Bel istirahat pertama telah berbunyi. Siswa siswi mulai berhamburan menuju kantin. Berbeda dengan Zafran, dia merasakan sepi tanpa Zea.
Hari-hari biasanya akan selalu ada pertengkaran karena dirinya yang suka menjahili Zea. Untuk kali ini dia merasa galau berat. Apalagi dia mengetahui bahwa Zea sedang sakit. Ditambah dia juga mengetahui bahwa Zea malas minum obat karena pahit. Rasa galaunya bertambah-tambah dan pikiran yang aneh-aneh mulai muncul.
Obat memang pahit. Tapi pahitnya obat menyembuhkan penyakit. Tapi mengapa kata-kata manis dan gombal justru memicu penyakit.
Sebenarnya jika keadaan Zea tidak terlalu kacau, dia akan tetap berangkat sekolah. Di rumah sendirian justru membuatnya semakin terpuruk. Dia lebih suka keramaian daripada kesepian.
"Kenapa gue kangen Zea? Padahal baru hari ini nggak ketemu?" Batin Zafran.
Dia sedang berusaha mengintropeksi diri. Zafran sadar kalau dirinya memang sayang Zea. Tapi apakah dia juga mencintai Zea? Sayang dan cinta itu berbeda. Mungkin satu orang bisa menyayangi banyak orang, tapi satu orang tidak mungkin mencintai banyak orang. Cinta itu untuk satu orang. Cinta hanya untuk orang spesial.
"Apa gue ke sana saja ya? Ah tapi nggak mungkin. Gue malu. Ya kali mantan mau jenguk mantan sakit. Nanti dikiranya gue masih berharap sama dia," batin Zafran.
Sejak tadi Zafran memikirkan Zea. Sejak kemarin dia juga merasa bersalah. Kenapa dia tidak memberi keringanan kepada Zea? Padahal itu sangat mudah.
Zafran hanya takut melanggar keadilan. Seperti yang dia ketahui bahwa seorang pemimpin harus adil dan bijaksana. Mengapa demikian? Karena pemimpin adalah contoh. Sebagai contoh harus bisa menjaga nama baik. Jangan sampai menjatuhkan diri sendiri.
"Gue bodoh banget sih! Zea sakit gara-gara gue," batin Zafran lagi.
Jari kanan Zafran terus mengetuk meja secara bergantian. Pandangannya pun kosong. Dia memikirkan Zea. Dari mulai dia mengenal Zea sampai putus.
Ternyata yang membutuhkan perjuangan bukan hanya mendapatkan seseorang, melepaskan seseorang pun juga perlu perjuangan. Dari mulai kenangan menyenangkan sampai kenangan yang menyedihkan. Andai waktu bisa di putar, seseorang tidak akan melakukan kesalahan yang sama karena sejatinya manusia itu tempatnya lupa dan dosa. Tidak ada seseorang yang sempurna. Karena itu cinta harus bisa menerima kekurangan agar bisa saling melengkapi bukan hanya sekedar perjuangan.
"Kenapa gue sama Zea harus putus gini? Gue masih ingin bersama Zea," ujar Zafran lirih.
Zafran menghembuskan napas kasar. Kemudian dia mengambil handphone di sakunya. Tujuannya yaitu mencari kontak WhatsApp Zea. Dia ingin video call untuk mengobati rasa kangen.
Eits, lupa. Zafran belum punya nomor baru Zea. Dia merutukki kebodoh.annya. Seharusnya dia punya nomor Zea sejak lama. Lagian tiap hati ketemu mengapa juga belum punya.
"Ini karena gue nggak pernah kontekkan tiap malam sama Zea nih. Apa karena gue tiap hari ketemu Zea itu sudah cukup? Ck, bodoh banget sih Lo! Kalau macam ini caranya, bagaimana mau dapatin Zea lagi? Dasar bodoh," ujar Zafran sendirian.
"Lo memang bodoh dalam masalah cinta kali," sambung Sintia tiba-tiba.
"Apaan sih Lo?! Ganggu aja!"
"Gue mau nagih imbalan kerja gue kemarin, Zaf karena Lo nggak traktir gue, sekarang gue minta imbalan dalam bentuk duit, mana?!" Tagih Sintia.
Ini nih kebiasaan Zafran. Terkadang suka lupa sama janjinya sendiri. Tidak masalah bagi Sintia, dia tetap akan menagih Zafran. Baginya, janji tetaplah janji. Kalau sudah janji ya harus ditepati. Lagian Sintia sudah kenal Zafran sejak lama.
Mungkin akan beda nasib jika dengan selain Sintia. Mungkin orang tersebut akan akan malu menagih janji Zafran. Orang lain memang suka gengsi sama Zafran. Terutama cewe, dia suka merasa insecure. Mereka selalu berpikir bahwa Zafran itu orang kaya dan ganteng, pasti selera pasangannya tinggi.
Padahal kenyataannya tidak seperti itu. Menurut Sintia, Zafran itu pecundang. Dia hanya modal tampang dan gombal saja. Aslinya sih mengungkapkan perasaannya ke seseorang saja cemen, dia takut ditolak.
"Nih! Matre banget jadi cewek!" Sewot Zafran sambil memberikan uang warna hijau.
"Cewek matre itu wajar dan yang nggak wajar itu cowok pelit."
"Terserah lo deh. Gue lagi pusing!"
"Nyariin Zea? Cie yang lagi kesepian. Bodoh banget jadi cowok. Nomor cewe yang disuka saja sampai nggak punya. Huh, cupu!" Ejek Sintia.
Begitu mendengar kata cupu, Zafran tidak terima. Jika saja orang di depannya ini bukan cewe pasti sudah akan diajak baku hantam. Oke, di posisi ini Zafran cukup sadar diri. Tarik napas kemudian buang pelan-pelan agar tidak tersulut emosi.
"Sintia anak baik, tidak sombong, dan rajin menabung, sebaiknya lo pergi dari sekarang sebelum gue emosi," usir Zafran secara halus.
Bukannya pergi, Sintia malah tertawa. Tentu saja Zafran semakin sebal. Tinggal pergi saja apa susahnya sih.
"Ngapain Lo ketawa?!"
"Gue saja punya nomor WA Zea masa Lo nggak punya. Hahaha."
"Serius? Gue minta!"
"Hah? Minta? I'm sorry. Lo sudah ngusir gue. Sekarang gue pergi ya, bay!" Pamit Sintia.
Dengan sigap, Zafran bisa menyengkal Sintia. Tidak semudah itu menghadapi Zafran dan tidak semudah itu menghadapi Sintia. Keduanya sama-sama keras kepala.
"Lo mau duit lagi nggak? Kalau mau nanti gue kasih dua puluh ribu lagi. Tenang saja, duit empat puluh ribu buat Lo nggak bakal bisa langsung bikin gue melarat."
"Sombong amat. Bentar gue cariin dulu di hp gue."
"Nggak usah lama-lama."
"Nih nomornya. Mana duitnya."
Tidak butuh banyak waktu, Zafran langsung memberikan uang tersebut. "Gini terus dong, Zaf. Siapa tahu kekayaan lo nular ke gue, hahaha."
"Berisik! Nih hp lo."
Dia meninggalkan Sintia dan akan segera menghubungi Zea. Kesempatan ini tidak boleh disia-siakan. Waktu istirahat kurang 10 menit.
"Mantan!" panggil Zafran saat panggilannya sudah diterima Zea. Berbanding terbalik dengan Zea. Dia hanya memutar bola matanya malas. Wajah Zea membuat Zafran semakin khawatir. "Kok matanya bengkak gitu?"
"Ah masa?" tanyanya kemudian memencet layar kecil video agar menjadi lebar. "Mana? Enggak kok biasa saja. Efek sakit mungkin."
"Serius, Ze. Di camera nggak kelihatan mungkin karena efek cameranya."
"Bentar gue mau ngaca dulu," ujar Zea sambil berpikir untuk mencari jawaban agar Zafran tidak curiga bahwa dirinya baru saja menangis. Dia sengaja menaruh handphone nya di kasur untuk berpikir lebih mantap. Setelah menemukan ide, dia langsung akting. "Astaghfirullah! Ini mata gue kenapa bisa gini? Ini gimana, Zaf?"
"Apa gue bilang? Lagian kenapa bisa gitu? Tadi lo ngapain saja?"
"Tadi tuh gue cuma nggak sengaja nabrak adik gue yang lagi bawa tepung. Eh terus tepungnya jadi pada ke wajah dan badan gue. Tapi juga kena mata gue."
"Nah mungkin kena tepung itu."
Ekspresi Zea berpura-pura kaget. Kedua alisnya menepung dan membentuk gelombang kecil di dahi. "Serius? Masa iya ngaruhnya gini banget. Apa jangan-jangan gue digigit serangga ya? Ya ampun, jelek banget muka gue."
"Baru nyadar kalau jelek."
"Bodo amat."
Zafran tertawa terbahak-bahak saat Zea mulai kesal. Rasa bahagia muncul lagi jika sudah berhasil membuat Zea kesal. Baginya, hal itu adalah kemenangan.
"Ze, gue sayang sama lo, gue ingin bersatu lagi sama lo. Nggak kayak gini terus," ujar Zafran dengan wajah memelas.
Di sebrang sana Zea sedang tertawa terbahak-bahak. Apalagi memandang wajah Zafran yang menurutnya diimut-imutkan. Dia berhenti tertawa dan tiba-tiba menjadi judes."Jangan mimpi lo! Cowok seperti lo pantasnya jomblo seumur hidup, hahaha."
"Ck, dasar kebanyakan halu. Gue ingin bersatu sama lo buat Indonesia agar maju. Dan rasa sayang itu buat menciptakan kerukunan dan merupakan sebagian dari senjata persatuan. Gini nih kalau PKN nya bodoh, hahahah."
***
Mata Zea terus berkedip dan mulutnya membuka lebar. Seketika dia menahan rasa malu. Untung saja masih lewat video call. Andai saja secara langsung, dia ingin langsung ditelan bumi.
"Kenapa diam? Malu ya? Hahaha?" tanya Zafran sambil terus tertawa.
"Gue punya pantun buat lo."
"Apa tuh? Pasti pantun balas rasa sayang gue ya? Hahaha."
"Pak amat beli bubur sumsum, bodo amat wassalamualaikum!" ujar Zea ngegas. Setelah itu dia mematikan video call sekaligus mematikan handphone nya. Dia sedang tidak ingin diganggu Zafran.
Sudah sering kali Zea dibuat baper Zafran. Sudah sering juga dia dibuat jatuh. Sehingga rasa kesal itu terus bergelut dengan Zea. Sebab, saat Zafran sudah membuatnya kesal, dia lebih memilih diam ataupun meninggalkan Zafran yang sedang tertawa.
"Astaghfirullah, astaghfirullah, astaghfirullah, jauhkanlah hamba dari orang gila semacam dia ya Allah," ujar Zea menutup mata sambil mengelus dada.
"Siapa yang gila, Kak?" Tanya Ana yang tiba-tiba sudah di dalam kamar Zea. Dia terkikik sendiri melihat Zea kesal. Dia yakin bahwa yang membuatnya kesal adalah Zafran. Sebab saat masuk ke kamar, dia melihat Zea sedang melempar handphone nya.
"Ah, nggak kok. Oh iya, Na, gue mau tanya. Kok lo tumben jam segini sudah pulang?"
"Iya, soalnya guru-guru lagi pada mau kondangan. ini makanan sama obatnya, Kak," ujar Ana memberikan makanan dan obat kemudian ikut duduk di tepi ranjang sebelah kanan Zea. "Kakak sendiri tumben sudah pulang? Dan itu handphone nya dibeliin Kak Zafran ya? Cie."
"Sok tahu lo! Gue kemarin disuruh pulang, katanya gue sakit. Padahal cuma capek, laper, pusing, terus pingsan saja. Berhubung mata gue masih gede-gede seperti ini, gue memutuskan hari ini mau libur sekolah dulu."
Mulut Ana membuka lebar. Kedua alisnya menyatu. "Gini nih kalau begonya tanpa efek."
"Berani ngomong gitu sama orang gede dosa, Na."
"Hehehe. Nih makanan buat Kakak. Pasti belum makan kan?"
"Tahu saja Lo. Sudah pantas jadi dukun."
Zea mulai memakan makanan yang di belikan Ana. Sedangkan Ana, dia sedang menonton TV kartun Upin Ipin. Kakak adik itu sangat terlihat kompak. Tidak pernah bertengkar, mereka selalu menerapkan kasih sayang.
"Na, gue boleh minta tolong nggak?" Tanya Zea setelah selesai makan.
"Apa, Kak?"
"Besok gue pinjem kaos kaki lo ya. Punya gue kotor semua, tinggal satu yang kemarin tapi sudah kena darah."
"Tapi punyaku panjang semua, Kak. Kakak kan dari dulu nggak suka pakai kaos kaki pendek. Lagian masih sakit kenapa harus maksa pakai kaos kaki?"
"Gue kan taat peraturan, hahaha," jawab Zea kemudian tertawa.
Lagi-lagi Zea terus tertawa membuat Ana kesal. Sebab dari dulu Zea tidak peka terhadap rasa khawatir Ana. Dia selalu tertawa walaupun sedang merasakan sakit. Sampai terkadang Ana sendiri tidak tahu bagaimana cara menghibur Zea, sehingga dia hanya bisa pasrah. Baginya saat melihat Zea tertawa sudah meringankan beban kekhawatirannya.
"Iya deh, terserah Kakak. Besok pagi Kakak yang ke kamarku ya."
"Siap," jawab Zea memberikan acungan jempol. Dia tersenyum melihat Ana. "Sebenarnya gue minjem kaos kaki lo biar nggak ada orang yang tahu tentang luka ini, Na. Gue harap lo bisa menerima kenyataan di suatu hari nanti," batinnya.