Chereads / Another Popularity / Chapter 18 - 18-Abare Kabur

Chapter 18 - 18-Abare Kabur

Kini Abare sudah mendekam dalam kamar tidur, pintu dikunci rapat dan dijaga oleh dua penjaga yang ahli berkelahi. Dia serasa menjadi seorang tawanan Intel negara.

Untungnya tangan dan kakinya tidak diikat sekarang, kalau tidak Abare mungkin akan mengamuk pastinya.

Abare melirik ke arah pintu. Apa orang tuanya itu lupa kalau anaknya ini terlalu lincah seperti seekor tupai?

Oke, jangan ingatkan tentang peribahasa 'sepandai-pandainya tupai melompat akan jatuh juga.'

Abare melirik ke arah jendela. Kamar tempat ia berada ada di lantai tiga rumahnya. Atau lebih tepatnya mansion orang tuanya yang biasanya dipakai mereka untuk singgah di Jepang. Orang kaya memang keterlaluan, mereka menyebar rumah dimana-mana tanpa ingat kalau masih banyak orang yang tidak punya rumah sekarang ini.

Oke, lupakan bentuk protes tersebut. Kembali ke cerita.

Abare beranjak dari tempat tidur itu, menengok ke arah luar jendela tanpa membukanya. Ia mendapati jendela itu tidak memiliki balkon. Tentu saja, ini hanya kamar tidur tamu.

Di bawah sana ada banyak penjaga yang sepertinya ditugaskan khusus untuk menjaga Abare. Ia lalu menghitung jumlah penjaga yang terlihat di sana. Ada sekitar lima orang yang berada di bawah sana. Belum lagi ditambah penjaga dari sisi bangunan lain.

"Wanita tua itu memang berpikir kalau aku ini adalah seorang buronan. Tch, biar bagaimanapun dia mengekang aku, dia takkan bisa membuat aku mendekam di dalam sini sampai besok.

Grrrkkk

Bruk

Bruk

Abare mencoba membuka jendela kamar itu namun tak berhasil. Jendela itu terkunci. Sejak kapan ada jendela memiliki kunci?

"Sial*n, ada gemboknya. Sampai seniat itu rupanya. Tapi tak apa, lebih baik seperti ini daripada tidak dikunci. Karena akan lebih mencurigakan kalau jendela ini tidak dikunci," ucap Abare bermonolog.

Betul, Abare akan dibuat berpikir lebih kalau jendelanya tidak dikunci. Sebab bisa saja itu adalah jebakan dari ibunya. Jadi dengan adanya kunci itu ia yakin kalau orang-orang di sana pasti mengira ia takkan bisa keluar dari ruangan tersebut.

"Selama bukan kunci elektronik, mudah saja untuk membobolnya," ujar Abare sembari menyeringai.

Ia lalu melihat ke sekeliling, mencari sesuatu yang dapat membantunya untuk membuka kunci gembok jendela itu.

Abare lalu tersenyum miring. Ia melihat sebuah lukisan buah yang terpajang di dinding kamar tersebut.

Abare mendekati lukisan itu, mengambilnya dari sana dan menatap lukisan tersebut sejenak.

"Semoga saja berhasil."

Abare memutar lukisan itu, melihat pengait yang terbuat dari kawat tebal di belakangnya. Tentu saja setiap lukisan pasti memiliki pengait sejenis itu. Dan kebetulan lukisan yang ada di situ bukan sebuah lukisan mahal berharga puluhan juta, jadi pengaitnya adalah kawat panjang biasa yang direntangkan dari ujung frame ke ujung frame lain.

"Hmm, seharusnya melepas yang ini tidak akan sulit," ujar Abare sembari mencoba melepas kawat besi itu dari sana.

Klak

Abare tersenyum senang. Dia sudah mendapatkan sesuatu yang bisa membantunya. Dengan sedikit sentuhan, Abate bisa mengubah kawat itu menjadi sebuah benda yang dapat digunakan untuk membuka gembok tersebut.

Kretek krek kretek

Bunyi besi yang tergesek dan bertemu di dalam lubang gembok itu menandakan Abare berusaha membobol gembok itu menggunakan kawat lukisan itu. Abare pernah mempelajari taktik seperti ini di saat dia berkeliaran di jalanan bersama teman-temannya yang cukup nakal dulu.

Abare bisa saja memanggil teman-temannya itu kalau ia membawa ponselnya. Sayangnya ponselnya itu sudah tak ada bersamanya. Pasti orang tuanya Abare sudah mengantisipasi kalau anaknya akan memanggil teman-temannya dan membuat keributan.

Tapi tentunya Abare mempertimbangkan itu. Karena bisa saja ketika ia melakukan keributan, orang tuanya Leony semakin menjauhkan dirinya dengan Leony. Ia ingin semuanya menjadi rahasia sampai saat ia sudah berada di wilayah lain bersama gadis lugu itu.

Klek

Abare tersenyum miring. Kunci gembok yang mengekang jendela itu sudah terlepas. Dia bisa kabur dari sana secepatnya.

Jam menunjukkan pukul 00.00 tepat beberapa detik sebelum esok hari datang menjelang. Abare sudah berinisiatif untuk kembali ke rumahnya yang menjadi tempat tinggal sehari-hari nya itu. Di sana ada ponsel cadangan miliknya dan beberapa barang lain yang harus ia ambil.

Dan juga ia harus mengajak Leony pergi dari sana.

Meskipun perbuatannya terbilang tidak baik. Tapi Abare tidak mau kehilangan gadis yang ia cintai tersebut. Kehilangan dalam artian mereka harus terpisah karena salah satu dari mereka menikah dengan orang lain.

Dia takkan rela bila sampai Leony bersanding dengan lelaki lain.

Maka dari itu tujuan utamanya kembali ke sana adalah menjemput Leony.

Sekarang Abare masih berkutat dengan waktu, penjaga sana-sini, dan juga ketinggian yang bisa membahayakan dirinya. Ia keluar dari jendela itu dan meniti sisi tembok yang sedikit menjorok ke luar. Beberapa langkah kecil lalu ia menggapai bagian balkon di atasnya dan melompat berputar ke arah vertikal. Kakinya langsung mendarat sempurna di balkon atas kamarnya tersebut.

Gerakan yang sangat indah dan sempurna. Tentu saja, 5 tahun mempelajari parkour benar-benar membuat seorang Bakura Abare sangat lihai dalam bidang parkour.

Abare meloncat dari satu bagian dinding ke bagian dinding lain. Dalam waktu singkat, ia sudah berada samping mansion tersebut. Ia melangkah dengan hati-hati agar tidak terlihat oleh para penjaga yang tengah berlalu-lalang di sana.

"Sedang apa kau di situ?"

DEG

Abare terdiam. Padahal baru saja ia ingin melangkahkan kakinya. Kalau dia sampai ketahuan kabur sekarang, ia yakin penjagaan di kamarnya pasti akan lebih diperketat lagi. Kalau itu terjadi, pilihan yang akan Abare ambil adalah melawan para penjaga itu daripada ia tertangkap oleh mereka.

"Aku mau mengambil kopi. Mataku mengantuk sekali."

Suara penjaga lain memberi jawaban kalau bukan ia yang sedang dipergoki oleh penjaga itu. Abare menghela nafas lega. Tadi jantungnya berpacu sangat cepat, tapi sekarang ia bisa bernafas lebih santai.

Tanpa menunggu banyak waktu, Abare langsung berlari dari sana. Menuju pagar dan naik dalam sekali loncatan. Meski pagar itu tinggi, namun ia tidak kesulitan untuk menggapai bagian atas pagar itu.

Abare langsung meloncat pergi dari sana. Sedetik lagi ia terlambat, ia bisa tertangkap cahaya senter yang kebetulan diarahkan ke pagar tersebut. Abare sempat menoleh, lalu berpaling dan pergi dari sana.

Ini sudah tengah malam, jalanan mulai sepi, namun tidak untuk pusat kota. Masih ada banyak orang yang berlalu-lalang meskipun waktu sudah menunjukkan pukul dini hari.

Abare hanya membawa uang yang cukup untuk membayar taksi satu kali. Tapi itu tidak apa-apa, itu adalah sebuah keberuntungan bagi Abare. Dengan uang itu, ia bisa sampai ke perumahan tempat ia tinggal berada dalam waktu yang tidak lama.

Tak lama berselang, ia sudah berada di dalam taksi dengan perasaan cemas. Entah kenapa ia merasa berdebar, padahal dia sudah berada cukup jauh dari sana.

"Abare ya?"

DEG