Zafran segera menggendong Zea menuju ruang UKS. Di setiap perjalanan banyak pasangan mata yang melihatnya bingung. Apalagi saat mengetahui bahwa yang digendong Zafran adalah Zea. Bagaimana mungkin seorang Zea si bela diri dan cewe bar-bar bisa pingsan. Bahkan satu hari diam saja dia tidak bisa.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan salah satu alasan mengapa setiap ada masalah, Zea memilih untuk diam. Zea terlalu takut untuk membuka setiap masalah yang dia alami. Baik masalah berat maupun masalah sepele.
Sebenarnya Zea belajar dari kesalahan. Singkat cerita saat Zea duduk di bangku SD, dia hanya diam karena roknya sobek. Salah satu temannya ada yang bertanya. Dari situlah Zea menjawab apa yang sebenarnya terjadi dan Zea meminta agar temannya diam tidak bilang dengan siapapun. Namun, harapannya salah. Teman Zea membeberkan keadaan Zea. Dari mulai situlah Zea tidak mudah percaya kepada orang lain. Dia akan percaya saat dirinya mendapatkan bukti.
Setelah sampai di depan ruang UKS, Zafran bertemu dengan Sintia, teman sekelasnya. Dengan begitu, Sintia langsung membantu Zafran untuk membaringkan Zea. Raut wajahnya menunjukan kekhawatiran. Untung saja ada guru penjaga UKS. Sehingga ada yang bisa mengurus Zea.
"Sin, gue mau minta tolong," ujar Zafran kepada Sintia.
"Apa?"
"Tadi gue disuruh ambil buku paket sejarah. Nah ini gue lagi nolongin Zea. Gue juga mau ngeizinin dia pulang, soalnya badannya juga hangat. Mungkin Zea lagi sakit. Jadi, lo yang ambilin ya. Sekaligus izinin ke Bu Ina, gue lagi mau ngantar Zea pulang."
"Cie ada yang khawatir sama mantannya," ejek Sintia sambil senyum-senyum. Sintia tahu betul bagaimana perasaan antara Zafran dan Zea. Sebab dialah yang bermula menjodoh-jodohkan Zafran dan Zea saat SMP.
Jika tidak ada Sintia, maka Zafran dan Zea belum pernah menjalin hubungan sebagai pacar. Mereka berdua saling memiliki gengsi tinggi. Sayangnya hubungan tersebut telah selesai karena salah paham dan kecemburuan.
"Sin, serius dong. Lo kan temen yang baik hati dan tidak sombong. Mau ya."
"Cie khawatir. Andai Zea bisa tahu khawatir Lo itu."
"Apaan sih, Sin. Gue nggak mau becanda."
"Panik nggak? Panik nggak? Ya pasti paniklah, masa enggak. Hahahaha," ejek Sintia semakin menjadi-jadi.
"Gue kasih imbalan, tapi tolong sekarang Lo pergi ambil buku!"
"Asiyap. Gitu dari tadi dong. Gue ambil buku dulu ya."
Itulah mengapa Zafran langsung mengucapkan imbalan. Pasalnya Sintia memang suka seperti itu ketika sama Zafran. Sebab Zafran tidak tanggung saat memberikan imbalan. Menurut Sintia, lumayan uang saku bisa ditabung karena ada makan gratis.
"Bu Nada, saya nitip Zea bentar ya."
"Iya," jawab Bu Nada.
Zafran segera berlari ke kelas XI IPA 1 untuk mengambil tas milik Zea. Dilihatnya keadaan kelas yang kosong dan seragam putih abu-abu pun banyak yang diletakan di atas meja maupun kursi. Tanpa banyak berpikir, dia langsung mengambil tas milik Zea. Setelah itu, dia berlari lagi menuju ruang BK untuk mengizinkan Zea.
Tujuan Zafran, yaitu mengantar Zea pulang ke rumah setelah sadar dari pingsannya. Mau tidak mau, dia akan memaksa Zea pulang. Karena Zafran yakin bahwa Zea pasti tidak mau diajak pulang untuk istirahat di rumah.
"Assalamualaikum," ujar Zafran langsung masuk ke ruang BK.
"Waalaikumsalam, ada apa, Zaf?" tanya Pak Shodiq.
"Jadi gini, Pak. Saya mewakili Zea meminta izin untuk pulang karena Zea lagi sakit. Tadi saat Zea selesai melaksanakan hukuman, dia pingsan, Pak. Saya juga minta izin mau mengantar dia pulang."
"Ya sudah sebentar."
Pak Shodiq memberikan satu lembar kertas berisikan surat izin. Dia segera mengisi kertas itu, kemudian meminta tanda tangan kepada guru piket, guru mapel pelajaran berikutnya, dan yang terakhir kembali lagi ke ruang BK untuk meminta tanda tangan dari guru BK, Pak Shodiq.
Setelah semuanya beres, Zafran segera menuju UKS untuk menemui Zea. Di sana terlihat Zea yang sedang merenung. Bahkan Bu Nada sudah berkali-kali bertanya kepada Zea, namun tetap saja tidak ada jawaban dan Zea terus merenung. Wajahnya yang pucat itu membuat Zafran semakin khawatir.
"Ini diminum dulu!" suruh Bu Nada memberikan secangkir teh hangat. Zea menerima dan meminumnya. Dia kembali merenung. "Apa yang masih kamu rasakan? Apa masih pusing?" tanya Bu Nada. Sedangkan Zea, dia hanya menggelengkan kepala sebagai jawaban.
Hari ini cukup rumit bagi Zea. Dia tidak tahu lagi harus bagaimana. Setiap apa yang Zea lakukan selalu salah di mata orang tuanya. Dirinya juga butuh semangat bukan kata-kata yang mengenai mental. Oke, dia memang mental baja saat di tempat umum maupun keramaian, tapi dia mental tempe saat di rumahnya. Tidak semua orang yang terlihat kuat batinnya ikut kuat. Begitupun sebaliknya.
Dunia ini luas. Banyak orang yang menempati bumi dari berbagai negara, provinsi, dan kota. Masing-masing daerah memiliki keunikan tersendiri. Begitupun sifat manusia yang beragam. Sesama manusia boleh mengomentari tetapi dilandasi pemikiran. Kita tidak boleh asal mengomentari orang lain sebab bisa memicu pertengkaran.
"Zea!" Panggil Bu Nada. Zea hanya menengok saja. Dia kembali terdiam.
"Zea, kalau kamu punya masalah, kamu bisa berbagi. Pilih berbagi dengan orang yang tepat di saat kamu sudah tidak kuat menahannya sendiri. Kamu tidak boleh terus-terusan seperti itu. Nanti jiwamu malah ikut goyah."
Lagi-lagi Zea hanya diam memandangi kedua kakinya. Bu Nada bingung dan khawatir akan kesehatan Zea. Tapi dia tetap kekeh bertanya terus kepada Zea.
"Apa perlu Ibu panggilkan guru BK? Mungkin kamu bisa bertukar pikir dengan mereka. Karena Ibu rasa kamu banyak menyembunyikan beban?" Tanya Bu Nada lagi. Sedangkan Zea, lagi-lagi menggelengkan kepala sebagai jawaban.
Zafran yang sedari tadi berada diambang pintu dan memperhatikan tingkah Zea, dia memutuskan untuk mendekatinya. telapak tangannya terulur ke dahi sampai ke lehar Zea untuk mengecek suhu badan. Ternyata benar, tubuh Zea masih terasa hangat.
"Ayo, Ze, kita pulang. Gue udah izin ke BK kok," ajak Zafran.
"Tapi? Gue masih mal--"
"Sudah sana pulang saja nggak apa-apa. Jangan lupa obatnya diminum dan istirahat yang cukup. Kamu satu bulan lagi akan menghadapi Penilaian Akhir Semester. Jaga kesehatannya," tukas Bu Nada.
"T-tap--"
Tanpa banyak bicara, Zafran sudah menarik tangan Zea. Dia tidak peduli lagi alasan dari Zea. Namanya saja keras kepala, sampai kapan pun pasti akan mengelak dan tidak mau mendengar nasihat orang lain. Dengan cara paksaan yang akan membuatnya menurut, walaupun ada sedikit pertengkaran. Setidaknya sudah sedikit terkalahkan.
Zafran pamit kepada Bu Nada dan tetap menarik Zea keluar dari UKS menuju ke parkiran. Tampak dari raut wajah Zea menyiratkan rasa kesal amat besar. Namun berbeda dengan hati Zafran, dia tersenyum puas.
"Sudah gue bilang, kalau lo marah jadi tambah jelek. Mukanya kayak burung hantu, hahaha," ejek Zafran.
Bukannya mau membuat Zea kesal. Zafran hanya ingin Zea cerewet bukan malah melamun terus. Walaupun Zafran bukan anak IPA dan tidak ahli kesehatan, dia tahu sedikit tentang orang yang suka melamun.
"Dulu lo mau saja pacaran sama burung hantu."
"Oh itu, gue khilaf dan gue belum nyadar sih."
"Ngeselin banget."
"Gimana ya? Justru yang ngeselin itu yang akan bisa Lo ingat terus sama gue. Sebab kebencian Lo ke gue itu sudah melekat di hati Lo."
"Cukup, Zaf! Gue capek."
"Mau dipijitin?" Tawar Zafran tidak mendapat respon dari Zea.
Untung saja Zafran memarkirkan motornya di barisan pinggir, jadi sangat mudah mengambilnya tanpa susah payah menyingkirkan motor-motor lain. Zafran segera menyuruh Zea naik. Mereka berdua berboncengan tanpa ada perbincangan satu katapun. Hanya ada suara angin yang masuk ke dalam telinga. Hingga mereka berdua sampai di depan rumah Zea.
"Terima kasih, Zaf,"
"Sama-sama." Zea meninggalkan Zafran yang masih setia di atas motor. Namun langkahnya terhenti saat tangan kanannya diraih oleh tangan Zafran. "Jangan lupa istirahat, gue khawatir sama lo." Zea tersenyum tulus. Dia menganggukkan kepala sebagai jawaban. Setidaknya rasa sakit di hatinya sedikit berkurang. Zafran mulai melajukan motor meninggalkan halaman rumah itu. Begitupun Zea, dia melanjutkan langkahnya menuju rumah. Dia memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam.
Pyarr!!!
"Dasar nggak berguna!"
"Ashh, sakit," rintih Zea pelan.