Chereads / Really I Want / Chapter 13 - Chapter 12

Chapter 13 - Chapter 12

Perlahan Zea memegang dahinya. Terasa basah dan bau anyir, itu adalah darah. Secepat mungkin dia menghapusnya agar Zafran tidak panik. Zea bingung mengapa darah itu keluar lagi. Padahal dia tidak merasa terkena apapun atau mungkin tanpa dia sadari? Zea tersenyum agar semua terlihat baik-baik saja. Fake smile itu memang menyakitkan organ dalam, tapi fake smile dibutuhkan oleh seseorang agar terlihat fine di mata orang lain.

Tidak hanya itu, fake smile juga bisa membuat harga diri tetap terjaga. Kebanyakan orang lain akan memandang rendah jika ada seseorang yang sedang kesusahan ataupun kekurangan. Mungkin karena sebab itulah fake smile ada.

"Mana? Nggak ada kok," ujar Zea tersenyum. Namun tanpa dia sadari darah itu kembali keluar.

"Sini ikut!"

Tanpa banyak bicara, Zafran sudah menggandeng tangan kanan Zea dan menariknya ke dalam rumah. Dia tahu jika tidak dengan pemaksaan, maka Zea tidak akan mau. Sudah dapat dipastikan bahwa dia akan selalu menyengkal setiap ucapan Zafran. Mulutnya dia memang satu, tapi omongannya dari sabang sampai merauke tanpa titik tanpa koma.

"Ma! Ma!" Panggil Zafran di dapur mencari keberadaan Dinda.

"Apa sih, Zaf?! Kayak anak kecil aja," jawab Dinda yang baru saja keluar dari kamar mandi. Dia terkejut saat tatapannya sudah beralih ke arah Zea. "Loh ini kenapa, Ze? Kamu apakan anak orang, Zaf? Kamu jangan macem-macem ya!"

"Apaan sih? Yang jelas menyayangi anak oranglah. Ini orangnya, Zea misal. Betul nggak, Ze? Betul nggak? Betul nggak? Ya pasti betul, masa enggak."

"Apaan sih, Zaf. Gue capek debat sama Lo mulu. Emangnya mulut Lo nggak capek?"

"Kamu ini, Zea lagi berdarah gitu masih saja suka gombal. Jadi cowo jangan suka gombal! Siapa yang ngajarin kamu gini hah?! Ini juga kenapa basah semua? Heran deh, dulu waktu Mama hamil kamu ngidamnya apa ya? Kok bisa-bisanya Mama punya anak bobrok seperti kamu gitu. Ayo, Ze, sini ikut Tante."

"Lah yang ngidam Mama, kenapa malah nanya ke aku. Masa iya aku tahu, Aku itu manusia."

Dinda tidak melayani ucapan Zafran lagi. Sebenarnya saat Dinda hamil, dia ngidam tahu gimbal mercon. Suaminya tidak membelikannya karena takut perut Dinda sakit. Tak tahunya malah anaknya benar-benar memiliki mulut seperti mercon. Tidak hanya itu, tahu gimbal itu mungkin plesetan dari perilaku Zafran, yaitu gimbal terpeleset menjadi gombal. Parah banget, istighfar yang banyak saja.

"Kamu ganti baju dulu ya, ini basah nanti masuk angin. Kamu pakai aja baju ini, tante tunggu di ruang tamu."

"Baju ini masih baru loh, Tan. Aku nggak enak kalau pakai ini. Coba yang lain ada nggak, Tan?"

"Enggak ada. Baju ini cocok buat kamu. Nanti buat kamu sekalian saja. Tante masih punya banyak baju lagi kok. Santai saja kali."

"Gimana ya, Tan? Keluarga Tante baik sama aku semua. Aku sampai bingung dan nggak tahu cara balas budi sama keluarga Tante. Barang-barang yang Tante kasih ke aku harganya juga mahal. Aku nggak punya uang untuk membalas kebaikan Tante."

Dinda tersenyum membuat Zea canggung. "Zea, balas budi tidak harus pakai uang. Senyum dan kebaikan kamu saja bagi Tante sudah cukup. Tante ikhlas ngasih kamu."

"Tapi, Tan, menurut aku ini berlebihan. Aku nggak enak ngerepotin Tante terus."

"Zea nggak perlu mikir yang aneh-aneh. Tante hanya minta kamu jaga diri dengan baik. Sekarang ganti baju dulu ya. Tante tunggu di ruang tamu."

***

Dengan cekatan, Dinda segera mengambil kotak P3K. Saat melihat Zea sudah datang, dia menyuruhnya untuk duduk di sofa ruang tamu. Dinda mengobati luka Zea dengan pelan. Hal itu yang menjadikan hati Zea menangis dalam diam. Luka dalam yang selama ini dia simpan kini mulai terbuka perlahan. Tanpa sadar dia menitikkan air mata dan tatapannya tetap lurus menatap manik mata Dinda.

"Loh, kenapa nangis, Ze? Sakit ya?" Tanya Dinda sambil mengusap air mata Zea kemudian memeluknya.

"Nggak kok, Tan. Cuma kelilipan saja," jawab Zea tersenyum getir. Tidak mungkin juga jika dirinya akan membongkar segala hal yang selama ini dia rahasiakan. Dia percaya bahwa semua akan indah pada waktunya. Walaupun itu semua dengan menunggu. Setidaknya menunggu takdir itu lebih baik daripada menunggu orang yang terus menggantungkan hubungan.

"Kalau kamu punya masalah, kamu bisa cerita sama Tante. Tante akan selalu ada buat kamu. Tante ingin kamu bahagia, Zea. Tante sayang banget sama kamu."

"Iya, Tan. Aku juga sayang banget sama Tante. Aku mau pamit pulang dulu ya. Soalnya ini hampir maghrib, takutnya dicariin Bunda."

"Loh, hari ini, Tante masak spesial dan banyak banget khusus kedatangan kamu loh. Masa kamu pulang begitu saja. Makan dulu ya."

"Yah, gimana dong. Aku takut dimarahin Bunda, Tan."

Jika saja Zea boleh jujur, dia ingin berlama-lama di rumah Zafran. Rumah itu benar-benar membuatnya nyaman walaupun tidak dengan orang yang memiliki hubungan istimewa, saudara misal. Di sini posisinya hanya sebatas mantan. Di sisi lain, suasana hatinya sedang campur aduk, antara ingin sedih atau ingin menangis. Sungguh sangat membingungkan.

"Ya sudah, kalau gitu Tante bungkuskan buat kamu dan keluargamu. Lain kali Tante buat kejutannya di waktu yang pas saja. Kalau gini kan nggak sesuai dengan ekspektasi," ujar Dinda agak kecewa, Zea yakin itu.

"Hehehe, jangan buat kejutan, Tan. Ntar akunya terkejut-kejut kayak orang kejang-kejang," ujar Zea berusaha untuk mencairkan suasana.

"Bisa aja kamu itu. Ya sudah sana kamu siap-siap, biar Zafran yang antar kamu pulang. Tante mau bungkuskan makanan buat kamu."

"Iya, Tan. Nggak usah banyak-banyak, Tan."

"Ah tidak apa-apa kali. Ini kan memang khusus buat kamu."

"Hmm ya sudah. Terserah Tante saja, yang terpenting Zea bisa makan masakan Tante lagi. Kangen soalnya, Tan. Hehehe."

"Ah kamu bisa saja."

***

Sudah berkali-kali Diana mengecek keadaan lingkungan sekitar rumah. Diana adalah Ibu Zea. Tidak ada sedikit pun tanda-tanda mengenai Zea. Hal itu yang membuatnya marah. Pasalnya matahari semakin tenggelam ke arah barat. Jarum jam terus berputar seiring waktu. Ya walaupun akan mati jika kehabisan baterai.

Citt!

Suara motor itu berhenti di depan rumah membuat rasa penasaran Diana. Sedikit demi sedikit dia membuka tirai jendela untuk mengintip siapa orang itu. Ternyata dia adalah seseorang yang kini ditunggunya. Kini tangan kanannya sudah mengepal dengan tatapan tajam.

"Terimakasih ya, Zaf," ujar Zea.

"Iya, gue pulang dulu ya."

"Iya, hati-hati di jalan," ujar Zea tersenyum tulus.

Setelah Zafran pergi, Zea memutuskan untuk langsung masuk ke dalam rumah. Satu hal yang tidak dia duga, sebuah pukulan kembali mendarat pada dirinya. Sungguh sangat menyakitkan.

Plak!

"Aww! Sakit!" Pekik Zea tiba-tiba.

"Mau jadi apa kamu?! Anak nggak tahu diri! Ini sudah jam berapa hah?!" Tanya Diana dengan nada membentak.

Zea pergi begitu saja tanpa menjawab pertanyaan Diana. Masalah makanan, lebih baik dia simpan di dalam kamarnya sendiri daripada akan di buang oleh Diana. Hal yang akan dia tuju sekarang adalah kamar. Tempat ternyaman yang bisa membuat dirinya tenang. Sesampainya di kamar, dia tengkurap di atas kasur sambil menangis sesenggukan. Hatinya hancur. Mungkin jika luka satu kali tidak apa-apa. Namun jika berkali-kali maka akan menelan rasa kekecewaan teramat dalam. Terlebih jika banyak berandai-andai yang telah lama diinginkan. Rasanya itu semua harapan yang tak akan tersampaikan. 

Ceklek!

"Kak!" Panggil Ana, adik kandung Zea. Dia menunggu respon Zea di ambang pintu.

"Kakak!"

Tidak ada respon sedikit pun dari Zea. Namun itu semua tidak akan membuat Ana berhenti di sana. Dia melakukan berbagai cara agar Kakaknya mau bicara. Sungguh hatinya juga merasakan sakit.

Ana mendekati Zea kemudian duduk di sebelahnya. "Kak, jangan nangis. Bukannya dulu Kakak selalu yakin akan takdir?"

Pertanyaan itu membuat Zea duduk untuk merespon kedatangan adiknya. Dia menatap Ana dalam untuk menyalurkan rasa kepedihan yang selama ini dia pendam. Bukan masalah kepedihan saja, secara tidak langsung dia menginginkan kekuatan. Siapa saja yang mau dan akan memberikan kekuatan agar dirinya tetap kuat menghadapi kenyataan pahit.

"Iya, tapi sangat menyakitkan. Kita terlahir dari rahim seorang wanita yang sama. Tapi itu semua beda, Na. Kapan gue akan menerima kebahagiaan? Posisi gue nggak seperti hidup lo. Gue itu ada tapi seperti sebatas benalu dan gue itu pembawa sial, Na," ujar Zea sambil menangis.