"Bagaimana kondisi Zea, Dok?" tanya Pak Rizqi ketika dokter Andi selesai memeriksa Zea.
"Kondisinya semakin membaik."
"Kalau boleh tahu, Zea sakit apa ya, Dok?"
Pada posisi seperti Andi merasa tertekan. Sebagai seorang dokter seharusnya sudah menjadi kewajibannya dalam menangani dan memberi tahu penyakit pasien. Lalu bagaimana janjinya dengan Zea untuk tidak memberi tahu kepada orang lain? janji untuk menutup mulut cukup membuat beban Andi pada saat ini.
Jika Ana yang bertanya kepadanya maka dirinya bisa menghindar. Namun, kalau yang bertanya adalah orang seumur dengan dirinya mana bisa menghindar. Bisa-bisa Andi akan mendapat masalah baru.
Andi menarik napas kemudian memandang Zea yang masih belum sadar kan diri. Melihat kondisi Zea membuatnya iba atas kejadian apa saja yang menimpa pada diri Zea. Tidak sepantasnya Zea mendapatkan perlakuan kejam dari Diana, walaupun itu tidak secara langsung. Namun, Andi terkejut ketika tak sengaja menatap kaki Zea yang sedikit terlihat dari balik selimut. Dia memutuskan untuk mendekat kemudian membuka selimut yang menutupi kaki Zea.
Ada luka yang sudah kering di kaki Zea. Andi jadi curiga, sebenarnya apa yang terjadi pada keluarganya? Apa Diana masih saja menggunakan kekerasan ketika menghukum Zea? Jika itu benar, Diana sangat keterlaluan. Entah kenapa kali ini Andi sangat merasa kesal atas perlakuan Diana, walaupun dia belum tahu pasti tentang luka Zea ini, tetapi filingnya tertuju pada Diana.
Begitu pun Pak Rizqi, dia ikut memandangi kaki Zea. Tak cukup di kaki saja, Pak Rizqi menemukan bekas luka pada dahi Zea. Seusia Zea tidak mungkin main lari-larian sampai jatuh, jika jatuh dari sepeda ataupun motor masih masuk akal, tapi rasanya tidak mungkin ketiga hal itu terjadi pada diri Zea. Dilihat dari lukanya saja seperti mencurigakan.
Terkadang Pak Rizqi tidak sengaja mendengar suara pertengkaran dan tangisan di rumah Diana. Kemungkinan suara tangisan dari Zea, tapi apakah itu benar-benar Zea? Apakah benar dugaannya selama ini kekerasan Diana kepada Zea? Ah sudahlah, Pak Rizqi tidak akan terlalu memikirkan hal itu. Dia takut jika mengarah ke su'udzan.
"Kenapa, Dok? Kok bengong?" Tanya Pak Rizqi membuyarkan lamunan Andi.
"Ah, tidak. Saya hanya memandang luka di kaki pasien Zea. Maaf, kalau boleh tahu, bapak ini siapanya Zea ya?"
"Saya tetangganya, kenapa ya, Dok?"
"Tidak apa-apa," jawab Andi singkat.
Tingkah laku, raut wajah, dan pertanyaan Andi cukup membuat Pak Rizqi curiga. Dokter yang menangani Zea ini sangat peduli dengan kondisi Zea. Huh, lagi-lagi Pak Rizqi berpikir negatif. Dia takut kalau Zea akan kenapa-napa. Apalagi gelagat Andi semakin mencurigakan.
"Saya permisi dulu mau menangani pasien lain," pamit Andi.
"Iya, Dok."
Baru beberapa langkah Andi dan Pak Rizqi dikejutkan kehadiran Arini bersama Dian. Andi tahu bahwa dia adalah istri dan anaknya. Namun, Pak Rizqi justru tambah bingung karena tidak mengenal mereka berdua dan bagaimana bisa mereka masuk ke dalam ruangan pasien? Kalau misalkan mereka ada urusan keluarga, tidak sepantasnya datang pada jam kerja, apalagi masuk ke dalam kamar pasien.
"Pa, bagaimana keadaan Zea?" Tanya Dian.
Arini juga tak kalah khawatir dari Dian. "Zea kenapa, Pa? Kenapa dia bisa sampai seperti ini, hiks."
Sudah kesekian kalinya Arini menangisi kondisi Zea. Walaupun Zea bukan anak kandungnya, Arini merasa bahwa dirinya adalah ibu dari Zea juga. Melihat Zea terbaring lemas di atas ranjang membuatnya ikut merasakan sakit. Jagoan kecil yang dulu dia kenal kini tengah lemah dan tak sadarkan diri.
Arini tahu bahwa Zea adalah wanita yang kuat, dia mampu menyelesaikan ataupun menyembunyikan masalahnya. Namun, setiap orang pasti memiliki titik lelah. Apakah Zea sudah lelah untuk yang kedua kalinya? Tidak boleh, Zea tidak boleh mengakhiri hidupnya sekarang walaupun Arini tahu bahwa urusan hidup dan mati sudah ditentukan oleh Tuhan.
Sekarang Arini hanya bisa berdo'a agar jagoan wanitanya cepat sembuh. Arini hanya ingin melihat Zea sehat seperti dulu. Dia ingin melihat Zea tertawa ceria bersama teman-temannya, termasuk Dian.
Wanita memiliki hati yang lemah. Hanya wanita hebat yang memiliki keteguhan hati dan bisa menerima kenyataan dengan ikhlas. Setiap melihat hal-hal yang berbau sedih bisa membuat si wanita ikut terbawa suasana. Oleh karena itu, wanita memiliki hati yang sensitif atau sering disebut peka terhadap lingkungan sekitar.
Arini terus menangis sambil mengelus puncak kepala Zea. Andi dan Dian berusaha menenangkan Arini agar bisa tenang. "Sudah, Ma. Biarkan Zea istirahat, kasihan dia."
"Iya, Ma, benar apa kata Papa. Lebih baik kita berdo'a saja daripada menangis tanpa guna," kata Dian sambil mengelus bahu kanan Arini.
Melihat kejadian di depannya ini membuat Pak Rizqi semakin kebingungan. Drama keluarga apa di depannya ini? Seingatnya, Ana pernah mengatakan bahwa keluarganya tidak memiliki saudara di sini. Saat akan menganggap mereka sebagai saudara, mengapa bisa bersama dokter? Pak Rizqi merasa mereka bertiga ada hubungan sangat dekat dengan Zea.
Tanpa sengaja tatapan Arini tertuju pada kaki Zea yang luka. Dia semakin menangis mengetahui hal itu terjadi pada diri Ana. Lukanya terlihat seperti bekas goresan, tidak mungkin jika Ana menggores tubuhnya sendiri. Jika Ana akan bunuh diri maka dia akan menggoreskan luka tepat pada denyut nadi bukan malah pada kaki.
"Ma, sudah. Jangan seperti ini, beri Zea waktu untuk istirahat," nasihat Andi.
"Mama yang sabar, Zea pasti sembuh kok. Mama tahu kan kalau Zea itu kuat tahan banting? Zea kuat, dia nggak lemah, Ma," ujar Dian.
"Bukan masalah itu, Dian. Lihat kakinya ada luka dan dahinya ada bekas luka. Mama khawatir sama Zea, kenapa dia bisa seperti ini?"
Dian jadi paham kenapa pada waktu itu rambut Zea di poni. Zea hanya ingin menutupi luka pada dahinya. Sekarang, semua orang juga tahu bahwa Zea memiliki luka-luka di badan. Dian tidak tahu, sebegitu sayangnya Zea kepada Diana atau dia hanya sebagai tameng untuk menutupi kejahatan Diana.
"Sudah, Ma. Mama nggak boleh larut dalam kesedihan. Kita harus yakin bahwa Zea harus sembuh," ujar Andi berusaha menenangkan Arini.
Tak lama kemudian jari kanan Zea bergerak. Arini memandangi jari Zea kemudian menghapus jejak air matanya. Rasanya seperti ada keajaiban dari Tuhan. "Pa, lihat jari kanan Zea bergerak."
Mereka langsung menatap jari-jari Zea. Pergerakannya terlihat lambat tetapi mampu membuat mereka merasa sangat senang. Harapannya semoga Zea bisa sadar pada hari ini juga. Andi langsung memeriksa keadaan Zea. Untung saja Andi belum keluar dari ruangan.
Arini, Dian, dan Pak Shodiq terus berdo'a untuk kesembuhan Zea. Walaupun Pak Shodiq masih penasaran siapa mereka, dia tetap bisa fokus untuk berdo'a. Hal yang terpenting mereka tidak menyakiti Zea.
"Zea!" Pekik Arini kemudian menutup mulutnya sambil menangis.