Kring... Kring.... Kring
Bunyi alarm handphone membuat tidur Zea terusik. Sungguh kejadian tadi malam membuatnya sulit untuk membuka mata. Pasalnya terlalu mengeluarkan banyak air mata membuat matanya menjadi bengkak. Hal tersebut menjadikan matanya terlihat sipit dan terasa perih saat terkena sinar matahari. Mata bengkak tersebut akan kembali normal selama kurang lebih 3 hari. Memang terdengar aneh, namun hal itu benar-benar terjadi pada diri Zea. Karena itu dia benci menangis.
Bagi seorang Zea, menangis hanya semakin membuatnya terpuruk. Bagaimana tidak terpuruk, jika matanya menjadi sorotan orang lain yang ingin tahu keadaannya. Sedangkan dia lemah dengan kata kenapa. Zea yakin setiap orang yang melihat keadaannya pasti akan bertanya dengan pertanyaan kenapa maupun mengapa. Tidak mungkin jika dirinya akan mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Mau bagaimanapun Zea sayang keluarga dan dia hidup bersama keluarganya.
Prinsip Zea, tidak mau membuka aib orang terdekatnya selagi dirinya masih mau hidup bersama. Baik itu kejadian baik maupun buruk. Ini hidupnya dan yang menjalani dirinya. Masalah keluarga adalah privasi dan orang lain tidak boleh tahu.
Dengan rasa malas, dia bangun kemudian mengambil handuk untuk mandi dan siap-siap akan berangkat ke sekolah. Dia sedikit merasakan nyeri dibagian kepala. Mungkin karena kurang istirahat saja.
"Aw!" Pekik Zea saat tersandung kaki meja rias di kamarnya.
Dia bernapas lega. Sebab tidak ada luka sedikitpun di kakinya. Jempolnya hanya memerah saja. Dia memandang dirinya dari pantulan kaca. Hanya senyum miris yang bisa dia lakukan.
"Gue kok kacau banget. Luka di dahi, mata bengkak, poni cupu, dan rambut berantakan," batin Zea.
"Aw! Ssh," ringis Zea.
Dia merasakan nyeri di bagian kepala lagi. Kali ini ditambah nyeri di bagian mata. Sejenak dia memejamkan mata menahan rasa nyeri itu.
Setelah rasa nyeri lumayan hilang, dia membuka matanya kembali sambil berkata lirih. "Kenapa setiap ada masalah gue merasa dihantui? Kalau seperti ini terus, lama-lama gue bakal gila. Ya kali cantik-cantik gila. Amit-amit jabang kebo deh. Udahlah gue mau mandi."
Zea mandi kurang lebih 10 menit dan dilanjut menyiapkan keperluan sekolah. Dari memakai seragam, menata rambut, hingga menjadwal pelajaran sekolah.
Kruyuk... Kruyuk... Kruyuk
Suara perut lapar. Zea memejamkan mata dan kemudian bernapas lega. Dia memandang plastik yang diberikan Mama Zafran kemarin.
"Untung masih punya makanan dan minuman. Nggak sia-sia deh jadinya," ujar Zea saat membuka makanan tersebut.
Sebenarnya makanan tersebut hampir basi. Tapi mau bagaimana lagi, Zea yakin kali ini orang tuanya tidak akan memberikan uang saku. Lagi pula Zea belum siap melihat wajah Diana. Terlalu sakit untuknya.
Melupakan suatu persoalan memang sulit bagi Zea. Setiap kali ada masalah, maka hidup pun akan terasa dihantui. Padahal sudah berkali-kali dia mencoba untuk bersikap biasa saja. Namun pikirannya menolak untuk melanjutkan ke hari yang akan datang.
Setelah semuanya beres. Zea memutuskan untuk berangkat sekolah sekarang. Dia berjalan melewati ruang makan sambil menenteng tasnya menggunakan tangan kanan. Rambut dikucir kuda dan berpenampilan seadaanya sudah biasa Zea lakukan. Percuma saja jika penampilan mewah tetapi tidak membuat hati nyaman. Hal terpenting dari penampilan adalah bisa membuat diri sendiri merasa nyaman.
"Sarapan, Kak!" Panggil Ana menyuruh Zea untuk sarapan.
Hanya dengan membalikan badan kemudian tersenyum saja sebagai respon kepada Ana. Sekilas Zea mantap Diana yang sedang menatapnya balik. Sorot mata tajam itu membuat Zea tersenyum kecut. Dia segera pergi dari sana karena tidak mau terlalu lama menatap Diana.
Tidak hanya masalah uang jajan saja, Zea juga sudah yakin bahwa motornya akan disita. Dengan begitu dia tidak perlu susah payah meminta kunci motor, hanya buang-buang waktu saja. Jika dirinya merengek meminta kunci motor, sama halnya akan memicu sakit hati lagi. Zea cukup paham akan hal itu.
Mengingat jarak sekolah dari rumahnya lumayan jauh, dia segera bergegas menyusuri jalanan agar tidak telat. Uang saku bukan alasan untuk putus asa. Tapi Niat adalah kunci utama dalam menuntut ilmu. Dia tetap sekolah tanpa membawa uang sepeser pun. Untung saja dia membawa sisa aqua tadi pagi. Jadi, Zea bisa minum saat dirinya merasa haus.
Tanpa terasa, Zea sudah akan sampai di sekolah. Kira-kira jaraknya tinggal 5 meter. Dia terperanjat kaget saat melihat gerbang sekolah hampir saja ditutup. Untuk itu dia memutuskan berlari agar tidak terkena hukuman. Namun keberuntungan sedang tidak memihak pada dirinya, gerbang sekolah benar-benar sudah tertutup.
"Pak Satpam! Tolong bukain dong!"
"Nggak bisa, Neng. Aturannya memang seperti itu, kalau sudah jam tujuh lebih lima belas menit, gerbang sekolah harus ditutup," ujar satpam sekolah.
"Tapi, Pak, saya jarang telat. Ayo dong, Pak, kompromi untuk kali ini saja," pinta Zea tetap kekeh.
"Nggak bisa, Neng. Saya di sini kerja punya tugas dan aturan. Lagian kenapa berangkatnya telat, Neng? Harusnya berangkatnya lebih awal lagi biar nggak telat."
"Pak, saya jalan kaki. Saya nggak bawa motor, ja--"
"Maaf, Neng, itu bukan urusan saya. Kalau salah tetap salah. Itu ketua OSIS nya sudah datang."
"Berapa yang telat, Pak?"
"Cuma satu," jawabnya sambil membuka pintu gerbang.
Zea berjalan sambil menghentak-hentakan kaki. Mengapa harus Zafran yang mengurus pelanggaran sekolah? Bukan seharusnya guru BK? Benar-benar ingin mencakar wajah Zafran. Dia terlalu menyebalkan.
"Kenapa gue harus terus ketemu lo sih?! Harusnya lo itu kayak status kita dong. Man-tan, yang artinya lo juga harus pergi dari kehidupan gue. Dengan kata lain harus pi-sah! Gue pusing lihat muka Lo!" ujar Zea sambil menekankan kata mantan dan pisah.
"Mungkin takdirnya nggak mau dipisah. Jadi ya kita bareng terus. Lo pasti tahu kalau jodoh nggak bakal kemana-mana, Ze," ujar Zafran cengengesan.
Pagi ini hal yang menyenangkan bagi Zafran. Bagaimana tidak bahagia kalau pagi-pagi seperti ini sudah dipertemukan dengan Zea. Apalagi kali ini dia diperintahkan guru BK untuk mengurus anak telat berangkat sekolah. Lain bagi Zea, pagi ini adalah pagi yang sangat menyebalkan.
"Udah deh nggak usah banyak omong. Mending bebasin gue, lo kan ketua OSIS nya. Gue lagi capek."
"Eits, mana boleh macam itu? Walaupun gue ketua osis, gue harus adil. Lo harus dihukum."
"Zaf, Lo tahu nggak? Gue berangkat sekolah jalan kaki. Gue lari-lari dari rumah. Gue capek, Zaf. Lo tega sama gue?"
"Zea, yang namanya peraturan ya tetap peraturan. Kalau sanksi ya tetap sanksi juga. Di sini gue sebagai ketua OSIS harus bersikap adil. Gue nggak boleh pilih kasih. Lo paham itu kan? Ah, gue yakin Lo pasti paham. Jadi, sekarang Lo dapat sanksi karena berangkat telat."
Kedua mata Zea langsung membulat sempurna. Dia sendiri tidak menyangka jika Zafran akan seadil itu. Dia pikir dirinya akan bebas saat Zafran datang. Apalagi kata-kata sayang dan cinta yang sering Zafran ucapkan membuatnya semakin yakin akan diperlakukan baik-baik dan beda dari yang lain. Ternyata itu semua hanya kehaluan Zea. Oh tidak! Ternyata menjadi perempuan itu tidak boleh gampang baper.
"Lo tega, Zaf? Gue belum sarapan. Ya kali ntar gue dapat hukuman. Sehubung gue anak IPA, gue kasih tahu lo. Tenaga itu dari karbohidrat yang dibakar, sedangkan karbohidrat berasal dari makanan. Gue sendiri saja belum sarapan yang mau dibakar apa? Yang ada ntar gue pingsan," ujar Zea berbohong. Dia berharap Zafran akan memberikan keringanan hukuman. Sebab Zea tahu, setiap anak telat akan diberikan hukuman lari. Belum lagi kalau sudah beberapa kali telat, hukumannya akan ditambah agar setiap murid yang telat menjadi jera.
"Sehubung gue anak IPS, gue kasih tahu lo. Gue itu berjiwa sosial. Kalau lo pingsang, gue bakal angkat lo dan bawa lo ke UKS. Gitu aja ribet," jawab Zafran membuat Zea menggelengkan kepala.
"Gue penasaran sama isi otak lo. Pingin gue gampar bolak balik? Hah?! Tangan gue sudah gatal nih!" ujar Zea mulai gemas.
"Sabar dong. Ntar gampar bolak baliknya kalau udah sah saja. Kan enak nggak ada zina-zinaan."
"Zafran! Apaan sih?! Lo itu suka nggak nyambung!"