Chereads / Really I Want / Chapter 18 - Chapter 17

Chapter 18 - Chapter 17

Beling-beling berserakan di lantai. Dari beling itu ada salah satu beling yang menggores kaki Zea sehingga menimbulkan darah muncul. Dia memejamkan mata menahan perih. Tanpa dia sadari air matanya sudah menetes. Bukan menangis karena goresan luka itu, melainkan nasib yang dialaminya.

Terkadang Zea heran. Diana adalah ibu kandungnya. Tapi mengapa dia berlaku tidak adil kepada kedua anaknya? Zea tidak berharap lebih. Dia hanya ingin diberi kasih sayang tulus dari Diana. Apakah permintaannya sesulit itu?

Jika Diana bukan ibu kandungnya, dia tidak akan heran. Perlakuan ibu tiri memang ada yang kasar kepada anak tiri. Tapi dia bukan ibu tiri, ini masalah dengan ibu kandungnya.

Zea juga ingin tahu, mengapa Diana begitu membencinya. Apa alasan yang mendasari dia membenci dirinya. Jika ada komunikasi, Zea ingin Diana berbicara baik-baik.

Semua orang pasti ingin hubungan harmonis di dalam keluarga. Momen kebersamaan bersama keluarga adalah harapan setiap anak. Sebab keluarga adalah seseorang yang pertama kali anak kenal saat kecil. Orang yang selalu memberikan kasih sayang penuh tanpa pamrih. Apalagi perjuangan seorang ibu.

Saat mengingat dirinya sudah tumbuh dewasa, Zea tidak bisa berkata apa-apa lagi selain berterima kasih kepada kedua orang tuanya. Walaupun hubungan dengan keluarganya dingin, tapi Zea yakin sebenarnya mereka sangat menyayangi dirinya. Buktinya Zea dirawat sampai tumbuh remaja. Saat Zea merasa kecewa, dia selalu berpikir positif. Mungkin Diana selaku bundanya sedang kecapekan. Tidak dipungkiri pekerjaan wanita memang banyak. Selain bekerja, Diana juga harus ekstra mengurus keluarga. Dari anak hingga kebersihan rumah harus tetap dia jaga.

Bagi Zea, setiap hari harus menahan amarah dan sakit hati adalah hal yang biasa. Menunjukkan keadaan baik-baik saja di hadapan orang lain adalah hal yang sudah biasa Zea lakukan. Tapi itu semua tidak mudah seperti apa yang kita bayangkan.

Bayangkan saja antara hati dan otak tidak sinkron. Hati mengajak Zea agar mau cerita kepada orang lain. Sebab hati sudah tak kuasa menahan sakit. Berbanding terbalik dengan otak yang selalu mengajaknya untuk berpikir kritis. Memory lama juga membuat Zea agak trauma. Kembali lagi pada prinsip Zea, cukup tersenyum dan tertawa, setidaknya tawa bisa menenangkan keadaan, walaupun itu sejenak.

"Mau kamu apa?! Kamu saya sekolahkan mahal! Kenapa kamu malah diantar cowo itu terus? kamu pacaran sama dia?!" Bentak Diana.

Zea mendongakkan kepala menatap ibunya. "Aku cuma ingin merasakan kasih sayang yang sebenarnya. Aku juga ingin disayang Bunda. Kenapa? kenapa aku diantar cowo itu terus? harusnya Bunda juga tanya kepada diri sendiri. Kenapa orang lain yang selalu ada untuk anak Bunda? Kenapa tidak Bunda? Kenapa, Bun?!" Tanya Zea dengan nada melemah, kemudian dia meninggalkan Diana yang sedang mematung.

Apa yang dikatakan Zea memang betul. Diana baru sadar mengapa dirinya selalu pilih kasih? bukankah seorang ibu itu harus adil. Tapi mengapa dia begitu benci saat melihat wajah Zea? Padahal Zea adalah anak kecil yang tidak tahu penyebabnya. Mengapa dia malah menjadi korban pelampiasannya?

"Maafin Bunda, Ze. Bunda belum siap menerima kenyataan," ujar Diana lirih.

"nggak, nggak, nggak, nggak mungkin. Ini semua nggak mungkin. Ini nggak akan terjadi," gumam Diana lirih.

Diana menjambak rambutnya. Dia kesal terhadap apa yang yang sudah menimpa dirinya. Dia juga benci kepada dirinya sendiri.

***

Kedua mata itu terus mengeluarkan air mata. Sebenarnya Zea ingin hubungan keluarganya sama seperti pada orang umumnya, terlihat damai, rukun, dan harmonis. Terkadang Zea berpikir, apakah cuma dirinya saja yang tidak beruntung? Apakah ada di luar sana orang tua yang lebih kejam dari Diana? Ah sudahlah Zea tidak mau mempersulit pikirannya.

Tujuan utamanya sekarang yaitu kamar. Sebuah tempat yang membuat seseorang nyaman dan tenang. Dia melempar tasnya ke meja belajar. Di kamar, Zea bisa mengekspresikan segala perasaannya. Dia juga memiliki teman di dalam kamar. Dia menganggap cermin sebagai teman curhat dan teman untuk berkeluh kesah. Zea tahu betul bahwa cermin adalah benda mati. Jadi, dia juga tahu kalau cermin tidak akan merespon setiap keluh kesah yang dirinya ucapkan.

Zea hanya butuh pendengar setia. Cukup jadi pendengar tanpa ada campur tangan dalam setiap masalah yang dialaminya. Rasanya itu sudah lebih dari cukup walaupun terkadang hatinya memberontak ingin diceritakan kepada manusia sesungguhnya.

Foto keluarga yang Zea letakkan di atas nakas itu selalu membuatnya ingat di masa lalu. Dia mengambil foto itu lalu dipeluk. Rasa sakit di kakinya tidak terasa lagi. Selain rasa sakit hati yang mendominasi, sifat tomboinya pun juga mempengaruhinya. Baginya, goresan luka itu kecil seperti digigit semut.

Sedangkan Ana, dia melihat kejadian itu semua. Menurut Ana, perbuatan Diana memang keterlaluan. Anak mana yang mau diperlakukan diskriminasi. Apalagi dari ibu kandungan yang sama. Tentu semua orang ingin memiliki hak yang sama, terutama dalam hal kasih sayang.

Ana tahu diri, dia jua bisa merasakan apa yang Zea rasakan. Jika Ana diposisi Kakaknya, mungkin Ana akan menangis terus. Dia bangga bisa memiliki kakak sekuat Zea Akhirnya Ana memutuskan untuk mendekati Zea.

Tok... Tok...

"Kak!" Panggil Ana pelan. Dia duduk di tepi ranjang. Tangan kanannya terulur mengelus rambut Zea. Sebenarnya dia juga ingin menangis, namun sekuat mungkin dia harus bisa menahan air mata. Sebab tujuannya yaitu menguatkan hati Zea agar tidak terlalu rapuh. Ya kali mau menguatkan orang lain malah ikutan nangis juga.

"Kak, Ana sayang Kakak. Ana akan selalu ada buat Kakak. Ana nggak mau lihat air mata Kakak. Sudah cukup, Kak. Kalau Kakak butuh bantuan, Ana selalu siap kok. Ana janji, Ana akan selalu ada buat Kakak. Ana akan lindungi Kakak seperti Kakak melindungi Ana."

Saat itu juga Ana melihat kaki Zea. Dia segera mengambil kotak P3K di atas lemari Zea. Karena tinggi badannya yang minim, dia menggunakan kursi untuk dipanjat agar lebih mudah diambil. Tanpa sadar, Ana meneteskan air mata. Dia segera menghapus air mata itu agar Zea tidak mengetahui hal tersebut. Ingat, tujuan utamanya adalah menguatkan Kakaknya. Jadi, harus punya mental baja.

Ana mulai melepas sepatu dan kaos kaki Zea. Saat itu juga Zea bangun kemudian duduk di tepi ranjang sambil menatap Ana.

"Ana!"

Ana tidak menjawab. Dia hanya tersenyum. Ingatan Zea memutar balik di jaman dahulu. Antara senang dan sedih. Di saat dulu, dia sering menasehati adiknya agar selalu menjadi pribadi yang tangguh dan kuat. Namun saat ini menjadi terbalik. Ternyata berbicara untuk menasehati dan memotivasi orang lain itu mudah, namun mempraktikannya sendiri tidak semudah apa yang kita ucapkan. Sebab jika sudah berkaitan dengan hati, di situ juga ada tantangan. Seberapa kuat kita menerima cobaan.

Flashback on

"Ana, awas! Jangan di situ nanti kena bola!" Teriak Zea sambil bermain bola api.

Sejak kecil Zea memang lebih suka bermain dengan laki-laki. Sejak dulu dia benci berteman dengan perempuan. Selain banyak mulut, dia juga benci dengan orang yang lemah dan dia menganggap bahwa perempuan itu identik dengan lemah. Sampai-sampai rambut Zea dipotong model rambut laki-laki. Terkadang dia juga mengenakan baju laki-laki karena antusiasnya ingin menjadi seorang laki-laki.

"Aku nggak mau! Aku ingin main sama kalian!" Teriak Ana di pinggir lapangan.

"Tapi ini bahaya, Na! Ini bola api, ada api nya!" Perintah Reno.

Mereka memang bermain di tempat lapangan yang luas dan jauh dari rumah penduduk. Namun tetap saja, yang berhubungan dengan api pasti berbahaya. Karena itu Zea tidak ingin Ana kenapa-napa.

"Nggak mau! Ana tetap mau di sini!" Kata Ana sambil memeluk boneka beruang kesayangannya.

Zea mengehembuskan napas kasar. Akhirnya dia memilih untuk mengalah. Mereka melanjutkan bermain bola api. Suasana menjadi riuh. Ana yang sedari tadi menonton juga ikut senang. Dari yang menjerit-jerit sampai tertawa terbahak-bahak.

Bola api berhasil direbut oleh Dian. Saat Dian menendang, bola api tersebut melambung tinggi menuju ke arah Ana duduk. Zea segera lari menuju ke sana untuk menghalau bola itu.

"Ana! awas!" Teriak Zea.

Ana segera berdiri untuk menghindar dari bola itu. "Kya!"

Nasi terlanjur menjadi bubur. Bola itu mengenai kaki kanan Ana dan meninggalkan luka bakar. Dia menangis merasakan sakit. Zea dan teman-temannya menghampiri Ana. Mereka mengerubungi Ana yang sedang menangis.

"Ana, kaki lo luka. Sini gue gendong," ujar Zea.

"Biar gue aja, Ze. Gue yang tanggung jawab," ujar Dian.

"Ah, nggak apa-apa, Yan. Gue kuat kok. Ayo, Na, naik!"

Di sepanjang jalan, Ana terus menangis. Sebuah keberuntungan bagi Zea. Dia melihat daun binahong. "Ana, lo tunggu di sini ya."

Zea mulai memetik daun itu kemudian dihaluskan menggunakan batu. Setelah lumayan halus, dia membawanya menggunakan tangan. Dia menghampiri Ana. Keringatnya terus bercucuran. Usaha akan membuahkan hasil. Sedangkan perjuangan adalah salah satu bagian dari usaha yang merupakan proses dari hasil. Usaha tanpa perjuangan sama saja dengan orang yang mudah putus asa. Dengan perjuangan, seseorang tidak akan mudah menyerah sebelum keinginannya tercapai. Oleh sebab itu Zea ingin adiknya segera sembuh.

"Ana, siniin kakinya," ujar Zea.

Ana mengulurkan kaki. "Itu apa, Kak? Argh, sakit Kak. Hiks."

"Tahan sedikit, Na. Ntar juga sembuh. Lo itu nggak boleh cengeng. Jadi perempuan harus kuat, nggak boleh terlihat lemah, ntar malah jadi diremehkan orang lain. Luka gini tuh gue sudah biasa, Na."

"Terus Kakak nangis nggak?"

"Nggak kok. Aku malah benci air mata."

"Kenapa?"

"Lemah."

"Ya sudah, aku nggak mau lemah. Biar kayak Kak Zea, banyak temannya. Aku sayang Kakak. Makasih, Kak," ujar Ana memeluk Zea.

Flashback off

Air mata Zea terus menetes membasahi pipi. Melihat Ana telaten membersihkan lukanya mengingatkan kejadian di masa lalu, disaat dirinya masih berumur 4 tahun. Dimana masa belum terlalu mengetahui pahitnya kehidupan. Setelah Ana selesai mengobati luka Zea, dia menghapus air mata Zea. Dia tersenyum tulus.

"Jangan nangis terus, Kak. Ana sayang Kakak kok. Kakak selalu perhatian dan peduli sama Ana. Kakak nggak pernah marahin Ana. Kakak selalu kuatin Ana di saat Ana lagi sedih. Ana sayang Kakak," ujar Ana memeluk Zea.