Milan, Italia.
Kota dengan seribu keindahan. Gedung-gedung disana cenderung berarsitektur detail dengan ukiran khas. Warna cat yang mendominasi adalah putih tulang, krim, dan kuning kebiruan. Sejauh mata memandang, langit biru akan dihiasi cakar-cakarnya yang menjulang. Ginnan sudah melihat pemandangan indah itu dari Guugles sebelum berangkat. Meski awalnya dia benci rencana Renji, tapi tempat itu tak pernah dia kunjungi. Keindahan yang ada sedikit banyak memang membuatnya bersemangat. Sayang, ketika pesawat benar-benar mendarat jam 8 malam, jet lag menyerangnya tiba-tiba.
[Nb: Tokyo, Jepang dan Milan, Italia beda 8 Jam. Jadi jika Renji dan Ginnan berangkat jam 8 pagi ditambah dengan penerbangan 4 jam, mereka baru tiba jam 8 malam]
Ginnan sudah pusing saat mendengar peringatan untuk persiapan turun. Dia melangkah ke anak tangga dengan memijat pelipis dan langsung berjongkok begitu sampai di bawah.
Tak peduli daratan atau orang-orang sekitar yang memandang.
"Ah... kepalaku sakit..." keluh Ginnan. Seperti orang yang kedinginan, dia memeluk diri sendiri. "Bantu berdiri..." katanya dengan lengan terangkat ke udara.
Renji yang sudah berjarak dua meter kembali lagi. Pria itu menghela nafas panjang. "Mengecewakan..." katanya. Sebelum benar-benar melanting Ginnan.
Ginnan berdiri dengan tubuh yang limbung. Dia menabrak dada Renji terlebih dulu sebelum bisa benar-benar tegak. "Aku kan sudah lama tidak naik pesawat," katanya. Lalu menunjuk dada itu. "Masih untung tidak sampai kumuntahi."
"Padahal sempat kupikir ini pertama kalinya bagimu."
Ginnan tertawa mengejek. "Apa? Naik pesawat?" katanya retoris. "Kau hanya salah paham. Mana ada pertama yang tidak gugup, Bodoh..."
"Ayo jalan."
Ginnan justru bersikukuh di tempat. "Bisa belikan minuman lebih dulu?" pintanya. "Aku bisa mati kalau begini terus..."
Tatapan Renji menggelap. "Kita ke hotel langsung..."
Kali ini Ginnan balas menatap lebih gelap. "Kejam sekali..." katanya. Tapi Renji tak menggubris. Pria itu tetap menyeret Ginnan serta. "Dan kau masih tega membiarkanku membawa koper ini sendiri, Ya Tuhan..."
Dalam kondisinya sekarang, Ginnan mungkin tidak sadar sudah berkeluh kesah berkali-kali. Seperti orang mabuk, dia tertawa senang sewaktu Renji mengalah lagi. Merebut kopernya paksa dan menyeret mereka bersamaan menuju taksi yang berjaga di sekitar bandara.
"Merengek, membantah, meminta ini itu, bahkan memerintahku..." gumam Renji tiba-tiba. "Kau yakin sedang berlakon sebagai pelacurku?"
DEG
Ginnan baru tersadar begitu angin kencang menerpanya di tepi trotoar. "Aku..." katanya. Dia menatap Renji yang tengah memberi isyarat agar satu taksi berhenti. "Aku kan mengambil pekerjaan ini karena terpaksa! Salahmu sendiri memilihku..."
Renji meliriknya sekilas, "Kau bahkan berani membuka ponselku dan mengangkat panggilan terlarang..."
Ginnan langsung meremang. Tetap tidak mau disalahkan. "Kan... kan aku sudah minta maaf!" jeritnya kesal.
"Benarkah?"
Satu taksi berhenti, Ginnan tak gentar tetap berdebat.
"Tentu saja! Saat kau tidur aku kan sudah minta maaf!"
Renji melepaskan tangannya sebelum naik taksi. "Kau sudah kuat berteriak rupanya..."
Ginnan mengumpat pelan karenanya. Dia membawa koper itu, tak mau masuk, dan justru berbalik menjauh. "Sudah... sudah... biar kubawa saja! Aku akan berlibur disini sendiri kalau perlu."
Renji pun mendecih, "Memang kau tahu dimana hotel yang kupesan?"
Ginnan menyahut tak peduli. "Tidak tahu! Dan tidak mau tahu!" jeritnya dari kejauhan. "Yang pasti kalau aku kesasar... namamu akan kuteriakkan kemana pun!"
"Bodoh..." desis Renji. Dia keluar lagi, bicara dengan pak sopir sebentar, dan menyusul Ginnan untuk menyeretnya kembali. "Jangan jauh-jauh..." katanya dengan menahan geretak gigi. Ginnan yakin dia merasakan emosi menumpuk pria itu tapi tetap mengepalkan tangan selama digenggam. Entah kenapa dia tak ingin mengalah. Mungkin karena dia mulai paham tempramen Renji, mempermainkan perasaan pria itu kini menjadi hobi refleks yang terpendam. "Pertama, kau pasti tidak mengerti bahasa orang sini, kedua kau tidak bawa uang, dan ketiga aku tidak tahu nomor ponselmu..."
Ginnan hanya mendengar ocehan Renji dan tetap diam sampai dia dilempar masuk ke taksi terlebih dahulu.
"Mengerti?" tanya Renji.
Ginnan justru membuang muka ke jendela. "Kau kan tidak pernah bertanya..." gumamnya pelan. Lalu memandang rerintik hujan yang mendadak mulai turun membasahi kaca.
"Soal apa." kata Renji yang baru menutup pintu.
"Kau tadi bahas nomorku kan..." kata Ginnan. "Kalau kau minta pasti kuberi..."
"..."
Ginnan segera memperbaiki ucapan begitu sadar kalimatnya barusan terdengar agak janggal. "Maksudku, kali ini kan penting sekali," katanya. "Kalau aku tersesat disini betulan, bagaimana..."
Ginnan sadar dia ditatap sepasang mata emas Renji sebelum mendengar sahutan pria itu. "Sudah tahu cara membuka ponselku kan?" tanyanya retoris. "Nanti sampai di hotel catat saja..."
"Apa?" kaget Ginnan. Seketika dia menoleh dan menatap mata itu selidik. "Memang aku boleh membukanya lagi?"
Renji diam sebentar sebelum balas menghiraukan seperti yang barusan dia lakukan. "Pakai sabuk pengamanmu," katanya. "Bukankah kau yang paling bermartabat saat dalam kendaraan..."
Ginnan mengerucutkan bibirnya jengkel. "Apa hubungannya, Pria Aneh..." dumalnya pelan, sebelum menyadari taksi itu mengarah ke daerah perumahan mewah. Setiap pagar bernomor dengan gerbang-gerbang melingkari bangunan yang berjejer di pinggir jalan raya. Pepohonannya ditata rapi dan para penyapu sudah menyisir bersih dedaunan kering yang jatuh sebelum bertambah. Dia terpaku begitu roda mulai memelan mendekati sebuah hotel megah. Ginnan sempat membaca nama Galleria Vik Milano di sebuah plang hitam sebelum masuk ke dalam kawasannya. "Eh? Jangan bilang kita akan berhenti disana-"
Rem Taksi bahkan sudah diinjak sebelum Ginnan menyelesaikan ucapannya. Saat itu, Renji bicara lagi kepada si sopir. Dia memberi beberapa lembar euro sebelum turun.
"Mau terus di dalam?"
Ginnan pun langsung gugup menyusul. "Tunggu-astaga...." katanya, lalu meloncat turun. "Apa aku tidak salah lihat? Kita ini di luar negeri, Tuan Aneh. Apa kau tidak berniat berhemat sedikit pun?"
Renji hanya memandangnya sebelum menyeret koper. Pria itu disambut oleh seorang GRO berseragam putih-putih, dibawakan mantel dan kopernya, sebelum dipersilahkan masuk ke dalam.
[GRO: Guest Relation Officer. Semacam pelayan yang menyambut tamu pertama kali di hotel]
Ginnan lagi-lagi menyusulnya seperti anak hilang. "Ren..." katanya, segera mendekat dan menatap kilau-kilau di sekitar dengan bahu menegang. "Ren, hotel ini menakutkan..."
Renji tetap diam. Rautnya tak berubah sedikit pun dan tetap mendekat elegan menuju resepsionis.
Ginnan menjumput ujung sweater hitamnya pelan. "Ren, sumpah... sepertinya aku baru melihat Brad Pitt lewat di tempat parkir dengan seseorang. Tolonglah... bisa kita pindah tempat? Aku menginap di motel biasa tidak masalah kok..."
Renji menyahut pelan, tapi tetap menunjukkan kartu-kartu yang diminta penjaga resepsionis. "Dia mungkin ada shooting disini. Abaikan saja."
"Apa? Bisa-bisanya..."
Renji sudah berjalan ke lift saat Ginnan masih terlolong di tempat. Dia langsung melotot melihat pria itu mengantongi sebuah kunci pass berkilau.
"Ahh! Hei tunggu! Apa kita benar-benar akan satu kamar?!" tanya Ginnan gugup. Jujur saja sulit sekali mengimbangi langkah Renji jika pria itu sedang dalam mood normalnya. "M-Maksudku, apa isinya double bed? Soalnya aku-"
Ginnan langsung diam begitu orang-orang di sekitar melihat keduanya. Mungkin mereka tak paham dengan percakapan bahasa Jepangnya, tapi entah kenapa tetap terasa memalukan. Beruntung Renji sendiri tak acuh dengan semua itu. Setidaknya sampai mereka masuk lift berdua saja. "Bisa kau berhenti mengoceh seperti perawan?"
"Apa?"
Renji tetap menatap lurus ke depan selama angka-angka lift bergantian. Semakin naik ke atas dan Ginnan mulai takut membantah seperti sebelumnya. Aura pria itu berbeda sekarang. Mungkin karena benar-benar jengkel.
Sampai di kamar, Ginnan bahkan menahan diri mengomentari pemandangan berlebihan di dalamnya dan langsung mencari air di kulkas yang disediakan.
"Ahh... leganya bisa minum..."
Renji tidak meliriknya sedikit pun. Pria itu langsung duduk di tepi ranjang, melepaskan pegangan kopernya yang entah sejak kapan sudah tiba di depan pintu kamar, dan mengutak-atik ponselnya seperti orang bingung.
Jujur, Ginnan penasaran. Renji bahkan sempat menelpon sebuah nomor, mengumpat pelan karena tidak dijawab, dan meninggalkan pesan sebelum berlalu ke kamar mandi begitu saja.
Ponsel putih bergantung kepala Sanji One Peace itu berkedip tak lama kemudian. Membuat Ginnan tertarik mendekat dengan satu alasan di kepala.
"Aku tidak bermaksud melihat... aku tidak bermaksud melihat..." gumam Ginnan berkali-kali dalam hati. "Aku hanya akan memasukkan nomor ponsel. Kan dia sendiri yang tadi menyuruhku..."
Tetap saja Ginnan terlonjak ketika ada panggilan mendadak yang masuk setelah dia menyentuh ponsel itu.
"AH!"
Calling...
-Haru
Percaya atau tidak, tangan Ginnan gemetar ketika dia membaca nama itu.
.
.
.
NB: Saya sarankan membaca author's note juga pada tiap bab. Karena di sana ada hal-hal yang cukup penting untuk diketahui.