Chereads / Really I Want / Chapter 15 - Chapter 14

Chapter 15 - Chapter 14

"Mana bisa nyambung. Gue manusia bukan kabel. Ya kali nyambung, eh, tapi kalau nyambung perasaan bisa sih. Mau dicoba, Ze? Ayo, gue sih mau banget kalau disuruh nyambung perasaan sama Lo." Jawab Zafran membuat Zea semakin sebal.

Kesabaran Zea sudah di puncak batas. Jika dia tidak sedang ada masalah dengan peraturan sekolah, detik itu juga Zea akan menendang Zafran. Pasalnya mereka berdua sedang berada di lapangan. Hal mustahil jika Zea akan menendang Zafran. Mungkin mereka berdua akan diduga sedang berkelahi. Zea tidak mau hal itu terjadi. Tambah ribet urusannya. Sanksi satu saja belum dilaksanakan, ya kali mau ditambah sanksi lagi karena perbuatannya sendiri.

"Zaf, sekali-kali ngomong serius bisa nggak? Gue capek dengerin omong kosong Lo itu. Perut gue mual dengar kata-kata Lo," ujar Zea menahan marah.

"Ze, gue ini memang serius dari dulu. Apa kurang jelas? Mau diperjelas lagi? Besok gue bakal bawa mikroskop."

"Buat apa? Jangan ngadi-ngadi deh, nggak lucu!"

"Lo bilang kalau kata-kata gue cuma omong kosong. Nanti kita pakai mikroskop buat lihat seberapa besar perasaan gue buat Lo."

"Gini kalau otaknya ketinggalan. Lo kalau ngomong suka ngawur. Lo kira perasaan bisa dilihat dari mikroskop, hah?!"

Kedua mata Zea melotot. Mendengar penuturan Zafran semakin membuat Zea ingin mengamuk. Dia memang sangat menyebalkan dalam bidang apapun.

"Setahu gue mikroskop itu buat lihat objek kecil biar terlihat besar."

"Terus masalah perasaan adalah objek? Nggak perlu Ngadi Ngadi deh. Perasaan nggak bisa dilihat. Perasaan hanya bisa dirasakan. Kalaupun orang lain bisa merasakan apa yang Lo rasakan sekarang? Itu namanya empati"

"Iya, ibu negara. Bercanda doang kali," ujar Zafran cengengesan.

Ini alasan mengapa Zea benci dengan Zafran. Mengapa dia tidak pernah terus terang? Dia bilang suka. Kenyataannya dia selalu bilang canda di akhir kalimat ataupun menjatuhkan perasaan saat dirinya sedang baper.

"Hukuman buat gue apa?" Tanya Zea agar Zafran mengakhiri pertempuran ini.

"Harus mencintai gue selamanya. Gimana? Setuju nggak? Ya setujulah, masa enggak."

"Zafran?! Lo gila ya?!" Teriak Zea sudah tidak sabar menghadapi Zafran.

Teriakan Zea membuat salah satu guru BK keluar dari ruangannya. Dia adalah Pak Shodiq yang sering di juluki sebagai Pak Kumis. Tiap saat kerjaannya mengelus kumisnya yang lumayan lebat. Tidak hanya itu, kacamata yang selalu dia pakai sering merosot dikarenakan hidungnya yang kurang tinggi. Dia juga terkenal galak dan keras kepala, apalagi saat memberikan hukuman. Menurutnya sekalinya salah tetap salah. Setiap murid telat saat menghadap Pak Shodiq sangat ketakutan. Khususnya untuk anak kelas 10, rata-rata dari mereka belum begitu kenal karakter masing-masing gurunya.

Di samping terkenal galak dan keras kepala, Pak Shodiq merupakan guru paling disiplin. Pak Shodiq mempunyai prinsip, setiap pemimpin harus memberi contoh yang baik. Pak Shodiq sadar, bahwa seseorang akan respect terhadap ajakan seseorang jika orang yang mengajak tersebut sudah melakukannya terlebih dahulu. Oleh sebab itu, sebagai guru BK, dia selalu berangkat pagi. Dia berharap muridnya juga akan ikut disiplin.

Pak Shodiq melangkahkan kaki menuju Zea dan Zafran. Kedua matanya terus melotot. Kadang suka heran sama orang yang suka melotot. Apa matanya tidak sakit ataupun pegal?

"Zafran, kamu masuk ke kelas saja sana. Ini biar Bapak yang urus," ujar Pak Shodiq.

"Siap, Pak."

Kedua mata Zea membulat sempurna. Sungguh dia tidak menyangka jika Zafran akan setega itu. Umumnya, jika seorang laki-laki yang mencintai wanita, maka dia akan berani berkorban demi wanita tersebut, bahkan ada yang sampai babak belur pun dia tetap rela melakukan itu semua. Hal terpenting, si wanita tetap baik-baik saja tanpa tergores luka, baik luka fisik maupun luka batin. Ya walaupun Indonesia sudah merdeka. Setidaknya memperjuangkan cinta tetap dilakukan untuk melanjutkan keturunan, lagian unsur terbentuknya suatu negara harus ada rakyat. Maka dari itu harus melestarikan keturunan. Asalkan tidak mengemis-ngemis cinta. Kalau sudah diperjuangkan tetapi dia menyianyiakan, bukan berarti kamu kalah ataupun tidak laku. Tapi dia itu bukan yang terbaik untuk kamu. Dengan begitu, Zea yakin pada dirinya sendiri bahwah cinta Zafran kepada dirinya itu bullshit.

"Zea?" Tanya Pak Shodiq. Pertanyaan seperti itu saja membuat sekujur tubuh Zea merinding. Dia punya firasat buruk mengenai sanksi yang akan diterimanya saat ini.

"I-iya, Pak."

Tanpa sengaja tatapan Zea bertemu tatapan Zafran. Dia kira Zafran akan segera masuk ke dalam kelas. Nyatanya tidak, dia hanya duduk di depan ruang BK.

"Semangat!" Ujar Zafran memberikan semangat untuk Zea tanpa mengeluarkan suara.

"Awas Lo!" Ujar Zea lirih mengancam Zafran.

"Apa? Kamu menantang saya?!" Tanya Pak Shodiq dengan nada keras.

"Ah, e-eng-enggak kok, Pak. Itu gara-gara orang yang dibelakang bapak."

Sial, Zafran menyebalkan. Dia menghilang begitu saja. Pak Shodiq pasti tetap akan menganggap Zea sedang mengancam dirinya.

"Kamu berani sama saya? Berani ngancam saya?"

"Maaf, Pak. T-tadi ada orang di sana," ujarnya sambil menunjuk ke arah ruang BK.

"Jangan ngadi-ngadi!"

Zea menelan salivanya. Sekujur tubuhnya menegang. Sudah dipastikan jika dirinya akan mendapatkan hukuman berat. Apalagi saat memandang punggung Zafran yang sudah meninggalkan dirinya di lapangan bersama Pak Shodiq membuatnya semakin tambah kesal. Zafran membuat hukuman Zea semakin berat.

"Maaf, Pak," ujar Zea tidak mau memperpanjang masalah.

"Kenapa kamu telat?!" Tanya Pak Shodiq dengan nada dingin dan membentak. Tapi tetap saja dingin es batu.

"Karena waktunya aja yang terus berputar, Pak. Kalau saja nggak berputar, saya nggak bakal telat gini dan sayangnya waktu itu egois, maunya ke masa yang akan datang terus," jawab Zea dengan susah payah menahan rasa takut. Bahkan keringat dingin sudah menyelimuti pada dirinya.

"Kamu ini ditanya malah jawab ngasal, karena kamu berangkat telat dan mengancam saya, hukumannya saya tambah. Lari tiga kali memutari lapangan ini setelah itu bersihkan kamar mandi wanita."

"I-iya, Pak."

"Lakukan sekarang dan saya akan mengecek pekerjaan mu saat jam istirahat pertama!" Perintah Pak Shodiq. Kemudian dia meninggalkan Zea.

Akhirnya Zea sudah bisa bernapas lega. Namun itu semua tidak dengan kondisi batinnya. Sungguh dia ingin menggampar kepala Zafran agar kapok. Dia mulai mengerjakan perintah Pak Shodiq.

"Awas Lo, Zaf. Tunggu pembalasan gue," batin Zea disela-sela lari.

***

"Apakah buku paketnya sudah diambil?" Tanya Bu Ina, guru mapel sejarah.

"Belum, Bu," jawab anak kelas XI IPS 1.

Bu Ina hanya geleng-geleng kepala. Dia adalah tipe guru penyabar. Lagian marah itu bisa bikin cepat tua kan? Terlebih bisa menjadikan penyakit organ dalam. Oleh karena itu, kita harus jadi penyabar biar pantatnya lebar. Eh, canda kok. Jadi orang sabar disayang Tuhan.

"Ya sudah sana ambil bukunya. Siapa yang mau ngambil?"

"Saya aja, Bu. Sekalian mau mampir ke kamar mandi. Kebelet banget ini," ujar Zafran tanpa rasa malu.

"Ya sudah sana."

Zafran segera meninggalkan kelas. Tujuan awalnya yaitu ke kamar mandi terlebih dahulu untuk buang air kecil (BAK). Namun langkahnya terhenti saat melihat Zea yang sedang duduk di depan kamar mandi wanita sambil kipas-kipas menggunakan kardus yang telah disobek. Di samping dia duduk terdapat lap pel lantai, ember, sikat WC dan beberapa kardus yang ditata di lantai depan pintu kamar mandi untuk akses jalan orang yang akan ke kamar mandi, dikarenakan lantai masih basah. Zafran yakin jika Zea baru saja menyelesaikan hukumannya.

"Mantap. Tapi kasihan sih. Mungkin dia kecapekan," batin Zafran sambil tersenyum.

Sebuah ide terlintas di otaknya. Dia memerlukan kertas dan bolpoin, namun dia sendiri lupa kalau dirinya tidak membawa itu. Saat dirinya berbalik badan, dia melihat Pandu yang sedang membawa tumpukan buku.

"Sini lo!" Suruh Zafran.

"I-iya ada apa?"

"Minta sobekan sama pinjam bolpoinnya." Pandu tampak menimbang-nimbang. "Sini! Kebanyakan mikir lo!" Ujar Zafran gemas kemudian mengambil salah satu buku yang dipegang Pandu setelah itu menyobeknya di bagian tengah. Tak hanya itu, dia juga merebut bolpoin di tangan Pandu.

Zafran mulai menuliskan kata-kata di kertas itu. Sedangkan Pandu hanya bisa bersabar saja. Dia tidak suka dengan masalah dan tidak suka mencari masalah. Toh juga hanya kertas sobekan dan bolpoin saja. Untuk itu dia memilih untuk meninggalkan Zafran.

"Eits, mau kemana lo? Ntar dulu! Gue belum ngizinin lo pergi," ujar Zafran menahan kepergian Pandu.

Lagi-lagi Pandu hanya menurut saja tanpa membantah satu katapun. Dia benar-benar menunggu Zafran yang masih setia menulis. Padahal dirinya sedang disuruh guru untuk mengumpulkan tugas di meja guru.

Setelah semuanya beres, Zafran melipat kertas tersebut kemudian mengeluarkan uang berwana hijau.

"Nih uang dua puluh ribu buat lo. Sepuluh ribu buat ganti kertas sama bolpoin dan sepuluh ribu lagi buat ongkir. Tolong kasihin kertas ini ke Zea, cewe itu."

Pandu langsung menerima surat dan uang itu kemudian menuju ke arah Zea. Sedangkan Zafran, dia langsung masuk ke kamar mandi karena sudah tidak tahan mengeluarkan kencingnya.

Sebenarnya, melihat Zea saja Pandu sudah merinding. Si cewe yang terkadang bermulut mercon membuat dirinya harus siap hati agar tegar saat mendengar setiap ucapan pedas Zea. Dengan rasa takut, Pandu mulai memberanikan diri.

"Emm, ini dikasih surat," ujar Pandu gemetaran.

"Dari siapa?"

"Dari cowo," jawabnya kemudian langsung meninggalkan Zea agar bisa bernapas lega.

Zea menerima surat itu. Dia meletakan kardus yang sejak tadi dijadikan kipas, kemudian langsung membuka surat itu dan membacanya.

Dear Mantan

Untuk ke 81x

Kenapa frustasi gitu? Nggak usah dipikirin. Kita itu pasti jodoh kok. Takdir kita saja belum mau dipisah, buktinya kita masih sering bertemu. Lagian kita itu saling melengkapi, lo bodoh gue kan pintar. Lo jago berantem gue enggak. Kalau kita benar-benar bersama, anak kita pasti plus plus plus.

Oh iya, gue minta maaf karena gue, hukuman lo jadi bertambah. Nanti pas istirahat kita ke kantin bareng. Sebagai permintaan maaf, gue akan traktir sepuas lo.

Salam Cogan

Zafran

Zea meremas kertas tersebut kemudian berteriak, "Zafran!"