Beberapa burung-burung kecil menghampiri Chaerin yang tengah bersenandung ria. Hewan-hewan disini cukup ramah, berbeda jauh dari yang dia bayangkan. Dia awalnya berpikir karena ini adalah kawasan penyihir maka mungkin hewan disini akan buruk, tapi ternyata tetap seperti hal normal. Namun bedanya disini, dia tidak melihat satupun tanaman yang mati, semuanya tumbuh subur.
"Hutan ini tidak terlalu buruk untuk ukuran hutan yang katanya berada di kawasan kerajaan para penyihir."
Wanita itu kembali melanjutkan berkelilingnya setelah memetik apel.
"Chaerin,"
Mata Chaerin menelusuri ke setiap sisi hutan untuk mencari orang lain di hutan ini, tapi tidak ada siapapun. Chaerin memanggil tongkatnya dan bersiap untuk menyerang.
Suara itu muncul lagi namun kali ini dengan menyebut siapa dirinya, "Chaerin, ini aku, pak Edzard."
"Pak Edzard?", Chaerin baru teringat dengan kalungnya, "Ah, iya, pak Edzard. Kau baik-baik saja? Apa yang mereka lakukan padamu?"
"Mereka memenjarakanku, tapi tenang aku baik-baik saja. Kau sedang berjalan-jalan di hutan, kan? Pergilah ke air terjun, dan masuk ke dalamnya. Dibalik sana ada pondok kecil, ambil saja apa yang kau butuhkan untuk persediaan."
Bagaimana pak Edzard bisa tau apa yang sedang kulakukan? Jangan bilang karena kalung ini?
Berbagai prasangka buruk terlintas dibenaknya. Apalagi selama ini dia selalu memakai kalung itu, bahkan saat mandi sekalipun. Tapi semoga saja itu memang hanya sekedar prasangka buruknya.
"Baiklah, tapi apa itu jauh dari tempatku berada?" Tidak ada jawaban.
"Halo? Pak Edzard, kau masih disana?"
"Ah, baiklah, kurasa tidak." Chaerin menjawab pertanyaan sendiri.
Chaerin melanjutkan perjalanannya mencari air terjun yang dimaksud pak Edzard. Dia tetap membaca bukunya dan mempelajari mantra-mantra dasar, sesekali dia berhenti untuk mempraktekkannya, jika berhasil maka dia akan lanjut jalan, jika tidak maka dia akan berusaha sampai bisa baru melanjutkan perjalanannya.
Sulit untuk menemukan air terjun didalam hutan ini. Selama berjalan dia sering mendengar suara air, tapi jika dicek itu hanya sungai biasa. Hari sudah semakin gelap, dan dia tidak menemukannya juga. Chaerin ingin kembali, namun sayang jika kembali karena dia sudah berjalan sejauh ini.
"Aku akan beristirahat sebentar." Chaerin duduk di bawah pohon besar. Daun-daun gugur berterbangan akibat angin sore yang mulai menguasai hutan. Angin berlalu lalang menyentuh kulitnya, hal itu membuatnya sedikit menggigil. Tanpa sadar perlahan mata Chaerin menutup, udara sore seperti ini memang selalu membuat terlelap.
***
Malam ini sedang purnama, cahaya bulan menyorot hutan bahkan hingga ke dasar sungai. Benar-benar malam yang indah. Seekor burung kecil terus mengganggu seorang wanita yang tengah tertidur dibawah pohon besar hingga wanita itu terusik barulah dia pergi.
"Dimana aku?", Chaerin mengusap matanya. "Hutan? Kenapa aku di hutan?" Chaerin berdiri dengan bertumpuan pada pohon di belakangnya, kepalanya pusing, mungkin karena tidurnya kurang nyaman.
Terdengar seperti suara air yang jatuh dari balik pepohonan yang berada di sebelah Chaerin. Alisnya saling bertaut, "Ah, iya, air terjun!" Dia langsung berlari tapi tak lupa dengan membawa beberapa buah-buahan yang sudah dia kumpulkan sebelumnya.
Ini adalah air terjun terbesar yang pernah ia temui, dan ini terlalu deras, "Matilah aku jika melewati air sederas itu, tapi aku sudah terlanjur sampai." Chaerin menguatkan tekadnya untuk masuk.
Satu persatu bebatuan dinaikinya, beberapa kali dia hampir terjatuh ke dalam genangan air yang berada di bawah air terjun. Dengan luka yang tidak sedikit, akhirnya dia sampai juga di depan air terjun besar nan deras itu.
Chaerin memegang dadanya dan menutup mata, lalu perlahan masuk ke dalam. Aneh, dia bahkan tidak basah sedikitpun saat sudah melewati air terjun. Dia ingin memikirkannya tapi waktunya tidak banyak, dia sudah pergi dari siang tadi, dan pasti teman-temannya sedang mencarinya sekarang.
Chaerin dapat menemukan dengan mudah pondok yang di bilang pak Edzard, "Aku harus cepat!".
Tidak disangka kalau akan ada yang menyambutnya begitu masuk. "Halo Chaerin! Oh, atau haruskah aku memanggilmu tuan puteri?" Pria itu hanya memakai celana panjang dengan baju tanpa lengan, berbeda dengan sekelompok orang yang memakai pakaian serba tertutup dengan pedang yang bertengger di sebelah saku celana mereka.
Jangankan bergerak, untuk bernapas saja rasanya sulit bagi Chaerin karena mereka semua sedang mengelilinginya. "Akhirnya kita dapat bertemu juga, sudah sejak lama aku menantikan hari ini."