Raphael memasuki kamarnya dengan lelah, ayahnya tahu dia baru sampai tapi bukan memberinya waktu istirahat malah mengajaknya berkeliling. Andai Raphael bisa lari seperti yang dilakukan adiknya, Aurora yang meminta ijin ke toilet justru tidak kembali lagi hingga kunjungan itu berakhir. Dasar licik.
Raphael mengganti pakaiannya, membuat luka melintang di punggungnya terlihat. Dia berencana langsung tidur tapi pintu kamarnya dibuka oleh seseorang. Wanita setengah baya itu masih tampak cantik, dia yang telah melahirkan Raphael sembilan belas tahun yang lalu.
"Makan malam sudah siap, ayo turun." Ajak Cintya- Ibu Raphael.
"Aku mau langsung tidur aja, capek banget hari ini."
"Yakin, Mama masak makanan kesukaan kamu lho."
"Aku mau tidur."
Cintya pun mengangguk paham, dia menutup pintu kamar Raphael. Baru saja Raphael membaringkan tubuhnya di ranjang, pintu kamarnya lagi-lagi terbuka. Aurora masuk sambil menggendong kucing persia kesayangannya.
"Nggak ikut makan malam?"
"Keluar." Ucap Raphael tanpa membuka mata.
Aurora mencibir. "Aku bakal sekolah di sekolah yang tadi, kakak juga ya. Biar aku yang bilang Papa."
"Apa?" Raphael akhirnya membuka mata, ditatapnya Aurora dengan dingin. Bukannya takut Aurora justru terkekeh.
"Pokoknya kakak juga harus sekolah di sana, ada yang seru loh di sana. Kak Raphael pasti suka." Setelah bicara sesukanya, Aurora keluar dari kamar Raphael dengan wajah disertai senyum lebar.
Raphael mengembuskan napas panjang, menghempaskan tubuhnya kembali ke ranjang. Keluarganya telah cukup lama tinggal di negeri ini, mereka semua telah beradaptasi dengan baik selama beberapa tahun. Sedangkan Raphael harus tinggal bersama sesepuh Bangsawan di negeri mereka karena dia akan menjadi Alpha dikemudian hari, menggantikan posisi ayahnya- Martinez, memimpin seluruh Kaum Bangsawan Volk. Raphael mendapat didikan keras selama hidup jauh dari keluarganya, salah satu yang dia pelajari adalah cara bertarung. Meski Raphael bertanya-tanya untuk apa dia berlatih sekeras itu di tengah kedamaian dunia, dia tetap melaksanakan latihannya dan menjadi yang terbaik.
Sebenarnya Raphael bahkan tak peduli, dia hanya melakukan apa yang diperintahkan oleh ayahnya. Karena itu saat Martinez berniat mencarikannya sekolah formal di negeri ini, Raphael sama sekali tak membantah. Jika dia harus satu sekolah dengan adiknya yang bandel Raphael tak akan banyak bicara. Di mana saja itu sama saja, membosankan.
***
Dua hari kemudian, Raphael dan Aurora resmi menjadi murid sekolahan.
Hari ini adalah hari pertama mereka, Aurora sudah menantikannya sejak kemarin dengan bersemangat, berbeda dengan saudaranya yang tak bereaksi apa pun. Mereka sekarang sedang berada di ruang makan, meja besar itu hanya diisi oleh empat anggota keluarga. Martinez duduk di ujung meja sebagai pemimpin, Cintya duduk di sebelahnya dengan anggun. Kedua anak mereka berdampingan di depan Cintya.
"Raphael, sepulang sekolah nanti ikut Mama sebentar ya." ucap Cintya di tengah-tengah acara sarapan mereka.
"Ke mana?"
"Ketemu sama temen Mama dan anaknya, mungkin kalian bisa jadi teman yang cocok."
Sesaat meja makan itu dikuasai hening. Aurora melirik Raphael yang menghela napas panjang. Sudah sejak beberapa bulan yang lalu Ibu mereka mulai mengenalkan gadis-gadis pada Raphael, tujuannya mencarikan Soul untuk kakaknya itu. Padahal seharusnya Ibunya sudah tahu bahwa itu mustahil. Soul adalah jiwa yang terpilih oleh takdir untuk terikat pada mereka selamanya sejak mereka lahir. Soul tidak bisa pilih oleh tangan manusia.
Raphael meletakan alat makannya sebelum beranjak dari kursi. "Aku berangkat." Ucapnya, beranjak dari ruang makan dengan tas di bahu.
"Raphael?" Cintya memanggilnya namun diacuhkan. Wanita itu menghela napas panjang.
"Mama harus berhenti, Kak Raphael nggak suka perjodohan itu. Lagipula itu mustahil." Aurora berpendapat.
"Tapi ini untuk kebaikan Raphael dan keluarga kita."
"Mama terlalu percaya sama omongan orang tua itu, kalau pun iya terjadi, ya tinggal dihadapi aja."
Cintya mendengus, andai ramalan Nyonya Brigitha pernah melesat sekali saja, dia tidak akan setakut ini. Tapi tidak, ramalan wanita buta itu selalu tepat. Sembilan belas tahun yang lalu saat Cintya mengandung Raphael, dia bertemu Nyonya Brigitha saat menemani suaminya di salah satu pesta. Nyonya Brigitha juga disebut sesepuh kaum Bangswan sekalipun dia bukan bangsa serigala, itu semua karena kemampuannya telah diakui dari generasi ke generasi. Usia orang itu pun telah melewati satu abad.
Brigitha tiba-tiba saja menyentuh perut besar Cintya, mata buta itu bersinar keperakan. "Ketika serigala dan harimau terikat pada satu takdir, hanya ada satu kemungkinan yang akan terjadi. Malapetaka, atau, kedamian murni." Serigala dan Harimau, ramalan itu terdengar sangat jelas.
Sejak Brigitha mengumandangkan ramalannya saat itu, para sesepuh memutuskan untuk mendidik Raphael sejak dini agar ia menjadi pemimpin yang kuat suatu saat nanti. Memaksa Cintya menjauh dari anaknya. Sekarang saat usia Raphael menginjak dewasa, usia dimana dia akan bertemu dengan Soulnya, membuat Cintya tidak bisa menahan ketakutan dalam dirinya.
Cintya hanya menginginkan yang terbaik untuk anaknya, apa itu salah?
"Pa, kita harus gimana?"
Martinez membersihkan sudut bibirnya menggunakan serbet. "Kita tidak bisa melawan takdir, kalau sesuatu yang buruk memang harus terjadi, kita hadapi itu sama-sama. Semua akan baik-baik saja."
***
"Kak, tunggu!"
Suara melengking Aurora menarik perhatian seluruh orang di lorong itu. Raphael memejamkan mata sambil menghela napas panjang, sia-sia dia menyembunyikan wajahnya di balik penutup jaket. Sekolah mereka memang tidak mengharuskan menggunakan seragam seperti sekolah lain, hanya harus rapi dan sopan.
Aurora berlari kecil menghampiri Raphael, dia tersenyum lebar di depan kakaknya. "Jahat banget sih aku ditinggal, untung Papa masih bisa nganterin sebelum ke gedung pemerintahan."
"Siapa suruh lelet." Raphael meniggalkan Aurora di belakangnya.
Aurora mencibir sifat dingin lelaki itu. "Seseorang bisa beku kalau denger kakak ngomong." Tapi Raphael tidak peduli, dia terus saja berjalan bahkan tak menghiraukan orang-orang yang berbisik di belakangnya. Setiap orang di sekolah itu sudah mengetahui tentang kepindahan mereka, tidak heran jika murid lain tampak antusias. Belum lagi aura mistis yang hanya dimiliki oleh Bangsa Volk, meski terlihat seperti manusia biasa tetapi mereka semua terlihat sangat menawan. Seperti serigala di hutan yang disinari oleh bulan purnama. Tentu saja semua orang berharap bisa dekat dengan para Bangsawan.
Tiba-tiba Aurora yang berjalan di belakang Raphael, berteriak memanggil seseorang. Mengejutkan Raphael sekaligus semua orang yang ada di sana.
"Yuki."
Yang dipanggil pun terkejut sampai-sampai terlonjak, baru sekali bertemu tapi Yuki sudah mengenal suara itu dengan baik. Aurora berdiri di depan Yuki dengan senyum di wajah cantiknya, gadis itu sedikit lebih tinggi dari Yuki tampak mempesona dengan gaun ungu dan kardigan putih tebal. Rambut pirangnya dikepang dua menambah kesan imut.
"Masih inget aku kan, gimana kamu, udah sehat?" mata birunya tampak berbinar-binar memandang Yuki.
"Ma-masih inget kok." Memang siapa yang bisa melupakan pertemuan mereka. Apalagi orang itu mengetahui rahasianya sekarang, Yuki tak bisa berdiri tenang di kakinya sendiri. "Aku udah nggak papa, makasih yang waktu itu." Ucapnya lagi.
"Syukurlah, aku seneng dengernya." Ujarnya tulus. Aurora melihat plester di kening Yuki. "Masih kamu tutup ya?"
Yuki secara otomatis menutup keningnya sendiri. Dia menatap Aurora cemas. "Anu, soal ini, apa kamu bisa ..."
"Tenang, aku nggak akan bilang siapa-siapa." Aurora tersenyum kecil. "Tapi dengan satu syarat?" Ucapnya misterius. "Kamu harus jadi teman aku, nggak ada penolakan."
"Apa, tapi, itu ..."
"Aku bilang nggak ada penolakan." Aurora lagi-lagi memotong kalimat Yuki. "Udah yuk, biar aku kenalin sama kakak aku. Dia juga ikut sekolah di sini." Aurora melingkarkan tangannya di bahu Yuki, memaksa gadis itu berbalik.
Apa Aurora tak sadar, bahwa tindakannya itu sangat berbahaya untuk Yuki. Dia bisa merasakan tatapan sinis semua orang, bahkan Yuki sempat melihat Sinta dan teman-temannya di ujung lorong. Sedang melihat padanya dengan senyuman dingin.
Yuki tidak ingin terlibat masalah yang akan menyusahkannya atau sang Ibu. "Aurora, aku harus pergi." Yuki berusaha melepas pegangan Aurora di pundaknya. Tapi itu terlalu erat, apa karena dia seorang Volk, karena itu tenaganya besar lebih dari Yuki.
"Itu kakak aku. Kak Raphael, aku mau ngenalin seseorang." Aurora tetap dengan semangatnya menggiring Yuki mendekati Raphael.
Yuki menciut saat melihat sosok lelaki tinggi dengan tatapan paling dingin yang pernah ia lihat. Semakin mendekat semakin Yuki bisa merasakan aura mengintimidas dari orang itu. Rasanya seperti bertemu dengan hewan buas, tenang namun tidak ada yang tahu kapan dia akan menerkam. Yuki menundukan wajahnya saat mereka sampai di depan Raphael.
"Kak, kenalin ini Yuki, temanku. Dan Yuki, kenalin ini kakakku, Raphael." Aurora mengabaikan ketidak nyamanan Yuki di sisinya, dia tersenyum geli saat melihat Raphael menatap Yuki sangat tajam.
Hal yang mengejutkan, Raphael dengan suka rela mengulurkan tangannya pada Yuki. "Raphael." Dia menanti uluran tangan itu disambut.
Aurora menyikut lengan Yuki. Gadis itu melirik sekitarnya, keringat dingin membasahi punggungnya saat menyadari tatapan semua orang. Yuki yakin dia takkan bisa menghindari masalah. Sedangkan Raphael masih menunggu, gadis yang menunduk ini terlihat sangat ketakutan. Apa karena dia atau karena hal lain.
Dengan tangan sedikit gemetar, Yuki menyambut uluran tangan Raphael. Rasanya seperti tersengat listrik bertegangan rendah. Yuki menarik tangannya cepat, menggenggamnya erat di dada. Jantungnya memompa deras tanpa alasan jelas, mata coklat Yuki bertemu netra sebiru lautan milik Raphael yang memancarkan gelora asing. Dia akan tenggelam andai saja tak membuang wajah, Yuki merasakan wajahnya hangat, menjalar ke seluruh tubuh. Reaksi tubuh yang berlebihan itu membuatnya bingung. Yang Yuki tahu, dia harus segera menjauh dari laki-laki ini.
"Ma-maaf, aku harus pergi." Tanpa mendengar balasan kakak-beradik itu, Yuki pergi dari hadapan mereka. Berjalan cepat nyaris berlari.
Raphael memandang kepergian Yuki dengan seringai kecil di mulutnya. Aurora yang melihat itu terkekeh, menarik kesadaran Raphael hingga seringai itu lenyap dalam sedetik.
"Ngapain ketawa?" Tannyanya dingin.
"Nggak papa kok." Aurora tersenyum kecil. "Kak, kalau ada kesempatan, coba lepas plester yang ada di kening Yuki." Ucapnya lalu berlalu meninggalkan Raphael di belakang.
"Kamu tahu sesuatu?"
Aurora berbalik, dia berjalan mundur dengan senyum misterius. "Sedikit." Dan berlari meninggalkan Raphael.
Seperti manusia biasa, di antara Volk beberapa memiliki kemampuan khusus. Salah satunya adalah melihat kilasan masa depan, dan salah satu Volk berkemampuan khusus itu adalah adiknya. Tapi Aurora tidak suka membicarakan kilasan masa depan yang sering muncul di matanya, hanya saat dia ingin saja Aurora akan memberi sedikit petunjuk.
Raphael memandang tangannya dan mengepal, mendekatkan pada indra penciumannya untuk menghirup dalam-dalam. Aroma gadis itu masih melekat di sana, pupil matanya melebar dan berubah menjadi garis vertikal sedetik kemudian. Andai Raphael tak memiliki kemampuan menahan diri yang bagus, dia pasti akan menerkam Yuki saat pertama kali melihat gadis itu.
Raphael merasakan suhu tubuhnya melonjak saat mereka bersentuhan. Padahal itu hanya sentuhan kecil tak berarti. Indra penciumannya pun menjadi sensitif, dia bisa mencium aroma manis dari gadis itu. Meskipun Raphael yakin Yuki tak menggunakan wewangian sama sekali. Hanya ada satu hal yang bisa menjelaskan reaksi berlebihan tubuhnya, tapi Raphael masih belum yakin. Bagaimanapun itu terlihat mustahil.
Tapi petunjuk yang Aurora katakan membuatnya penasaran.
"Yuki." Gumamnya, Raphael tak bisa mencegah perasaan senang saat menyebut nama itu.