Yuki memasuki rumahnya saat hari menjelang petang. Suasana rumah sederhana itu sepi, hari ini Ibunya mendapat jadwal shift malam jadi mungkin dia sudah di pabrik tempatnya bekerja sekarang. Yuki mengganti bajunya, mengobati luka di lutut, telapak tangan dan goresan di pipi sebelum mulai membersihkan rumah. Sesekali terdengar gemuruh kereta api yang sanggup menulikan telinga, rumah mereka tepat berada di bawah perlintasan kereta api. Bukan tempat yang nyaman untuk menjadi rumah, namun hanya tempat ini yang biaya sewanya paling murah.
Setelah piring terakhir Yuki letakan di kabinet, dia mulai menghangatkan makanan yang telah Ibunya siapkan. Hanya semangkuk bubur hambar, tapi Yuki menghabiskannya dalam waktu singkat. Gadis delapan belas tahun itu melihat jam, ternyata dia menghabiskan banyak waktu membersihkan rumah. Pukul tujuh malam Yuki masuk ke kamarnya setelah mengunci pintu depan, dia membongkar tasnya dan mulai bersiap untuk belajar. Tapi kemudian Yuki mengingat sesuatu.
Dia masuk ke kamar mandi dengan pouch make up di tangannya. Yuki menuang micellar water pada kapas, menyapunya pada wajah terutama kening. Perlahan make up yang digunakannya luntur, memunculkan tanda kecil yang berada di keningnya tepat di tengah-tengah. Tanda berbentuk bulan sabit itu ada sejak Yuki lahir, namun itu bukan sekadar tanda lahir biasa.
Itu adalah tanda untuk seseorang yang telah memiliki takdirnya di dunia. Soul, adalah jiwa yang terikat pada Sang Alpha, pemimpin dari kaum serigala Bangsawan. Yuki sendiri tidak mengerti, bagaimana bisa Londo sepertinya adalah seorang Soul. Yang dia tahu Soul haruslah seorang darah murni. Karena itu Yuki menyembunyikan tanda ini dari semua orang. Takdirnya sebagai Londo saja sudah rumit, bagaimana jika semua orang tahu bahwa ia adalah Soul. Dunianya bisa semakin kacau.
***
Pagi buta saat aktifitas kereta api mulai berjalan, Yuki terbangun oleh gemuruhnya. Saat dia sedang mengumpulkan niat untuk beranjak dari tempat tidur, Yuki mencium aroma harum dari dapurnya. Dia pun mulai beranjak keluar dari kamar.
"Bunda masak apa?" Yuki mendekati Ibunya yang berdiri di depan kompor. "Baunya enak banget."
"Bunda masak makanan favorit kamu, bakso kecap. Kamu mandi dan siap-siap, setelah itu kita makan sama-sama." Jawab wanita dewasa itu riang tanpa memandang Yuki.
"Bunda nggak minjem uang kan?" tanya Yuki khawatir. Sebab Ibunya sering meminjam uang hanya untuk membelikannya sesuatu. Alhasil orang-orang akan menatap mereka rendah, menganggap Yuki manja dan berpikir bahwa Ibunya bodoh.
"Nggak kok, kamu tenang aja. Bunda dapat bonus dari pabrik, jadi bunda mampir ke pasar dan belikan kamu bakso. Sudah sekarang kamu mandi aja, terus kita bisa..." Fahira tak melanjutkan kata-katanya saat ia berbalik, terpaku pada wajah anak gadisnya yang terluka.
"Ini kenapa?" Fahira menangkup wajah Yuki, memandangnya cemas.
"Nggak papa kok, ini karena Yuki teledor. Jatuh di kamar mandi." Yuki menenangkan Ibunya.
"Kamu yakin, bukan karena kamu diganggu lagi sama mereka?" Yuki tak mengatakan apa-apa, dia hanya tersenyum kecil dan meninggalkan Ibunya seorang diri dengan rasa bersalah.
Bagi Fahira Yuki adalah kesalahan paling indah dalam hidupnya. Hanya saja, dia sendiri kadang tak sanggup saat melihat Yuki mendapat perilaku tidak adil dari orang-orang. Memang apa salahnya jika darah campuran, itu bukan keinginan Yuki, itu kebodohan Fahira sendiri. Jika ada seseorang yang patut untuk disalahkan, orang itu adalah dia dan bukan anaknya.
Yuki keluar dari kamarnya beberapa saat kemudian, dia duduk di meja makan kecil dengan Fahira yang selesai menyajikan masakannya. Fahira mengernyit saat melihat plester luka di tengah kening Yuki.
"Kamu luka lagi?"
Yuki menggeleng. "Nggak, ini soalnya make upnya habis. Jadi sementara ditutup pakai plester aja." Ucapnya.
"Kalau gitu biar nanti Bunda belikan make up." Fahira tentu tahu tentang tanda bulan sabit itu, dia yang mengajari Yuki menutup tanda itu dengan make up sejak Yuki kecil.
"Nggak perlu Bun, simpan aja uangnya. Kita kan butuh uang buat bayar rumah, nanti Tante Paula marah sama Bunda kalau sampai telat bayar lagi."
"Tapi gimana kalau sampai ketahuan?" Fahira tidak ingin Yuki mendapat masalah.
"Yuki akan lebih hati-hati, Bunda tenang aja." Begitu ucapnya, tapi sebenarnya Yuki juga cemas. Entah kenapa sejak bangun tadi jantung Yuki berdebar sangat keras, seperti mendapat firasat buruk. Membuatnya tidak tenang walau mencoba baik-baik saja di depan Ibunya.
***
Sekarang Yuki baru mengerti arti dari kegelisahannya sepanjang pagi ini, dia baru mengingatnya saat setelah sampai di sekolah dan melihat kehebohan yang terjadi. Setiap sebulan sekali para Bangsawan, Pribumi dan Penjajah melakukan kunjungan rutin ke sekolah-sekolah guna mendekatkan diri pada generasi muda di negeri ini.
Padahal sejak kemarin orang-orang sudah membicarakannya, bahkan dengan percaya diri Sinta mengumumkan akan menjadi perwakilan murid untuk menemani para Harjuna berkeliling sekolah mereka. Bulan lalu perwakilan dari Kaum Pribumi yang datang, dan bulan ini para Bangsawan yang mengunjungi sekolahnya. Bagaimana Yuki bisa lupa.
"Gawat." Gumam Yuki di pojok kelas.
"Hei Londo, budeg ya lo!? Dari tadi Sinta manggil lo terus!"
Yuki tersentak saat seseorang mendorong bahunya keras, hampir saja dia jatuh dari kursinya. "Ma-maaf."
"Mulai berani lo sekarang?!" Dia Sita- pengikut setia Sinta yang paling loyal dan galak.
"Aku nggak maksud, tadi aku lagi mikirin sesuatu makannya nggak dengar. Maaf."
"Alasan!"
"Sita, cukup." Suara lembut Sinta menghentikan Sita. Gadis berwajah galak itu pun mundur setelah mendengus kesal.
Yuki menunduk saat Sinta mendekatinya dengan senyuman manis. Gadis pribumi itu dikaruniai kulit kuning langsat, rambut sehitam arang dan lesung pipi yang menyempurnakan senyumnya. Sinta berdiri di depan meja Yuki.
"Yuki, boleh minta tolong?" Ujarnya. "Kita mau ngepel kelas, jadi bisa nggak kamu ke toilet ambil air?"
Yuki menganggukkan kepalanya walau ragu. Tidak biasanya Sinta meminta tolong, dia biasanya memerintah. Tidak ingin mencari masalah Yuki lantas keluar dari kelas yang sedang sibuk, menunaikan keinginan Sinta mengambil air. Toilet di sekolahnya termasuk tempat yang jarang dikunjungi siswa, walau begitu tempatnya selalu bersih dan jauh dari kata bau. Yuki mengisi dua ember sekaligus saat beberapa siswi memasuki toilet.
Yuki tak begitu memperhatikan mereka, sampai salah satu dari mereka menegurnya.
"Woi Londo, ambilin tissue yang di sana." Perintahnya menunjuk salah satu bilik toilet.
Karena harus cepat kembali ke kelas Yuki tak berdebat- sebenarnya Yuki memang tak pernah berdebat, dia mengambil tissue yang diminta oleh orang itu secepat mungkin. Namun saat memasuki bilik, punggungnya didorong kuat hingga ia tersungkur. Suara pintu yang dibanting serta dikunci menciptakan kepanikan bagi Yuki.
"Buka! Jangan dikunci! Buka tolong!" Yuki yang phobia ruang sempit mulai sesak napas. Tiba-tiba dari atas air mengguyur seluruh tubuhnya. Suara gelak tawa terdengar di luar sana.
"Kamu di situ sebentar ya, Yuki. Nanti kita balik lagi kok, kalau ingat." Suara lembut Sinta berkumandang. Gelak tawa gadis-gadis itu mulai menjauh, hingga kemudian hanya tertinggal sepi.
Yuki menggigil karena panik, dadanya sesak hingga membuatnya sulit bernapas. Dia bahkan tak menyadari plester luka di keningnya tak lagi melekat, membuat tanda di keningnya terlihat kontras dengan kulit putihnya.
***
"Selamat datang Tuan Martinez, senang bertemu dengan anda lagi. Bagaimana kabar anda?" Kepala sekolah menyambut kedatangan Martinez, perwakilan para Bangsawan sekaligus Sang Alpha saat ini.
"Senang bertemu dengan anda juga kepala sekolah, kabar saya baik terima kasih." Martinez menjawab dengan aksennya yang sedikit kaku.
"Sepertinya anda tidak datang sendiri?" Kepala sekolah yang menggunakan kaca mata menengok dua orang yang berdiri di belakang Martinez. Lelaki dan gadis itu telah menarik perhatian sebagian besar murid yang ikut menyambut kedatangan mereka, terutama murid perempuan. Bahkan Sinta terpaku oleh pesona laki-laki itu.
"Saya datang bersama anak-anak saya, kebetulan anak tertua saya baru saja sampai di Nusantara kemarin. Kami sedang mencari sekolah yang bagus sebenarnya, karena itu saya mengajak mereka untuk berkunjung hari ini." Martinez menjelaskan. "Perkenalkan dirimu, Aurora, Raphael." Martinez bicara menggunakan bahasa asing, memerintah kedua anaknya yang sedari tadi hanya diam.
"Salam kenal, saya Aurora Lloyd. Sepertinya ini sekolah yang bagus." Gadis bernama Aurora itu tersenyum ramah, menambah kecantikannya. Rambut pirangnya berkilau seperti emas ketika ditimpa sinar matahari. Aurora menyenggol lengan Kakak lelakinya saat orang itu hanya diam sedangkan semua orang menunggu.
"Aku Raphael Lloyd." Sepenggal kalimat itu menjelaskan banyak hal. Salah satunya, Raphael bukan orang yang suka bicara.
Martinez tersenyum sungkan. "Maaf, Raphael masih belum terlalu menguasai bahasa Nusantara." Padahal Raphael telah mempelajari bahasa lokal sejak lama, dia sudah mahir.
"Kami mengerti. Kita mulai saja acara kunjungan hari ini, mari Tuan Martinez, Raphael, Aurora." Kepala sekolah memasang senyum penjilatnya. Dia menyenggol lengan Sinta yang masih terpaku pada Raphael yang tampan.
Acara kunjungan itu pun berlangsung. Kepala sekolah dan Sinta menjelaskan secara rinci apa-apa saja keunggulan dari sekolah mereka, mulai dari lingkungan yang aman, prestasi yang didapat dari semua ekstra kulikuler, cara mengajar yang ramah dan banyak lagi. Di tengah perjalanan mereka mengelilingi sekolah, Aurora meminta ijin untuk pergi ke toilet. Kepala sekolah memerintah Sinta untuk menemaninya.
"Nggak perlu Pak Kepala, saya bisa sendiri. Terima kasih." Aurora menolak halus. Lantas dia segera pergi ke toilet, tanpa dicegah oleh siapapun. Termasuk Sinta yang telah melupakan seseorang yang dia kurung di toilet.
Aurora hanya ingin mencuci wajahnya, atau lebih tepatnya dia ingin menjauh dari keramaian itu. Muak ditatap berpasang-pasang mata sejak tadi. Keturunan Bangsawan memang dikaruniai kecantikan dan ketampanan di atas rata-rata, mata biru mereka yang indah yang paling menarik perhatian. Aurora yakin kakaknya yang tak pernah tersenyum juga tidak nyaman berada di sana.
Aurora menoleh cepat saat inderanya menangkap keberadaan makhluk lain. Sebagai kaum Volk dia dan yang lainnya memiliki indra yang lebih tajam dibandingkan manusia pada umumnya. Aurora mendekati salah satu bilik yang terkunci, mata birunya yang cerah melihat sepasang kaki di bawah pintu.
Mata Aurora membulat saat ia membuka pintu, dia menemukan gadis terkapar tak sadarkan diri dengan tubuh basah kuyup.
"Hei, bangun. Kamu nggak papa? Hei bangun." Aurora mengguncang bahunya pelan, dia mengangkat wajah gadis itu untuk melihat wajahnya. Tapi Aurora justru dibuat tercengang saat melihat tanda bulan sabit di kening gadis itu.
"Astaga." Gumamnya. Aurora memperhatikan gadis itu baik-baik, dia tidak terlihat seperti Bangsawan ataupun Penjajah, tidak juga seperti Pribumi. Aurora langsung mengetahui identitasnya sebagai Londo.
Tapi bagaimana mungkin seorang Londo memiliki tanda bulan sabit ini?