namun di jalan yang berbeda. Seandainya orang-orang itu berada di jalanan yang sama dengan mereka berdua, maka mereka pasti akan ditemukan oleh orang-orang tersebut.
"Lirik jam tanganmu," ujar Abare tiba-tiba dengan berbisik. Ia nampak tegang kembali.
Leony yang masih bingung langsung melirik ke arah jam tangannya. Dia tidak mau banyak tanya dan membuat Abare semakin bingung di saat seperti sekarang. Beberapa saat setelah itu Abare menyuruh Leony untuk kembali melihat jalan.
"Sekarang kau bisa berhenti melirik jam tanganmu," ujar Abare. Sontak Leony langsung mendongak, lehernya sakit karena tiba-tiba membungkuk seperti itu
"Memangnya ada apa Abare? kenapa kau tiba-tiba menyuruhku begitu?" tanya Leony. Rasanya seharian ini Leony selalu bertanya pada Abare.
"Kau tidak sadar ya kalau ada salah satu orang suruhan ibuku di sana?" jawab Abare sembari menunjuk ke arah seberang jalan. "Hoo tentu saja kau tidak sadar, karena kalau kau sadar kau pasti akan memalingkan wajah mu lebih dulu sebelum aku menyuruh mu. Lebih peka lah mochi bodoh, kalau tidak mereka akan mengenalimu."
Setelah melalui perjalanan yang cukup menegangkan dan penuh rasa was-was dan rasa curiga. Akhirnya mereka sampai ke stasiun Shinkansen yang ada di kota tersebut.
"Jangan yang Jiyuseki¹, mereka akan mudah melacak kita bila baik Shinkansen dengan tempat duduk Jiyuseki," ujar Abare menarik lengan Leony pelan saat Leony hendak menuju ke Midori No Madoguchi².
Leony mengangguk pelan, ia melirik dari sudut matanya dan menemukan ada beberapa orang berpakaian serba hitam yang sedang mendekati Midori no Madoguchi tersebut. Pasti mereka hendak menanyakan tentang mereka berdua. Karena bila seseorang yang ingin memesan tempat duduk Non-reserved atau Jiyuseki maka harus memesan tiket di situ.
Jiyuseki biasanya merupakan kereta yang bernomor satu sampai lima. Bila selain Jiyuseki atau merupakan gerbong tempat duduk reserved, maka bernomor enam sampai seterusnya.
Orang-orang suruhan ibunya Abare itu sudah menerka kalau mereka berdua akan berencana untuk pergi naik Shinkansen ke kota lain di Jepang. Maka dari itu Abare harus lebih jeli dan spekulatif dengan keadaan yang ada kalau ia masih ingin bersama Leony.
"Apa kau bawa ponsel?" tanya Abare.
"Ponsel ku rusak kemarin, dan masih di tangan ibu ku karena ibu ku ingin membawa nya ke tempat servis. Jadi aku tak bawa ponsel sekarang," jawab Leony.
"Sudah ku duga. Pantas saja puluhan kali aku hubungi tak ada balasan dan jawaban darimu," ucap Abare. Ia langsung mengambil ponselnya dan memeriksa jadwal keberangkatan Shinkansen menuju Tokyo. "Lima menit lagi! kita harus cepat!"
Seakan di kejutkan sengatan listrik. Leony yang mulanya merasa lelah kembali segar dan ikut berlari bersama Abare. Dia tidak mau karena kelemahan dirinya, ia terpisah lagi dari Abare. Ia tidak mau itu terjadi.
Dikejar waktu, dikejar orang suruhan ibunya Abare, dan berdesakkan dengan orang-orang yang ada di sana membuat Leony dan Abare cukup kalang kabut untuk mengejar kereta yang mempunyai jadwal ke Tokyo itu. Waktu yang mereka punya hanya lima menit. Bahkan mereka tadi hampir tertinggal kalau saja bukan petugas kereta yang membantu mereka untuk masuk ke kereta tersebut walaupun awalnya kereta tersebut sudah hendak melaju pergi dari sana.
"Fyuh untunglah sempat," ujar Abare.
"Aku kira kita akan tertinggal kereta." Leony kesulitan berbicara karena nafasnya yang tidak beraturan.
"Kalau saja kita tertinggal, maka kita harus menunggu 30 menit lagi untik jadwal rute ke Tokyo berikutnya. Karena seluruh kereta menuju Tokyo sudah berangkat dan inilah yang tersisa," ujar Abare menjelaskannya pada Leony.
Awalnya mereka mengira kalau keadaan sudah aman dan mereka dapat leluasa untuk mengistirahatkan jantung mereka. Tapi nyatanya semuanya masih belum berakhir.
"Summimasen," ucap seseorang yang tengah menyusuri isi gerbong kereta tempat Abare dan Leony berada.
'Astaga, apa lagi ini?' batin Abare hampir frustasi.