Zea dan Ana saling berpelukan. Terutama Ana, dia lebih suka mengelus rambut Zea. Sejak kecil mereka berdua tidak pernah bertengkar. Zea adalah Kakak yang baik. Dia selalu menjadi pelindung Ana. Dari Ana saat dinakalin temannya sampai Ana salah pun tetap dia bela. Dia yang akan mengaku berbuat salah, walaupun sebenarnya perbuatan salah itu yang melakukan Ana. Bahkan dia tidak segan-segan mengajak berantem anak laki-laki yang berani mengusik Ana. Karena itu tidak ada yang berani memusuhi Ana, kecuali orang yang belum mengenal tentang Zea.
Ana melepaskan pelukan Zea. Dia mengambil sisir rambut di meja hias. Walaupun Zea itu tomboi, terkadang dia masih mau memoles wajah. Namun hanya pada waktu tertentu saja.
Zea akan memoles wajah saat ada luka di bagian wajah dan saat ada acara formal. Jika hari-hari biasa dia tidak pernah memoles wajah. Dia merasa wajahnya terasa berat dan kucel saat memakai make up.
Sejak dulu Zea takut make up berlebihan. Bukan phobia, tapi dia takut mirip ondel-ondel. Terlebih saat terkena hujan, hatinya was-was jika make up yang dipakainya akan luntur. Bukannya terlihat cantik tapi malah terlihat jelek.
"Nih, Kak, sisiran dulu. Rambutnya berantakan gitu kayak orang gila," ujar Ana memberikan sisir kepada Zea.
"Yang penting kan gue nggak tergila-gila sama mantan," jawab Zea asal.
Sejenak Ana menahan tawa. Dia ingat betul mengenai Zafran. Ada memory yang Ana tidak pernah lupa, yaitu saat Zafran takut kecoak. Dia loncat-loncat ketakutan. Di saat itu juga Ana tertawa terbahak-bahak. Ya kali cowo takut kecoa.
Untung saja saat itu Diana sedang keluar. Jadi aman-aman saja. Saat kejadian itu, Zea yang mengambil kecoa tersebut dan membuangnya keluar. Zea benar-benar heran dengan Zafran. Dia itu benar-benar cowo tulen apa tidak. Pasalnya mengapa dirinya selalu berbanding terbalik? Apa yang Zafran katakan itu benar? Bahwa mereka berdua itu jodoh.
"Mantan? Kak Zafran maksudnya? Cie-cie, aku sudah lama nggak ketemu sama Kak Zafran. Kira-kira nambah ganteng nggak, Kak?" tanya Ana menggoda Zea sambil menaik turunkan alisnya.
"Zafran? Ganteng? Kamu lihat dia dari sisi mana? Lubang Sedotan? Dia itu jelek."
"Iya. Kenapa kalian putus beneran? Eh, tapi menurut Ana, Kak Zafran itu memang ganteng."
Zea mengganti posisi duduknya menghadap ke arah Ana. Dia menyangga dagunya menggunakan kedua tangan. Tak lupa juga bantal yang menjadi penyangga kedua siku tangannya.
"Dia itu yang suka banyak, suka genit sama cewe, pintar, populer, yang paling gue benci tuh dia mau ngeladenin mereka. Terus waktu pulang sekolah gue lihat tukang parkir. Gue termotivasi sama kata-katanya."
"Termotivasi?"
"Iya. Dia bilang sama pengendara mobil 'mundur-mundur, terus-terus, mundur-mundur' gitu terus secara berulang-ulang. Terus pas mobilnya udah melaju malah kecelakaan. Di situ gue dapat petunjuk. Akhirnya gue ambil keputusan buat putus."
"Nah terus apa hubungannya, Kak?"
"Gini ya, Na. Kita itu cewe, kita nggak boleh ngemis cinta sama cowo. Kalau ada laki-laki yang nyakitin, dia bukan yang terbaik buat kita. Kalau kamu masih berharap sama dia, ingat saja kalau jodoh itu sudah ada yang ngatur. Kalau dia jodoh kita nggak bakal kemana-mana kok. Setidaknya dia sudah sadar atas kekhilafannya. Nah kalau dia nyakitin terus mending kita mundur. Sebab lo harus tau kalau resiko cinta adalah patah hati. Di luar sana masih banyak orang kok. Lo juga harus tahu kalau setiap orang punya batas kesabaran."
"Hilih, bilang gitu mudah. Dulu yang baru putus terus nangis-nangis tuh siapa? Baju kotor semua, basah-basahan. Emangnya sinetron gitu? Alay! Lebay!" Ejek Ana.
Memang saat kejadian itu Zea menangis. Saat Ana bertanya, Zea hanya menggeleng pelan, tersenyum, dan mengucapkan tidak apa-apa. Ana tahu sifat Kakaknya, sehingga dia tidak mau ikut campur dulu. Dia hanya menyuruh Zea untuk ganti baju.
Lain dengan Zafran, dia terus menghubungi Ana untuk menanyakan keadaan Zea. Di situ juga Zafran menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Padahal Ana berharap kalau mereka berdua akan terus selamanya. Ana yakin bahwa Zafran adalah anak baik-baik. Dia yakin Zafran akan menjaga, melindungi, dan menyayangi Zea dengan tulus.
"Lo tahu itu?" Tanya Zea.
"Tahu dong. Apasih yang aku nggak tahu," jawab Ana sedikit sombong. Dia ingin membuat Zea penasaran. Sehingga Zea bisa terbuai oleh suasana dan melupakan masalahnya sejenak.
Tangan kanan Zea sudah mengepal dan menantang Ana. Bukannya takut, Ana justru tertawa terpingkal-pingkal kemudian menjulurkan lidah mengejek Zea. Rasa gemas Zea sudah menggebu-gebu. Dia melemparkan sisir ke muka Ana. Saat itu juga Ana mencebikkan bibirnya. Ekspresi wajahnya seketika berubah menjadi cemberut. Dengan begitu, sekarang Zea yang tertawa terpingkal-pingkal.
"Hahaha, muka lo jelek banget," ejek Zea.
"Bodoamat!" Jawab Ana sambil membuang sisir rambut tadi.
Sakit sedikit tidak masalah. Bagi Ana, yang terpenting Zea sudah lumayan terhibur. Ana jarang melihat Zea tertawa lepas.
Akhir-akhir ini hubungannya dengan Zea memang agak renggang. Bukan karena ada masalah dengannya. Ana memahami itu, mungkin karena Zea ingin sendirian untuk menenangkan diri. Itulah sebabnya mengapa Zea menghindari keluarganya.
Hanya momen tertentu saja mereka berdua bisa bersama. Itupun Ana harus menghampiri Zea terlebih dahulu. Terkadang Ana berpikir, bagaimana nasib hubungan dirinya dengan Zea jika Ana tidak pernah mendekati kakaknya itu.
Terkadang Ana sangat khawatir keadaan Zea. Setiap ada masalah, Zea sering mengunci diri di kamar. Bagaimana dia bisa makan? Ana yakin Zea tidak akan ikut makan bersama Diana. Terkadang malah dia malah sekalian tidak makan.
Jika Zea benar-benar tidak keluar dari kamar dan tidak makan di akhir, Ana diam-diam akan mengambil nasi dan lauk untuk diantar ke dalam kamar Zea. Itupun harus hati-hati. Dia takut ketahuan Diana. Bisa tambah ribet urusannya.
"Cepat tua lo!" Ejek Zea lagi.
"Biarin. Lagian nantinya juga akan tua. Wlek!"
"Hahahaha ngambekan banget. Mending sisirin rambut gue!"
"Dasar manja! Udah gede juga! Kenapa aku jadi kakak mu ya. Bagaimana kalau kita tukeran status. Kamu adiknya dan aku sebagai kakaknya," ujar Ana.
Lagi-lagi Zea tertawa. Dia terkadang memakai panggilan lo-gue karena merasa dirinya adalah kakak. Sedangkan Ana, dia selalu menggunakan panggilan aku-kamu sebab dirinya adalah seorang adik. Padahal Zea sudah menyuruh Ana untuk menggunakan panggilan lo-gue, dia tidak pernah merasakan dirinya terbebani ataupun tidak dihormati. Justru dia merasa asik saja, tidak terlalu formal. Namun Ana tetap keras kepala, dia lebih nyaman menggunakan panggilan aku-kamu.
Ana merasa panggilan lo-gue itu tidak sopan. Apalagi digunakan untuk memanggil kakaknya sendiri. Bukankah sopan santun terhadap orang yang lebih tua itu perlu? Tentu Ana akan mengingat itu terus. Hidup juga butuh aturan bukan hanya kebebasan.
"Yakin mau jadi Kakak gue? Masih cengeng nggak?"
"Soalnya Lo manja banget."
"Yaudah sih! Manjanya kan sama lo!"
Ana hanya memutar bola matanya malas. Percuma saja jika meladeni Zea, dia pasti tidak mau kalah. Walaupun mereka sering ribut, mereka tidak pernah bertengkar. Kalaupun ada pertengkaran, ujung-ujungnya pasti tertawa. Sebab tingkah Zea tidak bisa membuat hati Ana membencinya.
Dengan telaten, Ana mulai menyisir rambut Zea dari pangkal rambut sampai ujung rambut. Gerakannya sangat lembut. Pada sisiran keenam, Ana sangat terkejut. Sebab rambut Zea banyak yang rontok.
"Kak, kok rambutnya rontok banyak?" tanya Ana.
"Ah masa? Coba lihat."
Ana memberikan rambut itu dan Zea memperhatikan rambutnya terus. Dia memejamkan mata kemudian menghembuskan napas kasar. Kedua matanya menatap Ana dan tersenyum.
"Gue lupa, gue nggak boleh pakai shampo sembarangan, kalau nggak cocok jadinya rontok."
"Serius, Kak? Masa gitu banget?"
"Iyalah. Namanya juga nggak cocok. Terkadang ada orang yang tidak cocok sama shampo malah jadi ketombean."
"Gitu banget ya? Padahal aku sering ganti-ganti shampo tidak apa-apa tuh."
"Masih beruntung mungkin. Tapi hati-hati saja sih," jawab Zea.
"Hmm, Oke, Kak. Nanti mulai mau fokus sama satu shampo saja deh," ujar Ana. Dia kembali menyisir rambut Zea. Saat membuka poni Zea, dia terkejut.
"Kak, ini kok luka? Pasti gara-gara Bunda ya?" Tanya Ana.
Hati Zea terasa teriris saat Ana menanyakan hal tersebut. Miris sih, mau gimana lagi, memang itu kenyataannya. Zea tidak mungkin mengatakan itu benar. Dia juga harus menjaga nama baik ibunya agar Ana tidak membenci ibunya.
"Ini? Ya kali gara-gara Bunda. Ini gara-gara jatuh. Bunda nggak pernah bikin gue sampai ada luka fisik kok. Santai saja ini hanya luka biasa," jawab Zea berbohong.
"Ck, Kakak bilang Bunda nggak pernah nyakitin Kakak sampai ada luka? Buktinya tadi saja kaki Kakak luka, tuh lihat."
Ana menyangkal pernyataan Zea. Dia heran, mengapa Kakaknya ini suka akting. Jago banget kalau akting. Mengapa tidak sekalian ikut main film saja sih.
Secepat mungkin Zea harus bisa mengalihkan pembahasan ini. Zea akui, Ana memang pintar. Dia tidak mudah dibohongi. Dia tahu bahwa Ana terkadang pura-pura bodoh. Padahal sebenarnya dia tahu semua dan Zea juga tahu mengapa Ana sering seperti itu.
"Gue boleh minta tolong nggak?" Tanya Zea.
"Apa?"
"Gue laper. Lo tahu sendiri kan? Sejak pagi gue sama Bunda gimana? Tolong beliin gue obat juga. Pusing banget nih. Tapi jangan lama-lama ya."
"Siap, Kak," ujar.
"Tapi, gue nggak punya uang, Na. Ngutang sama mbaknya dulu saja, Na. Nanti biar gue lunasi kalau sudah ada uang."
"Santai saja kali, aku masih ada uang tabungan kok," ujar Ana saat di ambang pintu.
Setelah Ana menutup pintu kamar, Zea tersenyum getir. "Andai lo tahu yang sebenarnya, Na," batin Zea.