Chereads / Really I Want / Chapter 8 - Chapter 7

Chapter 8 - Chapter 7

Pletak!

"Aw! Sakit!" Pekik Zea saat tangan kanannya memukul helm yang dikenakan Zafran.

"Rasain tuh! Punya otak di pantat jadinya gitu! Helm nggak salah kok dipukul," gerutu Zafran.

Zea meniup-niup jarinya sendiri. Rasanya panas, sepanas melihat mantan gandengan dengan gebetan baru. Namun rasa panas itu digantikan dengan rasa dingin. Motor melaju 2x lipat lebih kencang dari kecepatan sebelumnya. Hal itu membuatnya reflek memeluk Zafran sambil menutup mata.

"Kya! Zafran! Jangan ngebut banget dong! Lo ingat kalau badan gue kayak satu helai sapu lidi kan?! Gue udah mau terbang nih!" Teriak Zea tidak mendapat respon dari Zafran. "Zafran! Stop! Ntar otak gue pecah! Lo sendiri yang bilang kalau otak gue di pantat. Kalau gini caranya gue bakal idiot!" Lanjutnya tanpa putus asa melontarkan setiap kata.

Seketika Zafran memelankan laju motor. Ucapan Zea membuat dirinya ingin terbang bebas ke angkasa, di bawah lagu pada kartun doraemon. Di dalam hatinya sudah bahagia dan ingin bersalto berkali-kali. Mengingat dirinya sedang mengendarai motor, niat itu dia urungkan terlebih dahulu. Dengan status jomblo, dia tidak ingin mati konyol sebelum mendapatkan pasangan.

Padahal semua hal yang ada di dunia sudah diatur takdir Tuhan. Hidup memang benar-benar skenario Tuhan. Tidak ada skenario yang lebih baik selain milik Tuhan. Hanya sebuah usaha dan berserah diri itu sudah lumrah dalam kehidupan. Hidup itu ikuti saja alurnya. Jika hasilnya tidak sesuai yang diharapkan, mungkin Tuhan memiliki rencana yang lebih baik. Dan Zafran berharap semoga takdirnya bersama Zea.

"Cie meluknya kenceng banget. Gue nggak bakal ngilang kok, karena gue bukan setan, gue orangnya juga setia," goda Zafran.

"Setia lo seperti rexona!"

"Nggak lah. Dia setia setiap saat dan lo juga harus beli. Kalau gue kan gratis buat lo. Gue selalu setia dan sedia saat lo butuh."

Janji-janji manis dari mulut si playboy itu sudah biasa. Maunya cuma berjuang diawal. Pas sudah mendapatkan apa yang dia mau, maka akan kembali ke sifat yang jelek, bahkan terkadang cuma pencitraan di awal saja. Jika saja janji manis bisa dibuat untuk menjadi manisan, maka akan menghasilkan uang banyak, Gengs. Udah manis, tak perlu tambah gula. Menguntungkan bukan?

"Diam deh, gue sumpal mulut lo baru tahu rasa!" Sewot Zea.

"Sumpal pakai bibir lo juga nggak apa-apa. Gue ikhlas dan menerima secara lapang dada."

"Dih, apaan? Gue lakban mulut lo sekarang juga nih!"

Zafran terkikik geli. Membuat Zea gemas adalah cita-citanya, membuat Zea bahagia adalah tujuannya dan yang terpenting melihat Zea senyum saja merupakan suatu kemenangan pada diri Zafran. Lagian jarang-jarang ada seorang mantan yang mau menghibur si mantan. Apalagi sampai seperti tingkah Zea dan Zafran, yang ada malah mantan tapi musuh. Dulunya panggil sayang-sayangan, eh pas putus bilangnya kasar-kasaran dengan alasan khilaf? Makanya jangan asal suka nyeplos, mereka bebas untuk memilih hati selagi belum ada hubungan jelas kok. Buat seseorang yang khilaf, otak kalian perlu ditendang biar sadar.

Please deh, jangan kayak anak bau kencur, labilnya tingkat bintang kejora. Gengsinya sampai tingkat bulan purnama. Kelakuannya seperti bayi baru lahir. Suatu hubungan itu perlu kepercayaan dan kedewasaan, Gengs. Bukan labil dan gengsi yang dipertahanin. Back to topik.

Pelukan Zea kembali terulur di perut Zafran. Dia menyandarkan kepalanya pada punggung Zafran untuk mencari dan menyesuaikan tempat kenyamanan. Kedua matanya terpejam menikmati moment bersama mantan.

"Lo tahu bedanya lo sama cacing nggak, Ze?" tanya Zafran.

"Tahu. Kalau gue bisa jadi cacingan kalau cacing nggak bakal bisa jadi gue."

Zafran terkikik geli. Rupanya Zea sudah termakan gombalan receh mengenai kapal. "Nggak kok."

"Terus?" Tanya Zea bingung.

"Kalo cacing hidupnya di tanah. Kalau lo hidupnya di hati gue."

"Lo tahu nggak? Gue tuh benci sama lo," ujar Zea.

"Jangan benci, nanti rindu."

Zea memiringkan kepalanya ke samping kanan agar bisa memandang wajah Zafran. Mereka berdua saling menatap, kemudian melemparkan senyum. Tak hanya itu, pelukannya juga semakin erat.

"Andai kita bisa gini terus tanpa ada kata putus," batin Zea berharap.

Sesuatu yang membuat seseorang mudah down adalah harapan. Bahkan pikiran pun sampai menghalu. Terkadang harapan itu tidak sesuai dengan apa yang diinginnkan. Misalnya pada hal pacaran. Di situ banyak kata manis yang akan menjadi harapan. Padahal semakin banyak harapan, semakin rawan kekecewaan. Hidup itu tak seindah drama korea, Gengs. Untuk itu Zea hanya mengikui jalannya kehidupan. Karena hidup itu roda berputar.

"Gue boleh jujur nggak, Ze?" Tanya Zafran.

"Boleh."

Zafran tersenyum. "Lo cantik, tapi sayang."

"Sayang kenapa?"

"Nggak apa-apa kok sayang. Selama ada lo, gue baik-baik saja dan bahagia selalu tanpa ada kekurangan sedikit pun karena lo adalah penyempurna hidup gue."

Pusar Zea sudah bergoyang ke sana kemari berkat gombalan receh milik Zafran. Dia terkikik geli. Berdetik-detik, bermenit-menit, berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, dia tidak pernah lagi mendengar panggilan sayang dari seorang pria. Sekali mendapat panggilan sayang, rasanya seperti kopi susu. Kopi ibarat hubungannya yang sudah kandas memakan perasaan pahit. Susu ibarat moment bersama mantan sungguh indah yang sedang dia lalui.

"Apaan?! Lo kebanyakan makan gaje ya? Mabuk gaje tuh. Daritadi bawaannya gaje terus. Minta dijahit tuh mulut?!" tawar Zea sewot.

"Jangan judes-judes, ntar gue tambah cinta. Gue mabuk cinta karena lo, bukan mabuk gaje. Gue maunya yang dijahit hati kita, biar hati lo cuma buat gue, begitu pun sebaliknya, hati gue cuma buat lo."

"Lo udah ngantuk, Zaf? Daritadi ngomongnya ngehalu terus?"

"Jangan pura-pura gitu, Ze. Gue tahu kok, hati lo sedang berbunga-bunga kayak taman bunga dan gue ngehalu kalau lo benar-benar jodoh gue."

Seketika pipi Zea memerah menahan malu. Emang mereka berdua mirip anak kecil, pura-puranya nggak mau, padahal aslinya mau. Bisa dibilang malu-malu kucing. Kayak ABG baru kenal cinta saja.

Tapi terkadang cinta itu lucu. Yang dikejar malah menjauh, yang tidak dikejar malah mendekat. Waktu menjadi sia-sia karena mengejar orang yang salah. Padahal tanpa sadar ada banyak orang yang sedang mengharapkan kita. Tapi nggak pa-pa lah, anggap saja jagain jodoh orang yang sedang kesasar.

"Sudah ah, gue mau tidur. Capek," ujar Zea.

"Good night, Ze. Mimpi indah."

"Mana ada ngucapin selamat tidur pas naik motor?"

"Ada. Buktinya gue, biar antimaenstrim."

Zea tidak merespon perkataan Zafran lagi. Rasa kantuk itu benar-benar datang. Hingga kedua matanya terpejam menuju ke alam mimpi.

Senyum Zafran mengembang saat melihat kedua tangan Zea masih setia memeluknya. Perlakuannya mengingatkan kenangan yang dulu. Dimana saat merasakan sayang-sayangnya. Masa manja-manjanya. Namun apalah daya mereka berdua. Mereka sedang menjalani masa-masa idiot bersama mantan.

Pikiran itu terus mundur ke masa lampau. Cukup menyenangkan, namun rasa sakit lebih mendominasi. Mungkin itulah yang dinamakan cinta, harus siap hati. Karena tak selamanya cinta akan bahagia, kecuali jika seseorang itu benar-benar jodoh dunia akhirat.

Tanpa terasa mereka berdua sudah sampai di depan rumah Zea. Rumah minimalis namun terlihat elegan. Zafran segera membangunkan Zea.

"Bangun, Ze! Kita udah sampai." Zafran menoel-noel pipi Zea, tetap saja yang dibangunkan tidak ada respon.

"Bangun, Ze. Sana pindah ke dalam, ntar masuk angin kalo lama-lama di sini."

"Engh," lenguh Zea.

"Cie, betah amat meluknya."

"Apaan sih?! Gaje banget. Sudah ah gue mau masuk. See you besok di sekolah mantan and good night. Gue tahu karena lo jones, jadi gue ucapin biar nggak kelihatan jonesnya."

"Perhatiannya mantanku ini," ujar Zafran sambil menarik pipi Zea gemas.

"Sakit tahu!"

"Hehehe, ya sudah gue pulang dulu. Mimpi indah mantanku sayang!" Teriak Zafran bersamaan mengegas motor.

Zea hanya menggelengkan kepala. Tingkah Zafran memang cukup menghibur. Walaupun semuanya berbobot receh, seenggaknya masih bisa membuat orang lain tertawa. Konon, ketawa itu bisa menghambat ke masa penuaan.

Dirasa hari semakin larut malam, Zea memutuskan untuk melanjutkan tidur di kamar. Dia berjalan santai saat akan masuk ke dalam rumah.

"Argh! Sakit, hiks," pekik Zea tiba-tiba.