Chaerin memeluk Samuel dengan erat, sangat erat lebih tepatnya, dia senang menyadari bahwa dia tidak sendirian disini. "Jangan membunuhku di depan orangtuaku, itu akan sangat memalukan untukku."
Chaerin tercengang, "Hah?!" Dia melihat berulang kali ke arah Samuel, pak Edzard dan satu wanita paruh baya yang tersenyum kepadanya. Ya, mereka memang mirip, pikirnya. "Kau baru tau atau sudah lama?"
Samuel tersenyum, "Mereka orangtuaku, sudah pasti aku mengetahuinya sejak dulu."
Samuel, tersenyum? Dia? Tersenyum? Padaku? Senyum? Padaku? ARGHH! Hahaha apa ini? Sanking girangnya dia tidak sadar kalau dia ikut tersenyum. Dia berusaha menahan pipinya supaya berhenti tersenyum tapi tidak bisa.
"Kenapa tersenyum?" Nada suara dan ekspresi wajahnya kembali seperti biasa. Chaerin berhenti tersenyum, ternyata masih sama saja, batinnya. "Tidak ada. Kenapa tidak ada satupun yang memberitahuku?"
"Apa itu penting bagimu?" Tanya Samuel dengan nada yang mengesalkan.
"Samuel!" Edzard menggertaknya, anaknya itu selalu saja berbicara sesuka hati.
"Iya, ayah?" Lagi-lagi dia berbicara dengan nada yang mengesalkan.
Pak Edzard berjalan mendekati Chaerin dan Samuel, "Aku ingin memberitahumu, nak. Tapi aku takut kau bertanya hal lain, jadi aku terus menundanya sampai akhirnya kita berada disini. Aku minta maaf."
Ah, iya. Chaerin mengerti maksud pak Edzard, orangtuanya. Jika dia memberitahu Chaerin sejak kecil pasti Chaerin akan bertanya soal orangtuanya juga. Tapi anak mana yang tidak ingin tau siapa orangtuanya, tapi Chaerin juga tidak bisa langsung bertanya. Namun pasti telah terjadi sesuatu yang membuat pak Edzard enggan memberitahunya dari dulu.
"Tidak masalah, aku bisa memahaminya." Chaerin menghela napas panjang.
Wanita yang sedari tadi duduk dan hanya memandang mereka kini dia berdiri dan mendatangi Chaerin, "Edzard ini kalung darimu, kan?" Dia melihat kearah suaminya meminta kepastian, Edzard mengangguk.
Wanita itu mengeluarkan kalung juga dari sakunya, "Ganti dengan ini saja."
Mainan kalung itu yang paling menarik perhatiannya, mainannya berbentuk lingkaran dan ada foto seorang wanita di depan, lalu di belakang terdapat sebuah nama, "Tias Nayaka?"
"Ibumu," Gwen menurunkan wajahnya, "Saat aku bangun di pagi hari, hanya itu yang tertinggal, sementara dia aku tidak tau keberadaanya sampai saat ini."
Chaerin menghela napas dan mengangguk, dia melepas kalung yang diberikan pak Edzard dan memakai milik ibunya. Ibunya cantik, dari fotonya saja kelihatan cantik, pasti akan lebih cantik jika bertemu langsung. "Terimakasih."
TOK! TOK! TOK!
Gwen berjalan kearah pintu dan membuka jendela kecil yang berada di sebelah pintu, jendela itu dilapisi jeruji besi didepannya. Sebenarnya bisa saja mereka menggunakan sihir untuk keluar dari sini, tapi sel tempat mereka berada sudah dirancang sedetail mungkin sehingga tidak ada satupun mantra sihir yang dapat digunakan di dalam sini. "Ada apa?"
"Raja ingin bertemu kalian," ucap seorang pria yang membelakanginya. "Dia akan tiba dalam lima menit."
Kenapa dia membelakangiku, pikir Gwen. Tidak sopan bagi anggota kerajaan jika berbicara dengan orang lain dengan posisi tidak melihat si lawan bicara, apalagi jika dilihat pakaian pria ini bukan seperti pakaian seorang prajurit, pasti dia anggota ini kerajaan.
"Siapa kau? Tidak sopan jika membelakangi lawan bicaramu." Dia hanya menggeleng dan bukannya memberi jawaban.
"TIAN?!!"
Gwen tersentak, teriakan suaminya barusan membuat seluruh orang yang berada di sekitar mereka ikut tersentak juga.
Edzard menarik baju Tian sampai wajah mereka hanya berjarak lima senti, "Keterlaluan!" Samuel dan penjaga sel berusaha menenangkan mereka berdua, namun ditolak mentah-mentah, tangan mereka ditepis begitu saja oleh keduanya.
"Biarkan aku berbicara dengan pengkhianat ini," Edzard semakin kuat menarik baju Tian.
Napas Tian tersenggal-senggal akibat bajunya ditarik sangat kencang, "Ma-maaf.. a-aku bisa je-jelaskan..."
"Raja telah tiba, sekali lagi, raja telah tiba."
Edzard menghela napas, dia melonggarkan genggamannya dan mendorong Tian keras sekali saat dia lengah. Tian pun terjatuh tepat di kaki raja, dia belum sanggup berdiri, napasnya masih tersenggal-senggal. "Bantu dia," ucap raja kepada salah satu prajurit penjaga.
"Bawa dia keruangannya,"
"Baik, tuan."